Blitar—Gustopa (30 tahun), pria paruh baya asal Desa Selokajang, Srengat, Blitar ini berhasil selamat dari kejinya perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Tapi ia tidak bisa luput dari dugaan perkara penipuan oleh perekrut. Ia memperoleh informasi mengenai lowongan pekerjaan sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal pesiar Taiwan dari temannya bernama Haikal. Kemudian Haikal mengajak Gustopa ke rumah Nur Miasih, warga Sanan Wetan, Blitar pada tanggal 12 Desember 2016. Di rumahnya, Nur Miasih menyampaikan kepada Gustopa bahwa jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia sebanyak 80 orang dengan gaji pokok Rp. 5 juta, ditambah dengan tunjangan lainnya bisa mencapai Rp. 15 juta setiap bulannya yang bakal diterima oleh Gustopa. Selain itu, Nur Miasih juga menyebutkan bahwa biaya proses Rp. 15 juta tanpa ada potongan lagi yang mesti dibayar oleh Gustopa.
Gustopa yang juga mantan buruh migran Malaysia selama lima tahun ini sangat tertarik dengan pekerjaan tersebut, yang kemudian menindaklanjuti proses selanjutnya dengan pembuatan paspor. Ia menyerahkan uang Rp. 1 juta untuk proses tersebut pada tanggal 16 Desember 2016. Setelah itu, Gustopa menjalani tes psikologi di Lembaga Psikologi Lazuardi dengan biaya Rp 250 ribu pada keesokan harinya. Lalu pada tanggal 19 Desember 2016, Gustopa menjalani pemeriksaan kesehatan di Arrahmah Lab Medical dengan biaya Rp. 200 ribu. Pada proses ini, Gustopa diantar oleh istrinya dan istri Haikal.
Sejak tanggal 12 – 20 Desember 2016, Gustopa menyerahkan dokumen persyaratan secara bertahap kepada Nur Miasih seperti KTP, KK, dan Ijazah. Gustopa sempat menanyakan kepada Nur Miasih, “Kok tidak membikin kartu kuning?” katannya. Nur Miasih menjawab, “Kartu kuning bisa diurus di Jakarta,” Gustopa menirukan pernyataan Nur Miasih. Pada tanggal 20 Desember 2016, Gustopa menyerahkan uang sebesar Rp. 1 juta kepada Nur Miasih, kemudian sore harinya menyerahkan lagi Rp. 4 juta. Proses ini disaksikan oleh istri Gustopa dan ia diberikan bukti pembayaran oleh Nur Miasih.
Pada tanggal 21 Desember 2016, Gustopa diminta berangkat ke Jakarta oleh Nur Miasih. Ia diantar oleh Didik (rekan Nur Miasih) dan Haikal ke tempat pemberangkatan bus Rosalia Indah yang disaksikan oleh istri Gustopa, istri Didik, istri Haikal beserta mertuanya. Pada sore harinya, Nur Miasih menelpon istri Gustopa untuk datang ke rumahnya. Di sana, Nur Miasih menyampaikan kepada istri Gustopa bahwa kekurangan biaya proses sebesar Rp. 10 juta segera dibayarkan, jika tidak, maka proses keberangkatan Gustopa akan terhambat.
Pada tanggal 22 Desember 2016, Gustopa tiba di Jakarta. Ia dijemput oleh Andrias dengan menggunakan mobil pribadi dan dibawa ke kantor PT Hageuli International. Hal ini sangat berbeda dari informasi sebelumnya, padahal menurut Gustopa nama perusahaannya adalah PT Tabuli Rasa. Hal ini berdasarkan kop surat pada surat ijin keluarga yang pernah diurus oleh Gustopa sebelum berangkat yang bertuliskan PT Tabuli Rasa. Setelah tiba di PT Hageuli International, Gustopa disampaikan ada potongan gaji sebesar 280 – 300 dolar selama tiga bulan dan kemudian empat bulan berikutnya sebagai jaminan. Hal ini juga berbeda seperti yang disampaikan oleh Nur Miasih.
Sebelum itu, di tengah perjalanan menuju PT Hageuli International, Gustopa juga diminta menandatangani surat pernyataan oleh Andrias. Gustopa mengaku tidak memahami isi surat pernyataan tersebut dan langsung menandatanganinya. Selain dipaksa dengan alasan kemudahan proses, kondisinya sedang mabuk darat setelah menempuh perjalanan panjang Blitar – Jakarta menggunakan bus sehari semalam.
Pada waktu yang hampir bersamaan, istri Gustopa menerima pesan dari Nur Miasih yang berisi, “Uangnya ditunggu bos e.” Istri Gustopa bergegas mendatangi rumah Nur Miasih untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 10 juta sebagai kekurang biaya proses. Istri Gustopa diantar oleh Nur Miasih menuju ATM untuk melakukan pembayaran secara transfer dengan tujuan rekening atas nama Entin Martinah.
Selama tiga hari, Gustopa dibiarkan tinggal di kantor PT Hageuli International hanya dibekali mie instan dan beras. Padahal, kondisi Gustopa pada saat itu juga terasa kurang sehat setelah perjalanan panjang Blitar – Jakarta. Hal ini juga berbeda seperti yang disampaikan oleh Nur Miasih bahwa Gustopa harus menjalani pendidikan dan pelatihan sebelum diberangkatkan ke Taiwan yang rencananya pada tanggal 3 Januari 2017.
