Bebaskan Buruh Migran dari Penjara Majikan

Author

Namaku Radisem, umur 28 tahun, asal Tritih, Jeruk Legi Cilacap. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Aku sering dipukul, dikurung di kamar mandi tanpa diberi makan oleh majikanku. Kakiku lumpuh dan tubuhku membiru. Aku bisa pulang setelah majikanku melapor saya punya penyakit bawaan, padahal merekalah biang keroknya. Jiwaku kuat, tapi empat hari tiba di Cilacap ragaku tak kuasa membujuk nyawaku pergi. Aku meninggal dunia.

Namaku Titik Sujani, lahir di Jember. Babu di Riyadh. Aku diperlakukan tidak senonoh oleh anak majikanku. Saya telah mengadu ke KBRI, tapi mereka malah menjawab, ”.. yang lebih parah dari kamu itu banyak.” KBRI bukannya menolong, tapi justru membiarkan majikanku menjemputku. Neraka kembali hadir dalam hidupku.

Namaku Haryani, 31 tahun, warga Turi, Kecamatan Panekan, Magetan. Saya bekerja 6 bulan sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Saya memilih melompat dari jendela lantai atas rumah majikan untuk melarikan diri. Saya disuruh bekerja dari pukul 05.00 pagi hingga 01.00 dini hari dan hanya diberi makan sekali dengan porsi dan lauk yang sangat tidak layak.

BERITA-berita miris perihal buruh migran berserakan di media massa; surat kabar, televisi, radio, internet, bahkan obrolan di gardu ronda. Pada rentang waktu 2003-2005, Pusat Data dan Informasi SARI (Social Analysis and Research Institute), Surakarta, melaporkan ada 47.486 kasus di Arab Saudi, 17.683 kasus di Uni Emirat Arab, 15.815 kasus 15.815 kasus di Malaysia. Andaikan peristiwa-peristiwa tersebut dipaparkan dalam statistik maka kita akan mendapat kesimpulan: setiap menit ada seorang babu menjerit dianiaya majikannya, ada seorang TKI mati setiap harinya. Sungguh menyesakkan.

Meski demikian, menurut Tanesia (2006), kawasan Timur Tengah masih menjadi daerah favorit pengiriman buruh migran, yaitu 47,64 prosen. Padahal kawasan Timur Tengah memiliki aturan yang sangat membatasi ruang gerak buruh migran, seperti Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan Maklumat yang melarang Tenaga Kerja Wanita (TKW) berbicara dengan wartawan. Pembatasan ini menjadikan para pekerja migran tidak dapat berkomunikasi dan berhubungan dengan dunia di luar mereka bekerja (Rokhmani,2006)

Buruh migran atau di Indonesia populer dengan sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan salah satu pilar penting dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia. Buruh migran mendapat sebutan pahlawan (hero) di sektor devisa. Sayang, sebutan tersebut hanya bersifat aforisme semata. Meski mereka telah menyumbang devisa US $ 165.611.731 atau 2 Triliun rupiah setiap tahunnya, kenyataannya pemerintah belum memiliki perangkat pelatihan, pendidikan, dan perlindungan bagi buruh mirgan yang memadai.

Berangkat dari kenyataan di atas, muncul inisatif dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM NU) Cilacap untuk membangun ruang komunikasi dengan buruh migran, buruh migran dengan buruh migran, buruh migran dengan keluarganya, dan buruh migran dengan pemerintah. Di awal 2009, LAKPESDAM NU Cilacap mendirikan Pusat Teknologi Informasi (IT Center) di lokasi strategis di Sidareja, tepatnya di Jalan Sudirman No 14 Sidareja, selatan Stasiun Kereta Api Sidareja. Inisiatif ini didukung oleh Microsoft Indonesia dan Yayasan TIFA Jakarta dalam program Rumah Internet TIK (Mahnetik).

Menurut Ahmad Fadli, Pengelola Pusat Teknologi Informasi, IT Center merupakan media yang akan dipergunakan para keluarga buruh migran di Sidareja dan sekitarnya untuk berkomunikasi dengan buruh migran di luar negeri. Lewat teknologi internet komunikasi dapat dilakukan dengan biaya yang murah dan efektif. Untuk memaksimalkan peran IT Center, pengelola telah merancang pengorganisiran dan pelatihan internet gratis yang dilaksanakan setiap hari untuk para keluarga buruh migran.

LAKPESDAM NU Cilacap berharap pemerintah bisa mendukung usaha ini dengan melakukan aktivitas diplomasi yang intensif pada negara-negara tujuan buruh migran, terutama Kerajaan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Malaysia. Pemerintah bisa mendesak negara-negara tersebut untuk memberikan keleluasaan pada buruh migran agar bisa melakukan komunikasi dengan dunia luar, misalnya diperbolehkan memiliki alat komunikasi seperti telepon selular, mendirikan organisasi, dan libur satu hari dalam seminggu.

Hongkong dapat menjadi contoh daerah yang ramah terhadap buruh migran. Buruh migran di sana tidak hanya mempergunakan alat komunikasi sebagai alat komunikasi semata, tapi sebagai media tukar menukar informasi sehingga buruh migran dapat memperkuat eksistensi dirinya. Sebagaimana penuturan Fitri, pembantu rumah tangga asal Sarwadadi, Kawunganten, Cilacap, ia setiap minggu memiliki hari libur dan dapat berkumpul dengan teman-temannya sesama buruh migran asal Indonesia. Meski hanya lulusan Madrasah Ibtidayah (setingkat sekolah dasar), ia dapat belajar secara otodidak tentang berbagai hal, termasuk internet.

Kerja keras Fitri membuahkan kemajuan pemikiran pada dirinya. Ia mengelola blog cewekndeso (http://cewekndeso.blogspot.com) yang menjadi media untuk berbagi pengalaman dan berkomunikasi dengan para blogger lainnya. Kerinduan, perhatian, dan keprihatiannya atas kondisi buruh migran dan daerahnya menghasilkan situs cilacap-online dot com (http://cilacap-online.com) yang ia rancang sendiri lewat aplikasi joomla yang ia pelajari secara otodidak. Kini, situs tersebut dikelola bersama beberapa warga desa daerahnya sebagai media pengarusutamaan isu-isu daerah dan buruh migran.

Kisah di atas merupakan secercah harapan bagi perbaikan kebijakan buruh migran di Indonesia. Semoga usaha membangun sistem informasi dan komunikasi buruh migran bisa menjadi solusi jitu mengurangi dan mendeteksi praktik kekerasan sejak dini. Langkah ini menjadi upaya pembebasan buruh migran Indonesia dari penjara majikan. (Yossy Suparyo)

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.