“Ke depannya, saya berharap teman-teman pekerja migran Indonesia (PMI), dapat lebih memahami hak-haknya. Bagaimana agar PMI mendapatkan haknya? Jangan diam! Karena ketika kita diam, selamanya kita tidak berdaya atas nasib diri kita sendiri.”(Ratih, Ketua Union of United Domestic Workers (UUDW).
Apa makna berdaya bagi seorang pekerja migran Indonesia (PMI) di negara penempatan? Apakah cukup hanya dengan keinginan kuat untuk bekerja dan mematuhi segala perintah majikan atau perusahaan? Lalu cukup puas dengan gaji yang suda ada? Sayangnya, berdaya dalam konteks PMI di negara penempatan tidaklah cukup dengan bekerja dan mematuhi perintah majikan. Makna “Berdaya” sendiri sangatlah luas, yaitu berkemampuan, berkekuatan, atau mempunyai cara atau strategi tersendiri dalam mengatasi sesuatu. Dalam konteks PMI, salah satunya adalah bagaimana dia mampu memperjuangkan nasibnya, tidak diam, kritis bertanya dan mencari informasi bagaimana mengatasi sesuatu yang dapat mengancam nasibnya selama bekerja di luar negeri.
Ada hal paling mendasar yang kadang luput dari perhatian PMI dalam mempersiapkan dirinya sebagai PMI, yaitu pentingnya mengetahui hak-hak dasarnya sebagai PMI kapan, di mana pun dan dalam situasi apapun. Megapa harus ditekankan pada situasi apapun? Karena faktanya PMI akan dihadapkan pada sejumlah tantangan yang bahkan tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tantangan tersebut bukan hanya terkait hak-hak PMI yang dilanggar, kekerasan oleh majikan maupun sesama PMI, penipuan, dan yang juga penting menjadi perhatian PMI adalah bagaimana mereka mampu menangkal diri dari pengaruh ideologi ekstremis yang dapat menggagalkan tujuannya bekerja sebagai PMI.
Pembahasan mengenai PMI berdaya terungkap dalam diskusi “Menjadi PMI Berdaya di Negara Penempatan Hong Kong”, pada Minggu (31/5/2020). Dalam acara yang diselenggarakan oleh Institute for Education Development, Social, Religious, and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta, Voice of Migrants (VoM) dan KJRI Hong Kong, PMI berdaya di antaranya meliputi bagaimana dia mampu memahami hak-hak dasar dan sekian persoalan PMI di negara penempatan, dalam hal ini di Hong Kong. Diskusi publik yang dilakukan secara online dan live melalui Zoom dan Facebook (fb), ini menghadirkan dua sudut pandang baik dari PMI maupun pemerintah. Perwakilan dari PMI, Ratih, Ketua Union of United Domestic Workers, yang membahas tentang hak dasar dan persoalan PMI di Hong Kong. Sementara perwakilan dari pemerintah yaitu Erga Grenaldi, Atase Teknis Tenaga Kerja KJRI Hong Kong, yang membahas tentang mekanisme pelindungan dan penempatan PMI Hong Kong.
Ketidaktahuan Atas Hak Dasar dan Kewajiban Picu Permasalahan PMI
Webinar “Menjadi PMI Berdaya di Negara Penempatan Hong Kong” dibuka secara singkat oleh Ricky Suhendar, Konsul Jenderal RI di Hong Kong, serta Irsyadul Ibad, selaku Direktur Eksekutif Infest Yogyakarta. Meskipun singkat, namun sambutan dari keduanya memberikan gambaran tentang mengapa PMI perlu berdaya di negara penempatan.
Menurut Ricky Suhendar, kunci peningkatan kapasitas pekerja migran Indonesia (PMI) pada dasarnya ada pada pemberdayaan PMI itu sendiri. Termasuk bagaimana agar PMI terhindar dari permasalahan hukum dan hak-hak yang tidak terpenuhi.
Sampai saat ini, berdasarkan pemantauan kajian pemetaan yang dilakukan oleh KJRI Hong Kong, permasalahan PMI sebagian besar disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakpahaman PMI itu sendiri atas hak dan kewajibannya.
“Upaya pemberdayaan PMI seperti yang dibahas dalam tema diskusi ini (“Menjadi PMI Berdaya di Negara Penempatan Hong Kong”), saya kira tema ini sangat relevan dengan kondisi PMI saat ini. Termasuk di antaranya meliputi penguatan kapasitas, pendidikan, dan aktivitas lainnya, sehingga PMI memiliki ketrampilan yang lebih mumpuni,” ungkap Ricky Suhendar dalam sambutan singkatnya.
Kendati pihak KJRI menyadari pentingnya pemberdayaan PMI melalui sejumlah kegiatan peningkatan kapasitas, namun dalam prosesnya tetap membutuhkan sinergitas dengan organisasi non pemerintah.
