(Bahasa Indonesia) Strategi Perekrutan Anggota oleh Kelompok Radikal

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Faktor penarik maupun pendorong seseorang untuk memutuskan ikut dalam sebuah kelompok radikal tidaklah statis. Keduanya cenderung dinamis mengikuti perkembangan politik yang membentuknya. Kelompok radikal sangat jeli dalam menangkap gejala ini. Perekrutan pun berubah seiring waktu, baik dalam pola maupun sasaran. Hanya satu yang tidak berubah, doktrin kekerasan menggunakan ayat Tuhan yang ditafsirkan sembarangan sesuai dengan kepentingan kelompoknya.

Indonesia mengalami beberapa gelombang ancaman radikalisme atas nama agama sejak diproklamasikan pada tahun 1945, baik yang bersifat separatisme maupun terorisme berskala besar dan kecil. Separatisme kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang bermula dari Jawa Barat dan menggerogoti kedaulatan Indonesia pada 1960-an adalah salah satu contohnya. Ancaman terorisme dengan bom skala besar yang menyasar simbol Barat oleh kelompok Jamaah Islamiyah (JI) bermula pada tahun 2000-an. Ancaman teror kemudian bergeser pada aksi pembunuhan kepada anggota kepolisian yang disasar kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sejak enam tahun belakangan. Ketiga kelompok itu memiliki kurun waktu sendiri yang berkembang atas dimensi geopolitik tertentu, baik tekanan politik lokal maupun gejolak politik global. Tujuan utamanya adalah berdirinya Negara Islam di Indonesia dan menjadi bagian dari kekhalifahan dunia.

Setiap kelompok radikal memiliki program besar yang dibangun untuk menarik massa. Tampilan bisa diatur kemudian sesuai dengan segmentasi pasar yang mendominasi dan sasaran targetnya. DI/TII misalnya, atau dikenal dengan nama Negara Islam Indonesia (NII), menawarkan ide berdirinya negara Islam sebagaimana digagas Kartosoewirjo. Kelompok ini muncul kembali dengan tampilan baru yang lebih lunak. Dipimpin oleh Abdussalam Panji Gumilang, NII bergerak di bawah tanah merekrut kalangan muda membangun jaringan yang solid. Pada saat yang sama, mereka memunculkan entitas lain yang mewujud dalam bentuk pendidikan formal terbesar di Indonesia dengan memanfaatkan celah hukum untuk mengelabui mata pemerintah mengenai gerakan mereka. Lain lagi dengan JI, kelompok yang awalnya dipimpin oleh Abdullah Sungkar dan diteruskan oleh Abu Bakar Baasyir ini meluaskan perjuangannya dari lokal ke Asia Tenggara yang meliputi Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand Selatan. Perubahan arah gerakan ini merupakan pengaruh ideologi salafi jihadi yang didapat dari Afghanistan ketika mereka bergabung dengan kelompok Al Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin untuk mengusir Uni Soviet.

Sementara yang paling mutakhir adalah Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kelompok yang muncul pada tahun 2014 ini awalnya merekrut para aktivis NII dan JI yang melihat medan jihad sudah terbuka di bumi Syam. Setelah Abu Bakar Al Baghdadi menjadi khalifah dan membentuk Islamic State of Iraq and Syam (ISIS), JAD pun merasa telah memiliki negara impian berbendera hitam layaknya yang disebutkan dalam hadits rasul. Dampaknya, perekrutan pun diperluas bukan hanya dari kalangan gerakan radikal saja, melainkan kalangan umum. Tidak terkecuali kelompok Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri.

Strategi Perekrutan Kelompok Radikal

Menggarap seseorang hingga tertarik menjadi anggota radikal tidak perlu menggunakan pola yang kaku. Pertama, proses screening (penyaringan) dilakukan sebelumnya untuk memahami calon rekrutan dengan cara memantau keseharian, hobi, permasalahan hingga kekuatan maupun kelemahannya. Ini dilakukan untuk mempermudah infiltrasi doktrin yang disesuaikan dengan kebutuhan calon rekrutan. Dengan pendekatan yang variatif berdasarkan informasi yang didapat sebelumnya, calon rekrutan akan mudah terperdaya hingga memutuskan untuk bergabung. Kedua, guna memastikan keberhasilan, calon rekrutan akan dibatasi ruang geraknya dengan orang lain. Para aktivis kelompok akan menjadikan diri mereka sebagai teman, sahabat bahkan keluarga yang berperan signifikan kepada calon rekrutan untuk membuat mereka merasa diperhatikan dan diterima.

Dari semua kelompok di atas, perekrutan anggota dilakukan dengan cara rahasia. Ada yang menggunakan pendekatan offline (luar jaringan), langsung dengan tatap muka maupun melalui jalur online (dalam jaringan) via media sosial. Sasaran utama perekrutan adalah keluarga dan teman terdekat. Bila itu sudah tidak ada lagi, maka sasaran bisa didapatkan dari perkenalan baru. Tahapan yang harus dilalui setiap calon rekrutan adalah indoktrinasi intens dalam bentuk kajian tertutup yang diteruskan dengan prosesi hijrah atau pembaiatan sekaligus menandakan seseorang telah menjadi bagian dari kelompok. Setelah dinyatakan sah, anggota baru akan diaktifkan dalam struktur organisasi (biasanya menggunakan sel terputus). Dalam struktur terkecil inilah setiap anggota akan ikut serta dalam program kelompok, seperti penggalangan dana, kajian rutin hingga pelatihan fisik sebagai persiapan aksi teror yang dianggapnya sebagai jihad.

