Menangkal Sampah Informasi di Media Massa

Author

Hoax dan ujaran kebencian yang berpotensi menggerus keutuhan Bangsa Indonesia membanjiri warga Indonesia melalui media sosial. Apakah media massa bisa menjadi medium untuk mengembalikan ke “jalan yang benar” agar menjadi warga negara yang beradab?

Saat ini, salah satu persoalan serius yang dihadapi masyarakat Indonesia adalah kualitas kewarganegaraannnya yang makin menurun. Masyarakat semakin tidak civilized (mudah melakukan kekerasan dan melanggar aturan dan lain-lain), intoleran dan lupa dengan prinsip-prisip nilai yang dijadikan dasar dalam hidup bernegara dan berbangsa. Saya pernah membaca di sebuah wall Facebook milik seorang anak SMA yang intinya kira-kira seperti ini,”Toleransi ya toleransi tetapi mengapa harus membantu membersihkan tempat ibadah milik umat agama lain yang berbeda.”

Nah, apa yang salah dengan membersihkan tempat ibadah dari agama lain?

Munculnya media sosial tidak memperbaiki tetapi justru memperburuk kualitas kewarganegaraan Bangsa Indonesia. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena literasi masyarakat kita masih sangat rendah sehingga tidak memiliki basis pengetahuan yang kuat. Akhir pekan lalu, Sabtu (11/8) saya bicara di depan sekitar 30 mahasiswa baru di sebuah universitas swasta terkenal di Yogyakarta, tidak ada satu pun yang pernah membaca buku “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Bahkan Iqbal, pemeran Minke dalam film “Bumi Manusia” (yang sedang dibuat) baru membaca novel itu saat sekolah di Amerika Serikat! Mereka tidak salah, yang salah adalah sistem pendidikan di Indonesia yang lebih menonjolkan aspek menghapal. Literasi yang rendah ini menyebabkan masyarakat tidak memiliki intelektualitas yang cukup sehingga mudah membuat dan menerima informasi hoax (dari masyarakat untuk masyarakat). Dalam situasi seperti ini mereka mudah terperangkap dalam fenomena post truth, cenderung berpandangan populisme kanan sehingga menggerus nilai-nilai ke-Indonesia-an yang seharusnya menjadi pegangan. Informasi yang bermuatan intoleransi, menghina, hoax dan lain sebagainya mudah beredar karena hampir seluruh masyarakat Indonesia memiliki smarthphone, bahkan jumlahnya melebihi jumlah penduduk Indonesia. Ada 371,4 juta smartphone di Indonesia, padahal jumlah penduduk Indonesia sekira 262 juta (katadata.co.id, 29 Agustus 2017). Sementara itu hampir setengah dari penduduk Indonesia sudah menggunakan internet. Laporan Tetra Pak Index (2017) menyebutkan ada 132 juta orang yang sudah mengakses internet, 106 juta diantaranya menggunakan media sosial. Mayoritas yang menggunakan internet adalah generasi milenial dan generasi Z (detikcom, Rabu 27 September 2017). Kombinasi antara literasi yang rendah dan “mendadak” bisa mengakses teknologi informasi menyebabkan hoax merajalela. Departemen Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengatakan jumlah hoax mencapai sekitar 800 ribu per tahun. (IDN Times.com, 14 Maret 2018).

Ujaran kebencian yang bisa memecah belah keutuhan Bangsa Indonesia juga masih tinggi. Laporan terbaru Wahid Foundation tentang Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) menyatakan selama 2017 ada 28 peristiwa dan 36 tindakan politisasi agama. Paling banyak adalah ujaran kebencian yang mencapai 15 tindakan. (Kompas, Kamis 9 Agustus 2018)

Dalam situasi seperti ini, media massa yang salah satu fungsinya untuk mendidik publik seharusnya bisa memperbaiki situasi ini. Apalagi pascareformasi politik (1998) yang menghadirkan kebebasan pers dan kemudian diikuti dengan kehadiran internet makin memudahkan siapa saja membuat media massa, terutama media massa online (daring). Kepemilikan media massa menjadi lebih beragam (diversity of ownership), tidak lagi dimonopoli orang bermodal besar saja. Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo mengatakan saat ini ada sekitar 43.000 media daring di seluruh Indonesia (IDN Time, 8 Februari 2018).

Secara teoritik, kehadiran media massa yang lebih banyak seharusnya membuat publik menjadi lebih meningkat pengetahuannya dan lebih civilized. Media massa adalah “sekolah” yang paling murah. Dahulu pemenang yang mampu membawa uang paling banyak dalam acara televisi “Who want to be Millionarie” bukan seorang dosen atau profesional lainnya tetapi adalah seorang loper koran, ia selalu membaca semua koran sebelum mengantarkannya kepada para pelanggannya.

Namun faktanya, media massa tampaknya tidak mampu menetralisir kemunculan hoax dan berbagai ujaran kebencian. Apakah masyarakat tidak suka membaca media massa? Atau apakah media massa tidak memproduksi materi yang edukatif? Tradisi untuk gemar membaca (media massa) memang harus ditumbuhkan melalui proses literasi. Tetapi tidak hanya soal literasi saja yang menjadi penyebabnya, media massa di Indonesia sendiri juga menyimpan berbagai persoalan sehingga tidak mampu menampilkan dirinya sebagai “guru” bagi masyarakat.