Sementara menurut Irsyadul Ibad (Ibad), pentingnya menjaga kolaborasi positif sebagai upaya memunculkan PMI yang berdaya dan saling menguatkan sesama PMI. Upaya Infest dalam menguatkan kapasitas PMI hingga berdaya telah dimulai sejak tahun 2013, baik di Saudi Arabia (Jeddah), di Hong Kong, maupun di Malaysia. Infest mulai memberikan perhatian secara khusus pada isu ekstremisme kekerasan di kalangan PMI pada tahun 2018.
“Kami berharap, ketika PMI sudah berdaya, kami bisa koneksikan di negara lain. Jadi setiap negara berbeda pendekatannya, terutama bagaimana menguatkan solidaritas sesama PMI. Kami berharap pelindungan PMI ini komprehensif, mendapatkan hak secara penuh dan tidak mudah terpapar ideologi yang bisa membahayakan dan menggagalkan tujuan utama pekerja migran,” papar Ibad dalam sambutan singkatnya.
Ibad juga berharap, semoga dalam situasi pandemi ini, PMI selalu dalam kondisi sehat, selamat dan berdaya selama bekerja, serta tetap saling berbagi dan melindungi.
Serikat Pekerja Rumah Tangga Dorong PMI Berani Bersuara Perjuangkan Hak-haknya
Fakta yang telah dijabarkan berdasarkan pemantauan KJRI Hong Kong, juga dirasakan dan dialami langsung oleh serikat pekerja rumah tangga di Hong Kong atau Union of United Domestic Workers(UUDW). Menurut Ratih, Ketua UUDW, pekerja migran di sektor domestik sampai saat ini masih menghadapi tantangan dalam memahami hak-hak dan kewajibannya. UUDW saat ini terus berupaya bagaimana agar PMI khususnya di sektor domestik mampu mendapatkan hak dasarnya sebagai PMI di Hong Kong, karena masih banyak PMI yang bahkan tidak menyimpan dokumennya sendiri.
“Teman-teman PMI pada umumnya tidak mengetahui tentang apa saja yang ada di kontrak kerjanya. Contoh lain yang juga banyak dialami PMI yaitu ketika kita tidak mendapatkan makanan yang layak dan belanja sendiri, sebenarnya kita bisa membeli di tempat dan kuitansi bisa disimpan dan diklaim, maka majikan bisa memberikan uang makan sesuai yang tertera di konterak kerja. Ada juga soal hak dan kewajiban, soal ini banyak PMI bingung mau melapor kemana. Biasanya banyak ketakutan untuk datang ke KJRI karena takut dibentak dan lain-lain. Kami di UUDW memberikan penguatan agar kita berani bersuara ketika kita tidak mendapatkan hak kita,” papar Ratih.
Pengalaman Ratih bersama PMI lainnya di UUDW merupakan informasi penting tentang kondisi PMi dan sekian persoalannya di negara penempatan. Penjelasan Ratih juga sebagai pengetahuan berbasis fakta di lapangan, sekaligus pembelajaran baik bagaimana sesama PMI saling berbagi kapasitas dan mendukung berdaya bersama. Apalagi faktanya sampai saat ini masih banyak PMI yang dipersulit oleh agensi, seakan para PMI ini tidak mengikuti proses pembekalan akhir pemberangkatan (PAP).
Fakta persoalan PMI juga diakui oleh Erga Grenaldi, Atase Teknis Tenaga Kerja KJRI Hong Kong. Dalam pemaparannya tentang mekanisme pelindungan dan penempatan PMI Hong Kong, Edgar berkali-kali menekankan pentingnya PMI melapor ke KJRI Hong Kong secara langsung ketika mendapatkan masalah. Pelaporan akan ditangani staf pengaduan dan akan diminta laporan secara detil dan lengkap.
“Kami juga akan meminta klarifikasi apa yang sudah dilakukan oleh agensi. Yang penting juga adalah bagaimana PMI mengenali dokumen kontrak kerja, termasuk mengenali tentang hak-hak PMI dan tahapan penanganan masalah mulai dari upaya komunikasi dengan majikan dan agensi. Jika upaya komunikasi secara baik-baik tidak bisa dilakukan atau ada kendala, maka silakan teman-teman PMI untuk datang ke pengaduan dan akan dilakuakan penganaganan lebih lanjut. Jadi silakan lakukan pelaporan,” ungkap Erga.
Pemaparan Erga merupakan informasi penting sebagai bekal bagi PMI ketika menghadapi masalah di negara penempatan. Hal ini melengkapi pendampingan kasus berdasarkan pengalaman sesama PMI yang dilakukan Ratih bersama UUDW. Informasi dari keduanya semakin lengkap ketika beberapa penanya peserta webinar memberikan sejumlah informasi beragam kasus yang menimpa mereka, seperti kasus overcharging, calling visa, penempatan yang tidak sesuai dengan alamat yang tertera pada kontrak, dan sejumlah kasus lainnya.