Seiring bergabungnya seseorang ke dalam kelompok radikal, perubahan pun terlihat, baik dalam tampilan fisik, gaya berpakaian hingga sikap kepada orang lain. Pemandangan yang umum dapat dijumpai melalui ciri-ciri fisik, seperti memanjangkan jenggot, celana cingkrang serta penggunaan cadar. Akan tetapi, ciri-ciri tersebut tidak selalu menjadi indikasi utama bahwa seseorang bergabung dalam kelompok radikal. Karenanya, hal itu perlu diperiksa lagi berdasarkan pola pikir, gagasannya, sumber rujukan pengetahuannya dan sikapnya yang mengarah kepada kekerasan dengan mempergunakan dalil-dalil agama. Namun demikian, kerap kali ciri-ciri itu menjadi ‘syarat’ tak tertulis yang harus ditampilkan anggota kelompok radikal (terutama kelompok JAD-ISIS) sebagai bagian dari syiar mereka untuk menunjukkan eksistensinya dan membedakan antara dirinya yang telah beriman dan orang lain yang dianggapnya kafir. Perbedaan paling mencolok antara anggota kelompok radikal dengan masyarakat umum dengan tampilan fisik dan pakaian yang sama adalah sikapnya yang merasa paling benar, arogan, minim empati dan gampang memberikan label kafir atau thagut kepada pemerintah dan aparatur nya.

Kerentanan PMI Sebagai Target Rekrutmen

Alasan setiap orang untuk bergabung ke dalam kelompok radikal berbeda-beda, seperti berawal dari yang ingin berjihad membantu kaum muslimin, merasa mendapat pencerahan dan menemukan Islam atau bergabung hanya karena ikut-ikutan dan kesepian. Alasan mendapat pencerahan dan ikut-ikutan menjadi jumlah terbanyak dalam rekrutmen kelompok radikal. Pusat Rehabilitasi Korban NII mencatat 64.538 orang dari kalangan buruh kasar dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) telah mampu direkrut oleh kelompok NII di Jakarta dalam kurun waktu sepuluh tahun (1977-2007). Jumlah tersebut melampaui angka rekrutan dari kalangan mahasiswa dan pelajar (Pusrehab NII, 2011).

Kasus besar yang pernah terekspos publik terkait dengan perekrutan dan mobilisasi PRT untuk kebutuhan penggalangan dana kelompok NII terjadi pada April 2002, (Liputan 6, 2002). Lebih dari 30 PRT tertangkap karena melakukan pencurian atas dasar doktrin radikal dalam rangka mendirikan negara Islam. Dari hasil penyidikan kepolisian, bergabungnya para PRT ke dalam NII adalah karena kedekatan kesamaan nasib di tanah rantau dan merasa memiliki soliditas dalam kebersamaan. Jarang dari mereka yang memang mengerti secara mendalam tentang agama, bahkan terhadap doktrin NII sendiri.

Berkaca pada kasus tersebut, segmen PRT di dalam negeri maupun PMI di luar negeri memiliki kerentanan yang sama untuk menjadi target perekrutan kelompok radikal. Mereka jauh dari keluarga, minim pengawasan, kesepian dan butuh perhatian dari sesama. Latar belakang psikologis ini yang menjadi celah besar bagi kelompok radikal untuk memainkan perannya dalam meraih perhatian mereka. Sementara doktrin agama digunakan hanya sebagai pelengkap yang menyempurnakan sentimen kebencian berlegitimasi ayat-ayat Tuhan.

Belajar dari Pengalaman Pusat Rehabilitasi NII

Kasus terbanyak yang ditangani Pusrehab NII adalah rehabilitasi korban dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Banyaknya laporan langsung dari orang tua korban memudahkan langkah taktis dilakukan segera. Pola penanganan korban diadopsi dari pola perekrutan ketika masuk NII, yaitu pemutusan komunikasi, doktrinasi dan mobilisasi. Pertama, cara pemutusan komunikasi adalah dengan cara dirumahkan yang disertai dialog intens dengan keluarga hingga korban masuk dalam tahap membuka diri. Kedua, tahap rehabilitasi dilakukan dengan bertatap muka dan berdiskusi dengan para mantan aktivis kelompok radikal demi memberikan perbandingan pemikiran serta menanamkan kembali nilai-nilai Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Terakhir, para mantan korban digugah untuk mengeluarkan teman-temannya yang telah direkrut dengan pendampingan dari Pusrehab NII.

Berbeda dengan kalangan pelajar dan mahasiswa, strategi deradikalisasi di atas tampak sulit dilakukan untuk menangani kasus rekrutan dari kalangan PRT atau mungkin PMI. Mengingat, umumnya mereka telah dewasa, berdiri sendiri dan jauh dari keluarga. Namun demikian, pola yang lebih memungkinkan digunakan adalah menilik dari alasan mereka bergabung, yaitu kesamaan nasib, kesepian dan membutuhkan perhatian dari sesama. Maka pembentukan komunitas yang mengakomodir keresahan mereka menjadi penting. Dari komunitas ini pula disuntikkan pemahaman tentang pola rekrutmen gerakan radikal termasuk pola penanganannya. Jadikan hal ini sebagai masalah bersama yang membutuhkan perhatian setiap individu PMI kepada saudaranya yang lain di tanah rantau. Tidak perlu hal yang membebani, komunikasi dan sharing informasi berkesinambungan dapat meminimalisir perekrutan di kemudian hari. Toh, serigala hanya memangsa domba-domba yang tersesat sendirian, bukan. (Penulis: Sukanto | Ketua Pusat Rehabilitasi Korban NII / NII Crisis Center) 

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.