Komunitas Serantau sebagai ruang solidaritas dan berbagi pengetahuan bagi para Pekerja Migran Indonesia di Malaysia menggelar musyawarah organisasi (11-12/6/16). Sebanyak 13 pegiat Serantau berkumpul di Kawasan Bandar Sunway, Malaysia untuk merumuskan program kerja organisasi. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya (9-10/3/16) yang telah menghasilkan dokumen anggaran dasar organisasi.
Kegiatan yang difasilitasi Fathulloh dari Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM) Infest Yogyakarta tersebut dimulai dengan identifikasi dan pembentukan struktur Tim Serantau. Peserta musyawarah merumuskan komposisi pengurus harian Serantau yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan 3 koordinator (advokasi, media, dan koordinator wilayah). Menurut Ketua Serantau, Nasrikah, proses regenerasi menjadi tantangan utama bagi kelangsungan komunitas atau organisasi TKI.
“Serantau kembali melakukan regenerasi karena beberapa pengurus intinya sudah kembali ke tanah air, selain itu ada juga pengurus inti yang terkendala status permit atau izin tinggal, karena itu sekalian saja kita tata kembali Serantau, kita kembangkan dari yang sebelumnya hanya keredaksian untuk menerbitkan buletin, menjadi ruang belajar dan perjuangan jejaring TKI di Malaysia, anggotanya pun berkembang, selain individu juga ada perwakilan dari beberapa organisasi TKI yang ada di Malaysia,” papar Nasrikah.
Setelah struktur tim kerja terbentuk, para peserta kemudian merumuskan program kerja Serantau yang terdiri dari tiga program kerja utama, advokasi kasus, advokasi hak informasi, dan penguatan pengetahuan anggota jejaring Serantau. Berdasarkan tiga program tersebut, para pegiat Serantau kemudian menyusun kegiatan rinci di masing-masing program kerja.
Dalam hal penanganan kasus misalnya, selain masih minimnya pengetahuan pegiat Serantau soal kebijakan ketenagakerjaan baik di Indonesia maupun Malaysia, para pegiat Serantau juga menyepakati prinsip dasar bahwa ada organisasi TKI bukan untuk menggantikan peran negara dalam hal memberi perlindungan bagi warga negara di luar negeri. Sehingga terkait persoalan atau kasus TKI yang terjadi, posisi Serantau harus taktis mendesak ada peran atau tanggungjawab negara.
“Selama ini solidaritas antar TKI di Malaysia sudah sangat baik, tanpa menunggu peran KBRI/KJRI, saat ada kawan yang menghadapi masalah, kecelakaan kerja, bahkan meninggal dunia, maka organisasi TKI akan bergerak cepat untuk memberikan bantuan, bahkan menggalang dana untuk membiayai pemulangan TKI yang menghadapi masalah. Pola ini akan terus terjadi, organisasi TKI akan terus jadi tukang cuci piring (menyelesaikan masalah TKI), sementara para pihak terkait seperti pemerintah, majikan atau agensi akan lenggang kangkung lepas tanggungjawab. Karena itulah saya sepakat jika Serantau bekerja lebih taktis, yakni memperjuangkan atau mendesak perbaikan kebijakan,” papar Ridwan Wahyudi, pendamping komunitas Serantau.
Selain menyusun rencana kerja tahunan, di sela-sela kegiatan musyawarah juga dilakukan penguatan kapasitas pewartaan bagi pegiat Serantau. Pada kesempatan yang sama, Fajar Santoadi, pegiat dari Tenaganita yang sempat hadir dalam pertemuan tersebut turut berbagi hasil diskusi perdana Koalisi “Rights to Redress” dimana Komunitas Serantau ikut terlibat bersama organisasi pekerja migran dari berbagai negara lain yang ada di Malaysia.