Mengapa media massa tidak bisa menjadi “guru” ideal bagi masyarakat?

Ada beberapa sebab mengapa media massa tidak bisa menjadi “guru” yang ideal bagi masyarakat.

Pertama, membuat media massa online juga membutuhkan biaya tidak sedikit.

Domain websitenya murah tetapi proses menghasilkan konten berita berkualitas membutuhkan biaya tidak sedikit. Perusahaan media massa perlu dikelola secara profesional mulai dari mendapatkan jurnalis (dari reporter hingga pemimpin redaksi) yang bagus, memberikan gaji layak, memberikan pelatihan kepada awak redaksi dan dukungan cukup dana untuk membuat berita yang bagus.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tegas mengatakan hanya jurnalis yang sejahtera yang bisa membuat berita bagus. Sebab jika tidak sejahtera, para jurnalis akan memburu “amplop” dan ini menjadi kendala besar untuk menghasilkan berita berkualitas. “Amplop” tidak berada di lokasi dimana jurnalis bisa menemukan berita dasyat.

Kualitas jurnalis juga menjadi persoalan karena mereka jarang mendapat training dan pendidikan. Stanley pernah mengatakan banyak jurnalis di Indonesia yang tidak memenuhi syarat sehingga tidak mampu menyajikan berita-berita yang berkualitas. Kasus organisasi masyarakat (ormas) yang “didampingi” aparat kepolisian memaksa Gereja Santo Paulus Pringgolayan, Bantul agar menghentikan acara bakti sosial mereka, Minggu (28/1), bisa menjadi contoh. Peristiwa ini tidak muncul di banyak media massa, media massa nasional justru yang lebih banyak mengangkat persoalan ini dari pada media massa lokal. “Mas, kami sepakat tidak follow up kasus itu,” ujar seorang jurnalis kepada saya, sekitar akhir Januari 2018 lalu.

Banyak jurnalis melihat kasus itu adalah kasus “SARA” sehingga tidak perlu diberitakan. Padahal kasus ini perlu diangkat agar bisa mengontrol negara agar memenuhi janjinya dalam melindungi setiap warga negara dan mendidik masyarakat agar menjadi warga negara yang baik, bahwa memaksakan kehendak itu tidak diperbolehkan.

Kasus ini menjadi sedikit gambaran bagaimana kualitas para jurnalis di Indonesia. Masih banyak lainnya, hal serupa juga terjadi pada kasus penutupan sebuah kapel di Surakarta beberapa tahun lalu.

Kedua, ada banyak media massa yang didirikan tidak untuk melayani hak publik agar bisa mendapatkan informasi berkualitas.

Para pemilik media hanya bercita-cita mendapatkan keuntungan dari media yang didirikannya. Dalam jagad media online, para pemilik media lebih mengejar “klik” agar bisa mengejar traffic sehingga bisa menarik banyak iklan. Berita yang dipilih pun akhirnya bukan berita yang berkualitas tetapi berita-berita yang sensasional dan banal.

Ketiga, belanja iklan untuk media online ternyata tidak banyak yang dinikmati media online di Indonesia.

Dari belanja iklan rata-rata Rp, 1,9 milyar per tahun untuk media-media online besar, 70 persennya dinikmati Google dan Facebook. Dengan situasi seperti ini, kondisi media online tidak bisa berkembang secara bagus. Stanley mengatakan dari sekitar 430 ribu media online, hanya ada 168 media yang dikelola secara profesional. Sedangkan dari 2000 media massa cetak, hanya ada 321 yang profesional. Situasi ini menyebabkan media massa sulit menjadi “guru” bagi masyarakat untuk memperbaiki kualitas kewarganegaraannya.

Apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah dan Masyarakat?

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah bersama masyarakat untuk memperbaiki situasi ini.

Pertama, literasi terhadap masyarakat perlu ditingkatkan. Sekolah dan keluarga harus mendorong generasi muda untuk mulai rajin membaca.

Kedua, berkaitan dengan persoalan media massa, pemerintah harus menjalankan beberpa kebijakan misalnya harus memastikan media massa dikelola secara profesional, mengoptimalkan media watch untuk mengawasi konten media dan memastikan mekanisme yang memungkinkan media online bisa mendapatkan kue iklan yang besar, bukan google atau facebook yang bukan milik orang Indonesia sendiri.

**** Keterangan Penulis: Bambang Muryanto adalah Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogykarta. Artikel ini ditulis sebagai materi diskusi dalam “Workshop Kick Off Program: “Penyusunan Strategi Pencegahan Ekstremisme di Kalangan Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri pada periode Pra- Penempatan dan Penempatan,” yang diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta pada Jumat-Minggu (7-9 September 2018). Sumber gambar: media

Tulisan ini ditandai dengan: hoax literasi media 

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.