Merasakan kecurigakan atas proses yang dialaminya, Gustopa pamit pulang ke Blitar kepada Mislan, seorang penunggu kantor pada tanggal 25 Desember 2016. Setelah tiba di Blitar, Gustopa dan istrinya mendatangi rumah Nur Miasih untuk meminta penjelasan prihal perbedaan informasi dari Nur Miasih dengan kenyataan yang dialaminya di Jakarta. Gustopa pun membatalkan proses dan meminta agar uangnya dikembalikan. Nur Miasih pun berjanji akan mengupayakan untuk pengembalian uang Gustopa. Hal ini disaksikan oleh istri Gustopa, seseorang bernama Didik dan istrinya.
Pada tanggal 27 Desember 2016, Gustopa dan istrinya mendatangi rumah Nur Miasih untuk meminta uangnya. Nur Miasih meneplon Andrias mengenai permintaan Gustopa. Di dalam percakapan, Andrias mengatakan bahwa uang Gustopa tidak bisa kembali karena ia telah menandatangani pernyataan. Gustopa juga ditunjukkan pesan WhatsApp dari Andrias kepada Didik mengenai pernyataan itu. Keesokan harinya, Gustopa mendatangi rumah Nur Miasih, tapi ia menyarankan kepada Gustopa agar melanjutkan proses. Sedangkan jika membatalkan, uang tidak akan kembali. Percakapan tersebut juga direkam oleh Gustopa.
Upaya Akses Keadilan Gustopa
Menyadari bahwa Gustopa sedang menjadi korban penipuan, ia melaporkan perkaranya kepada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Blitar pada tanggal 28 Desember 2016. Paska pelaporan tersebut, dua kali Nur Miasih berusaha dihadirkan tapi mangkir dari panggilan Dinas Tenaga Kerja Blitar. Terlihat tidak ada niat baik untuk menyelesaikan masalah, Nur Miasih dipolisikan oleh Gustopa. Laporan diterima oleh Kepolisian Resort Kota Blitar pada tanggal 19 April 2017. Gustopa juga telah diminta keterangannya oleh penyidik. Sementara itu, beberapa saksi telah dihadirkan untuk diminta keterangannya oleh penyidik untuk melengkapi berkas penyidikan.
Kendati demikian, polisi masih sulit menghadirkan Andrias, salah satu terduga pelaku lain yang merupakan aktor kunci dari perkara ini. Ketika dilakukan pemanggilan oleh polisi, Andrias selalu menghubungi Gustopa dan mengintimidasinya bahwa perkara ini tidak akan bisa diselesaikan. Andrias pun juga tidak memiliki itikad baik untuk mengembalikan uang dan seluruh dokumen Gustopa. “Dia selalu telpon dan ngancam-ngancam saya kalau ada panggilan polisi, tapi saya tak gentar sedikitpun,” ketus Gustopa saat ditemui oleh pewarta pada Selasa, 13 Februari 2018.
Eddy Purwanto, yang merupakan kuasa hukum Gustopa dari Pusat Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI) mengatakan bahwa kasus yang dialami oleh Gustopa itu terbilang mudah.”Itu jelas pelakunya, saksi-saksinya ada, bukti-buktinya lengkap, tinggal apakah polisi mau menyelesaikan kasus itu atau tidak,” katanya saat dihubungi secara terpisah oleh redaksi melalui telpon kemarin pada hari Minggu, 18 Maret 2018.
Tambahan lagi, lanjut Eddy, perkara tersebut dapat dinilai sebagai kasus percobaan perdagangan orang. “Gustopa sudah direkrut, dikirim, dipindahkan, diterima dan ditampung; ini prosesnya. Ia juga sudah ditipu, terjebak pada posisi rentan (surat pernyataan.red); ini bagian dari unsur cara. Eksploitasinya, kerugian uang Rp. 15 juta dan immaterial seperti seluruh aktivitas proses yang merugikan Gustopa,” rinci Eddy Purwanto.
Lambannya proses hukum oleh Kepolisian Resort Blitar, PBHTKI sedang menyiapkan gugatan praperadilan atas perkara yang dialami oleh Gustopa. “Kita ingin hakim memeriksa dan memutuskan proses peradilan pidana yang dilakukan oleh penyidik. Karena, kasus ini sudah berjalan 11 bulan, tapi tidak ada kejelasan yang dilakukan oleh penyidik, seperti penangkapan atau penahanan kepada tersangka; padahal semuanya sudah lengkap,” tegas Eddy Purwanto.
Dari proses ini, Gustopa mengaku kekecewaannya terhadap aparat penegak hukum karena lambannya proses peradilan yang dilaluinya. Di samping itu, penahanan dokumen yang dilakukan perekrut membuat ia sulit mencari kerja. “Cari kerja jadi susah karena dokumen dibawa orang, gak bisa ke mana-mana. Kasus pun mandek, ke mana lagi saya harus mengadu?” tutupnya.