Suwarni (35), perempuan asli Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut adalah buruh lepas sebuah perumahan di kawasan Kasongan, Bantul. Perempuan yang biasa disapa Warni itu, sehari-hari bekerja di beberapa rumah untuk mencuci, memasak, atau sekadar membersihkan rumah. Namun, pada pertengahan Agustus 2012 ada sesuatu yang berubah dalam diri Suwarni.
Saat itu, ia melihat iklan baris di Harian Jogja, ia tertarik pada iklan lowongan yang menawarkan pekerjaan dengan gaji tinggi di Malaysia. Tanpa pikir panjang ia menghubungi nomor telepon yang tertera pada iklan tersebut. Kemudian ia memutuskan mengikuti segala arahan pemilik nomor dan menjalani pelbagai proses, demi mewujudkan keinginannya bekerja di luar negeri.
“Belakangan diketahui PT yang memberangkatkannya adalah PT Arni Family dan Mbak Warni diproses oleh Dita, pimpinan cabang PT Arni Family di Magelang. Sementara proses pemeriksaan medis dan dokumen paspornya dibuat di Cilacap, dibantu orang bernama Muhadi, semua berlangsung dengan cepat, hingga ia pamit pada Ibu Ida untuk bekerja ke Malaysia.” tutur Fathulloh, salah satu pegiat di redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM), sesaat setelah menemani Warni mengadu ke LBH Yogyakarta (18/09/12).
Curiga dengan proses perekrutan yang serba cepat, Ida (45), salah satu ibu rumah tangga yang biasa menggunakan jasa Warni menceritakannya kepada Akhmad Nasir, pegiat Combine Yogyakarta. Cerita tentang Warni lalu disampaikan Akhmad Nasir ke redaksi PSD-BM (11/09/12).
“Perekrutan Warni jelas ilegal, selain serba instan dan tanpa visa kerja (hanya paspor dengan masa berlaku 30 hari di Malaysia), sesuai keterangan Warni kepada Ibu Ida, oleh PPTKIS ia disuruh berbohong, ketika nanti ditanya Petugas Imigrasi, apa tujuan Anda ke Malaysia?, Warni dilarang menjawab untuk bekerja, melainkan ia diminta mengatakan, tujuannya ke Malaysia adalah mengunjungi sanak saudara, nah ini jelas perekrutan TKI secara ilegal, bisa dipastikan PPTKIS yang memprosesnya tidak memiliki Surat Izin Perekrutan (SIP).” tutur Abdul Rahim Sitorus, Pegiat LBH Yogyakarta saat berbincang-bincang bersama Warni dan keluarga Ida di Bantul (14/09/12).
Meski Warni sudah mendapat pelbagai penjelasan bahwa proses yang ia lakukan untuk menjadi TKI di Malaysia adalah ilegal, Warni tampak masih menyembunyikan sesuatu. Keinginannya menjadi TKI di Malaysia semakin besar, meskipun sempat beberapa kali berdiskusi dan menerima saran dari beberapa pegiat di kantor LBH Yogyakarta.
Harapan banyak pihak yang meminta Warni menahan keinginannya bekerja ke Malaysia melalui prosedur ilegal tersebut pupus sudah. Sabtu, 22 September 2012, Warni diberangkatkan ke Malaka, Malaysia lewat jalur Batam. Sementara hingga 1 Oktober 2012 suami Warni belum bisa terhubung dan berkomunikasi dengan Warni di Malaysia.
Kasus perekrutan ilegal seperti yang dialami Warni banyak terjadi di pelbagai daerah. Pola dan modus yang dilakukan pelaku perekrutan pun beragam. Pada kasus Warni, ada beberapa faktor yang memperkuat keputusan Warni untuk tetap melanjutkan berangkat ke Malaysia, antara lain:
- Setelah diminta bercerita, Warni menjelaskan banyak kebutuhan ekonomi yang harus ia penuhi. Sebagai ibu rumah tangga dengan suami yang tidak bekerja, meski pendapatan sebagai buruh harian lepas setiap bulan bisa mencapai hampir 1 juta rupiah, Warni harus menanggung cicilan motor, membiayai perawatan anak, dan pelbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Di tengah desakan ekonomi, ia tak kuasa menolak tawaran uang tunai (PPTKIS menyebutnya pesangon) sebesar 2 juta rupiah dari PPTKIS, ketika ia setuju diberangkatkan ke Malaysia.
- Peran dan sikap sang suami pada kasus Warni, juga menjadi penyebab mengapa Warni tetap memutuskan bekerja di Malaysia. Seperti disampaikan Warni, sang suami sempat memaksa dan tetap meminta Warni bekerja ke Malaysia. Dengan dalih istri harus taat kepada suami, Warni kembali tak kuasa menggagalkan keberangkatannya ke Malaysia, meski menggunakan prosedur ilegal.
- Berdasarkan perbincangan telepon antara Warni dan Dita (PPTKIS cabang PT.Arni Family di Magelang) yang sempat direkam redaksi PSD-BM, diketahui bahwa Warni juga menerima ancaman jika menggagalkan perekrutan yang telah ia jalani. Warni diancam harus mengganti uang hingga 5 juta rupiah lebih (untuk paspor, periksa medis, dan tiket pesawat) atau akan dilaporkan ke polisi jika ia berani membatalkan berangkat ke Malaysia.
Kasus Warni adalah pelajaran bagi banyak pihak. Ada pelbagai persoalan yang saling terhubung terkait keputusan seseorang untuk bermigrasi ke luar negeri. Fakta semacam ini akan terus terulang jika pemerintah tidak segera menata kebijakan-kebijakan migrasi TKI. Di sisi lain, fakta keberadaan ratusan PPTKIS ‘nakal’ pun akan tetap berlangsung, jika tidak ada mekanisme penegakan hukum yang bisa membuat mereka jera.