(Bahasa Indonesia) Kisah SL, PMI dari Singapura yang Dihadang PJTKI di Bandara

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

SL merupakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja di Singapura dan diberangkatkan oleh PT Mutiara Putra Utama. Sebelum berangkat ke Singapura, ia diinformasikan akan mendapat hak libur selama 4x dalam satu bulan. Setelah berangkat ke Singapura, SL bekerja pada majikan pertamanya selama 2 bulan saja hingga akhir Februari 2019. Ia ingin berganti majikan karena beban pekerjaan terlalu berat, tidak mendapatkan hak libur, tidak diizinkan solat dan selalu dimarahi oleh majikan. Hak komunikasi SL dibatasi oleh majikan karena ia hanya boleh memegang telepon genggam pada malam hari saja.

Selama bekerja, SL kerap tidak mendapatkan istirahat yang cukup dan sering terlambat makan. Selama dua bulan bekerja di majikan pertama, berat badan SL turun dari 54 kg menjadi 47 kg. Setelah dua bulan bekerja, SL mengungkapkan pada majikan jika sudah tidak betah untuk bekerja di sana. Majikan mengizinkan SL untuk mengundurkan diri dan bekerja pada majikan lain, namun agensi di Singapura menyuruh untuk menunggu sampai majikan mendapatkan pekerja baru.

SL melakukan negosiasi pada agensi di Singapura untuk mendapatkan hak libur, sayangnya agensi hanya memberikan jatah libur satu kali dalam sebulan. SL juga melakukan negosiasi pada agensi agar ketika transfer, dirinya tidak mendapatkan potongan gaji lagi selama dua bulan. SL menghubungi Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI/PJTKI) agar mengkomunikasikan pada agensi untuk transfer hanya mendapat potongan satu kali saja. Namun, agensi di Singapura tetap bersikukuh bahwa potongan yang dikenakan adalah dua bulan gaji. Agensi membantah telah melakukan overcharge biaya penempatan pada SL.

Pada Maret 2019, SL dikembalikan oleh majikan pada agensi di Singapura. Selama tinggal di rumah agensi SL harus tidur di ruang makan karena kamar tidurnya tidak cukup. SL kemudian dibawa ke rumah adik agensi dan dipekerjakan di rumah tersebut. Agensi di Singapura menginformasikan akan ada dari agensi lain yang akan membawa SL untuk wawancara. Namun, ketika SL ingin bertanya lebih jauh mengenai calon majikannya, agensi menyuruhnya berhenti bertanya dan mengancam akan memulangkan BMI ke Indonesia. Agensi lain tidak bersikap baik terhadap SL, selalu marah-marah, tidak memberikan sarapan dan tidak memberikan minum sehingga SL kelelahan dan kurang istirahat.

Kasus SL ditangani oleh HOME Singapura, HOME menginformasikan pada SL bahwa pekerja migran tidak boleh dipekerjakan di rumah agensi dan SL berhak untuk memilih calon majikan yang cocok untuknya. SL mengikuti saran HOME dan memutuskan untuk tidak menerima tawaran dari salah satu calon majikan karena mereka memelihara anjing. Penolakan dari SL membuat agensi di Singapura dan PJTKI yang memberangkatkan SL marah-marah. Agensi mengatakan SL tidak bekerja dengan baik selama di rumah majikan dan di rumah agensi.

SL akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia, namun ia harus membayar tiket pesawatnya sendiri. Padahal menurut peraturan di Singapura, majikan harus membelikan tiket pesawat pulang setelah memutuskan work permit BMI.Tidak mendapatkan penghasilan selama di Singapura dan harus menanggung tiket sendiri, SL masih harus dibebani denda oleh PJTKI yang memberangkatkannya. PJTKI di Indonesia menyuruh SL untuk menyiapkan uang untuk membayar denda sebanyak Rp3 juta Rupiah.

Menurut SL, sebelum berangkat ke Singapura dirinya menerima uang saku sebesar 3 juta Rupiah. SL tidak tahu status uang tersebut adalah pemberian atau pinjaman dan apakah sudah masuk ke dalam potongan gaji atau tidak. Ia tidak diberikan informasi rinci oleh PJTKI. SL yang dipulangkan ke Indonesia lewat Bandara Adisucipto Yogyakarta pada 8 April 2019 dihadang oleh HN, perwakilan dari PJTKI yang memberangkatkannya.

HOME menginformasikan kasus SL pada Dewan Pimpinan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia (DPN SBMI). DPN SBMI kemudian merujuk kasus ini pada Infest Yogyakarta. Infest Yogyakarta kemudian mendatangani Bandara Adisucipto untuk menemui SL yang ternyata sudah bersama dengan HN, perwakilan PJTKI dan pegawai BP3TKI Yogyakarta. SL, perwkilan PTKI dan Infest Yogyakarta kemudian mendatangi kantor BP3TKI Yogyakarta dan melakukan mediasi yang difasilitasi oleh BP3TKI.

Dalam proses mediasi tersebut HN mengatakan bahwa SL telah menandatangani kwitansi pinjaman sebanyak 3 juta, namun HN sebagai perwakilan PJTKI tidak dapat menunjukkan bukti kwitansi tersebut. SL membantah dan menyatakan bahwa uang 3 juta tersebut uang saku karena yang dikatakan oleh PJTKI saat itu adalah uang saku, bukan uang pinjaman dan ia tidak tahu bahwa yang ia tandatangani merupakan kwitansi pinjaman.

Ridwan Wahyudi dari Infest Yogyakarta kemudian melakukan negosiasi bahwa pekerja migran seharusnya diberitahu sejak awal bahwa uang itu pinjaman dan diterangkan bahwa uang tersebut nantinya juga akan dibayarkan pekerja migran dalam masa potongan gaji. Ridwan juga menanyakan Perjanjian Kerja (PK) dan Perjanjian Penempatan (PP) milik SL. Namun, HN sebagai perwakilan dari PJTKI tidak dapat menunjukkan PK dan PP tersebut dengan alasan belum menyiapkan lebih dulu PP dan PK.

Ridwan juga menanyakan besaran biaya penempatan yang dibebankan pada SL. Hal ini dikarenakan potongan gaji yang harus ditanggung SL bila dijumlahkan seluruhnya sudah masuk dalam overcharge biaya penempatan jika merujuk pada regulasi mengenai biaya penempatan ke Singapura yang ditetapkan Menteri Ketenagakerjaan. Setelah beberapa argumen yang dikeluarkan oleh Ridwan, HN sebagai perwakilan PJTKI akhirnya membatalkan denda Rp3 juta yang dibebankan pada SL. SL dan HN menandatangani surat perjanjian hitam di atas putih bahwa permasalahan tersebut selesai dan SL dibebaskan dari denda tersebut.

Tulisan ini ditandai dengan: p3mi Pekerja Migran Indonesia PJTKI PMI pmi singapura 

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.