Memisah Kepentingan Ekonomi Pada Layanan Publik Bagi BMI
Buruh Migran Indonesia (BMI) hingga saat ini belum benar-benar diposisikan dalam konteks individu yang bekerja atau pekerja. Hal semacam ini tampak dari bagaimana cara negara menyebut dan mendefinisikan mereka. Masyarakat Indonesia tentunya lebih memahami istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari pada kata Buruh Migran Indonesia. Padahal kedua kata tersebut jika dilihat secara kritis memiliki pemaknaan dan konsekuensi berbeda.
Kata “buruh” berbeda dengan “tenaga kerja”, penggunaan kata “buruh” akan diikuti sekian konsekuensi, dari regulasi nasional, internasional, hak dasar, perlindungan, hingga semangat solidaritas berserikat. Lantas apakah hal ini yang membuat pemerintah (pada konteks BMI) lebih memilih menggunakan kata “tenaga kerja”, sehingga bisa lepas atau tidak terlampau terikat oleh konsekuensi yang menempel pada penggunaan kata “buruh”?.
Lebih parah, kata “tenaga kerja” pada praktik operasionalnya banyak melihat pekerja sebatas “tenaga” untuk bekerja saja, bukan melihat pekerja sebagai manusia utuh (memiliki tubuh atau tenaga, pikiran, dan perasaan). Tidak heran jika muncul beragam istilah turunan dari kata “tenaga kerja” seperti, pasar tenaga kerja, produksi tenaga kerja, sektor ternaga kerja, dan industri tenaga kerja. Semua kosa kata tersebut melihat individu sebagai komoditas.
Tulisan ini tidak akan menelisik aspek pemaknaan bahasa antara istilah TKI dan BMI, namun sekadar wacana pembuka sebelum memperbincangkan hak atas layanan publik bagi BMI. Sekali lagi, penting diketahui sejak awal, BMI adalah individu pekerja yang harus dilihat utuh sebagai manusia (dengan tubuh, pikiran, dan perasaan) bukan tenaga dan komoditas semata.
Seperti halnya memahami BMI, memahami pelayanan publik juga harus dilihat dari prinsip dan konsekuensi yang menempel pada istilah layanan. Pelayanan Publik (Public Services) jika merujuk pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, didefinisikan sebagai segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kata kunci dari pengertian di atas adalah upaya pemenuhan kebutuhan. Kata kunci yang sama juga muncul pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Posisi pemerintah sejatinya adalah pelayan publik, mengakomodir, merumuskan, dan mendistribusikan pelayanan atas warga atau publik yang dinaunginya. Jika merujuk pada kata kunci semacam ini, maka tampak betul betapa mulia tugas individu yang bekerja di pemerintahan (Pegawai Negeri Sipil/PNS). Betapa sebuah kehormatan bagi individu yang bisa bekerja melayani masyarakat.
Sayang, kemuliaan dan kehormatan semacam ini menjadi kabur karena banyak pelayan publik lebih mengandalkan kewenangan dari pada kebutuhan penerima layanan. Akuntabilitas pada banyak kegiatan pemerintahan termasuk tata kelola layanan BMI juga kian “abu-abu”. Cara pandang pelayanan masih didominasi pandangan diri sendiri, bukan sudut pandang publik yang dilayaninya.
Proses migrasi (dari perekrutan, penempatan, hingga kepulangan dari luar negeri) membuat BMI berhadapan dengan beragam praktik pelayanan publik. Ibarat praktik pasar, BMI dapat diposisikan sebagai konsumen. Praktik pelayanan melibatkan BMI sebagai penerima layanan dan pemerintah bersama industri swasta sebagai penyedia layanan. Beragam dokumen yang harus diurus calon BMI, beragam pembiayaan (proses transaksi) yang dibayarkan, serta interaksi antara BMI dan penyedia layanan yang berjenjang dari desa hingga negara penempatan dan kembali ke desa.
Secara teknis hal ini menunjukkan betapa proses migrasi menjadi buruh di luar negeri seharusnya memposisikan individu sebagai subjek atau pelaku, bukan objek. Secara prinsip hal ini akan berbeda.
Jika BMI diposisikan sebagai objek layanan publik maka ia akan cenderung pasif dengan informasi yang sangat minim. Berbeda jika BMI sebagai subjek, ia harus dan selayaknya menjadi pelaku penerima layanan publik yang memiliki hak atas informasi dan pelayanan. Terlebih jika BMI terlibat praktik transaksi yang mewajibkan membayar sejumlah uang.
Pada posisi ini kita harus memeriksa kembali praktik pelayanan publik bagi BMI yang telah berlangsung selama ini. Apakah BMI menjadi obyek atau subyek?, dilayani atau diperas?, dilindungi atau tidak?. Semua akan terjawab dari bagaimana pemerintah dan industri swasta yang menangani BMI menyajikan pelayanannya.
Fakta atas BMI hingga saat ini masih didominasi dengan pelbagai persoalan dan carut marut penanganan. Pelayanan publik bagi BMI masih berada pada kinerja terburuk para penyedia layanan. Hal ini sebanding lurus dengan tingginya kasus dan persoalan yang menimpa BMI.
Yang terjadi selama ini,BMI hanya di anggap komoditas…… tahu sendiri bila sudah begitu,pasti hanya berorientasi keuntungan semata.Bisnis.
Padahal Pemerintah bs melakukan tindakan Prefentif,bila mau.UU harus di jalankan dgn tegas,yg melanggar harus di hukum seberat mungkin.