Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso, menyatakan bahwa DPR RI telah menerima 218 laporan TKI yang sedang tersangkut kasus hukum di luar negeri. Mayoritas permasalahan mereka terkait ancaman hukuman mati karena kasus pembunuhan majikan. Permasalahan tertinggi terjadi di Malaysia dengan jumlah 151 kasus. Kemudian di Arab Saudi ada 43 kasus, di China ada 22 kasus, dan 2 kasus di Singapura. Dari 43 kasus di Arab Saudi, ada 5 TKI yang terancam hukuman pancung, 8 orang sedang mengajukan banding, 8 di tingkat I, 11 orang sedang di dalam tahanan penyidik, 5 masih dalam proses, dan 6 orang sedang menjalani proses persetujuan pemaafan lewat jalur keluarga.
Banyaknya kasus TKI yang tidak mampu ditangani secara sigap oleh pemerintah semakin meragukan kita terhadap efektivitas kerja lembaga-lembaga dan orang-orang yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk mengurus TKI. Sebagaimana jamak diketahui, pemerintah dikenal sangat hobi membuat satuan tugas (satgas), termasuk membuat satgas perlindungan TKI. Satgas ini diberikan tugas khusus untuk menangani kasus-kasus hukum yang sedang dialami para TKI di luar negeri. Akan tetapi, faktanya satgas ini tidak banyak membantu menyelesaikan persoalan, alias mandul.
Harus diakui, hingga hari ini moratorium TKI ke Arab Saudi masih hanya sebatas kebijakan kulit, karena belum diikuti oleh pembuatan kebijakan lanjutan yang substantif dan strategis pascakebijakan moratorium. Terhitung sejak pemberlakuan moratorium TKI ke Arab Saudi pada tanggal 1 Agustus 2011 lalu, tepatnya pasca pemancungan TKI asal Bekasi Ruyati Binti Satubi, tidak ada satu pun kebijakan radikal yang diambil pemerintah dalam memberikan dukungan pada program moratorium. Bahkan, Memorandum of Understanding (MoU) tentang penempatan dan perlindungan TKI dengan Arab Saudi yang ditargetkan rampung akhir tahun ini masih belum ada kabar lanjutannya.
Dalam rangka mensukseskan kebijakan moratorium TKI, ada empat hal yang dapat dilakukan pemerintah: Pertama, melakukan evaluasi dan perbaikan menyeluruh terhadap semua proses pengiriman TKI. Sebagaimana diketahui, hampir 80 persen persoalan TKI terjadi di dalam negeri, bukan di luar negeri. Perbaikan kebijakan tentang TKI tersebut dimulai dari proses perekrutan, pembekalan, hingga pemberangkatan. Pada tahap ini, kasus yang seringkali muncul adalah sewaktu calon TKI berada di penampungan. Banyak calon TKI yang merasa ditipu oleh pihak PJTKI. Di samping soal negara tujuan kerja yang tidak pasti, tugas dan jenis pekerjaan yang belum jelas, para calon TKI juga seringkali dipaksa menandatangani kontrak kerja sesuai dengan perintah PJTKI. Mereka sama sekali tidak diberikan hak untuk menegosiasikan haknya.
Persoalan lain adalah terkait Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Hingga hari ini masih banyak ditemukan para calon TKI dan TKI yang berangkat kerja ke luar negeri tanpa memiliki KTKLN. Salah satu tujuan penerbitan KTKLN adalah sebagai kartu identitas bagi TKI dan dokumen pemberangkatan bagi TKI yang telah memiliki persyaratan dan prosedur bekerja ke luar negeri. Kartu ini berbentuk smartcard berbasis chip microprocessor contactless.
Sebenarnya, KTKLN ini sudah diatur di dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu pada Pasal 26 ayat (2) butir (f) UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlinduangan TKI di Luar Nageri yang menyebutkan bahwa “TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN”, sedangkan pasal 62 ayat (1) menyebutkan, “Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan oleh pemerintah.”
Kedua, menyiapkan kerjasama perlindungan TKI dengan semua negara tujuan, khususnya dengan negara tujuan yang belum memiliki UU Perlindungan Buruh Migran, seperti Arab Saudi dan negara-negar Timur Tengah lain. Terkait dengan Arab Saudi, pemerintah harus berani mendesak pemerintah Arab Saudi untuk duduk bersama membuat MoU perlindungan TKI, sehingga ketika kebijakan moratorium dicabut, TKI sudah memiliki perlindungan hukum dan mendapatkan hak-haknya secara penuh sebagai buruh.
Ketiga, mencarikan para calon TKI negara tujuan kerja alternatif. Tentunya, negara tujuan yang sudah memiliki kebijakan perlindungan bagi buruh migran di negaranya. Menurut data BNP2TKI, saat ini daftar negara Timur Tengah yang mendapat moratorium adalah Arab Saudi, Jordania, Kuwait, dan Syria. BNP2TKI menyatakan, potensi jumlah TKI yang gagal berangkat yang diakibatkan kebijakan moratorium mencapai 360 ribu per tahun. Jika jumlah calon TKI gagal berangkat yang sangat besar ini tidak dicarikan jalan keluar, maka pemerintah dianggap mengabaikan hak warga negara untuk mendapatkan hak kesejahteraan hidup.
Keempat, membuat program pelatihan kerja di setiap daerah tingkat II. Saat ini banyak Balai Latihan Kerja (BLK) dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK-LN) yang memiliki nasib merana. Tidak mendapatkan perawatan yang memadai. Belum lagi ditambah soal materi pelatihan yang tidak fokus dan trainer yang memiliki SDM rendah. Karena itu, tidak heran jika banyak alumni BLK yang tidak berkualitas meskipun mereka telah mengikuti pelatihan berminggu-minggu di BLK. Program pelatihan bagi masyarakat usia kerja ini menjadi sebuah keniscayaan, karena mayoritas para calon TKI memiliki pendidikan rendah, yaitu SD dan SMP. Selama ini mereka tidak memiliki kepercayaan diri untuk bersaing dengan kompetitor lain yang memiliki basis pendidikan profesi karena mereka sama sekali tidak memiliki bekal keahlian. Andai mereka bekerja pun, wilayah kerja mereka lebih banyak di sektor informal, yaitu Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT).
Jika pemerintah mampu memberikan bekal keahlian dan kualitas skill kerja yang baik maka TKI akan memiliki nilai tambah dan daya tawar lebih di negeara tujuan. Langkah ini sudah dilakukan oleh negara Filipina, di mana hampir 80 persen pekerja mereka bekerja di sektor formal di berbagai negara. Bekerja di sektor formal akan memberikan banyak keuntungan bagi TKI, di antaranya, gaji lebih yang tinggi daripada ketika kerja di sektor informal, perlindungan dan asuransi kerja yang lebih maksimal, serta mereka dapat terus meningkatkan kualitas skill kerja seiring dengan iklim kompetisi kerja yang bebas.