Pelbagai konflik agraria, melemahnya kewenangan desa mengelola sendiri sumber daya yang mereka miliki, perubahan fungsi lahan pertanian menjadi industri, dan persoalan lain di desa semakin melemahkan kedaulatan desa. Hal yang tragis desa terus dianggap sebagai penyuplai sumber tenaga kerja kasar bagi perkotaan atau bahkan pekerja migran.
Desa yang “dilemahkan” dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki, turut menjadi salah satu penyebab tingginya angka pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Lantas, apakah desa masih berpeluang memaksimalkan peran menahan laju migrasi warganya ke luar negeri?.
Masih ada banyak hal yang bisa dilakukan desa untuk menyikapi migrasi warganya keluar negeri. Berikut Pengalaman Desa Kopang Rembige di Lombok Tengah dan Desa Dermaji dapat menjadi pelajaran.
Memaksimalkan Pelayanan Publik
Beberapa dokumen yang menjadi prasyarat keberangkatan seseorang menjadi TKI harus diproses di Desa, KK, KTP, dan izin suami atau istri atau orang tua juga harus diketahui desa. Terkait kebutuhan dokumen TKI, Ahmadi, salah satu perangkat Desa Kopang Rembige menyampaikan pelayanan publik di desa harus memerhatikan aspek perlindungan TKI.
“Sebelum menandatangani dokumen, perangkat desa harus melakukan mediasi antara keluarga, Calon TKI, dan pihak-pihak yang mengarahkan warganya menjadi TKI, dalam hal ini adalah Calo TKI. Kepala Desa tidak boleh asal tandatangan, apalagi memalsu dokumen identitas. Semua pihak harus didudukkan, syukur ketika diskusi menemukan alternatif pekerjaan, dan Calon TKI tidak harus bekerja ke luar negeri,” tutur Ahmadi, ditemui saat mengikuti dengar pendapat RUU Desa di DPR RI (20/06/12).
Desa kantong TKI harus memiliki pengetahuan yang utuh soal prosedur dan mekanisme migrasi atau bekerja di luar negeri. Hal ini penting agar ketika pekerjaan alternatif bagi Calon TKI di desa tidak ditemukan, pelayanan publik di desa bisa mengawal proses migrasi melalui jalur yang minim risiko.
“Sekalipun harus menjadi TKI, desa harus bisa menjelaskan bahwa tanpa calo sekalipun, warga bisa memproses sendiri migrasi melalui jalur yang minim risiko, dan desa harus memiliki data akurat terkait warganya yang menjadi TKI, serta terus melakukan kontak secara berkala dengan keluarga untuk memastikan kondisi warganya di luar negeri,” tambahnya.
Peran lain dari pelayanan publik terkait isu TKI di desa adalah keterlibatan desa membantu keluarga TKI yang terlibat masalah di luar negeri. Pengalaman Desa Dermaji di Banyumas menunjukkan desa mampu menjadi penghubung penyelesaian proses pemulangan jenazah warganya yang menjadi TKI di Brunnei Darussalam.
Pada kasus pemulangan jenazah Riswo dari Brunnei Darussalam, Bayu Setyo Nugroho, Kades Dermaji menjembatani komunikasi keluarga dengan pelbagai pihak, BNP2TKI, relawan jaringan Mekarwangi di Jakarta, redaksi PSDBM, dan kerabat almarhum di Brunnei Darussalam hingga jenazah Riswo tiba di Desa Dermaji.
Peran desa dalam perlindungan TKI juga butuh mewujud dalam upaya-upaya pembangunan ekonomi desa. Identifikasi potensi dan aset lokal penting dilakukan untuk menuju kemandirian desa. Asumsinya, jika potensi ekonomi desa dapat dikelola dengan maksimal, maka desa tidak lagi hanya diposisikan sebagai penyuplai tenaga kerja kasar di perkotaan atau luar negeri.
Hal ini karena warga desa mampu terserap di sektor-sektor ekonomi perdesaan. Melalui pengelolaan layanan publik desa yang transparan, akuntabel, demokratis, dan berpihak pada masyarakat, khususnya kelompok marginal desa sangat mampu untuk berdaulat. Meskipun kondisi ini pun masih sebatas bayangan ideal peran desa, bukan tidak mungkin, dengan keberanian dan kreativitas, desa dapat mewujudkannya menjadi realitas.
su