News

(Bahasa Indonesia) Tanggapan SBMI Soal Moratorium TKI

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Pemberitaan Koran Kompas halaman 18, edisi 5 September 2013.
Pemberitaan Koran Kompas halaman 18, edisi 5 September 2013.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) memberikan tanggapan atas berita Harian Kompas (5/09/2013) di halaman 18 rubrik Buruh Migran dengan  judul ”Moratorium TKI Saatnya Dicabut.” Tanggapan berisi opini yang ditulis oleh Krt. Ridwan Wahyudi (Bendahara SBMI).

Entah apa yang ada dalam benak pelaku bisnis penempatan BMI. Seolah ingin mendapat dukungan dari masyarakat, Asosiasi Perusahaan Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) menuntut pemerintah untuk mencabut moratorium TKI di kawasan Timur Tengah.

Menurut Ketua APJATI, Ayub Basalamah, sudah saatnya bagi Indonesia untuk mencabut moratorium. Dirinya berpendapat, moratorium telah mengakibatkan penurunan devisa sebesar 70% dan mengakibatkan pengurangan remitansi.

Seolah tak mau tahu dengan derita yang dialami BMI, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pun mendukung wacana pencabutan moratorium itu. Ayub yang juga mewakili PPTKIS, mengklaim telah melakukan usaha-usaha untuk melindungi BMI. Dilansir via Indonesiarayanews.com (4/9/13), beberapa usaha yang dimaksud Ayub seperti pemberian kartu identitas, gaji 3 hingga 4 juta, asuransi, dan alat komunikasi.

Apa yang dimaksud Ayub dengan usaha perlindungan BMI tersebut, tentu tidak cukup untuk dijadikan alasan pencabutan moratorium BMI. Hingga tahun 2013 ini saja Kementerian Luar Negeri (Kemlu)  telah mencatat ada 36 BMI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Data itu belum termasuk BMI yang memiliki kasus.

Moratorium merupakan salah satu bentuk perlindungan kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang memilih menjadi BMI. Kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah sebagai akibat dari banyaknya praktik bisnis penempatan BMI yang tidak beres. Pemerintah terkesan tidak tegas dalam memberikan sanksi pada pihak swasta yang melakukan pelanggaran.

Sebanyak 70 % persoalan buruh migran bermula dari dalam negeri. Misalnya masalah-masalah pra penempatan yang memposisikan TKI sebagai komoditi dagang. Sisanya adalah masalah di negara tujuan yang secara kultural memang berbeda dengan Indonesia. Alangkah lebih baik jika penempatan di negara yang secara kultural berbeda jauh (menganggap BMI sebagai budak) dihentikan, seperti penempatan di Timur Tengah dengan banyaknya korban perdagangan manusia.

Pencabutan moratorium sama saja dengan mempertaruhkan nyawa BMI hanya untuk kepentingan kenaikan remitansi dan bisnis. Jika itu terjadi maka sama saja dengan menikmati keuntungan semu dari penderitaan yang dirasakan oleh banyak BMI yang disiksa. Seolah-olah kita menutup mata dari buruknya kekerasan yang menimpa di negara penempatan.

Diskriminasi pun sudah ada pada kebijakan yang telah dibuat pemerintah terhadap mekanisme penempatan. TKI formal selama ini diberangkatkan pemerintah, sedangkan TKI non formal/ pekerja rumah tangga (dengan kecendrungan lemah secara SDM) malah diurus oleh swasta.

Peningkatan kualitas pendidikan di PPTKIS untuk buruh migran rasanya hanya isapan jempol belaka. Secara empiris banyak buruh migran yang diberangkatkan, padahal kemampuannya belum memenuhi. Apalagi, banyak negara penempatan BMI yang tidak memiliki regulasi bagus untuk buruh migran. Tak heran hal ini berakibat semakin banyaknya individu bermasalah di negara penempatan.

Tengok sejenak kantor perwakilan RI di Timur Tengah, maka akan ditemui ratusan bahkan ribuan buruh migran bermasalah. Itupun belum termasuk di tempat agen yang meminta perlindungan.

Pembekalan yang lebih komprehensif seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Banyak Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah yang terbengkalai, seharusnya itu dioptimalkan fungsinya, sehingga cost structure penempatan BMI tidak membengkak dan membebani buruh migran itu sendiri. Regulasi terhadap TKI pun hendaknya didesentralisasi.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional 1990 mengenai hak buruh migran dan keluarganya yang kemudian dicantumkan dalam hukum positif, Undang-Undang No. 6 tahun 2012 tentang ratifikasi konvensi. Inilah yang seharusnya menjadi rujukan dalam membuat peraturan-peraturan mengenai BMI. Maka dari itu, revisi Undang-Undang 39 tahun 2004 menjadi penting dan segera diselesaikan. Selain itu, peningkatkan diplomasi untuk menjalin MOU dengan nengara penempatan dengan prinsip perlindungan WNI yang setara dan adil juga harus segera diwujudkan.

Apa yang dikatakan oleh Ayub Basalamah yang menyatakan bahwa, melemahnya rupiah dan lesunya bisnis di Indonesia karena moratorium BMI, sungguh tidak patut disampaikan. Seharusnya dia menghormati hak-hak para BMI, bukannya menempatkan buruh migran sebagai obyek komoditi. Jelas sekali BMI merupakan tumbal para pelaku bisnis penempatan yang hedonis. Faktanya tidak ada variabel langsung antara meningkatnya jumlah devisa dengan penguatan ruapiah.

Tulisan ini ditandai dengan: Devisa moratorium remitansi SBMI TKI Arab Saudi UU No. 39 Tahun 2004 

2 komentar untuk “(Bahasa Indonesia) Tanggapan SBMI Soal Moratorium TKI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.