Lagi, Korban Perdagangan Orang Dialami ABK Migran Asal Afrika

Author

Kampanye Anti Perdagangan Orang bagi ABK Migran oleh SBMI dan Greenpeace
Kampanye Anti Perdagangan Orang bagi ABK Migran oleh SBMI dan Greenpeace di Kementerian Ketenagakerjaan pada 2017 lalu

Jakarta–Korban perdagangan orang yang menimpa Anak Buah Kapal (ABK) migran terus berjatuhan. Hal ini disampaikan oleh Hariyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) kepada redaksi Buruh Migran melalui pesan WhatsApp usai menggelar konferensi pers di Kementerian Luar Negeri hari ini Kamis, 8 Maret 2018.

“Catatan kasus SBMI menunjukkan sebanyak 104 kasus yang menimpa ABK migran dalam kurun waktu 2014-2018. Semuanya masuk kategori perdagangan orang dan mayoritas berasal dari Afrika,” ungkap Hariyanto.

Korban kali ini menimpa IU (19 tahun) asal Banyumas. Hariyanto menjelaskan prihal mengapa perkara tersebut diduga sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), karena telah memenuhi unsur-unsur di dalam TPPO, yakni proses, cara dan tujuan untuk mengeksploitasi korban.

Pada tataran proses, Hariyanto membeberkan bahwa IU telah tergiur tawaran pekerjaan sebagai ABK migran dari perekrut yang menggelar sosialisasi di desa. Pada waktu itu, perekrut menyampaikan bahwa ada lowongan kerja ke China untuk sektor perikanan dengan gaji Rp. 9 juta dan disertai tunjangan. IU pun awalnya tak menaruh kecurigaan, lanjut Hariyanto, karena sosilisasi dilaksanan di balai desa dan diikuti oleh perangkat desa.

“Bahkan ibu IU mengatakan kepada kita bahwa terdapat oknum perangkat desa yang terlibat dalam perekrutan tersebut,” ujarnya.

Ketertarikan IU untuk bekerja sebagai ABK migran mendapatkan restu ibunya. Setelah menjalani proses pendaftaran, IU diarahkan oleh perekrut untuk berangkat ke Jakarta untuk menjalani pendidikan dan pelatihan selama 3 bulan. IU sempat menaruh kecurigaan ketika di Jakarta, lantaran perekrut meminta biaya-biaya yang menurutnya di luar dari informasi yang disampaikan sebelumnya.

“Selain perekrut meminta uang jaminan 10,5 juta, penampung juga meminta 1 juta per minggu kepada IU sebagai pengganti asrama dan makan selama pelatihan di Jakarta,” beber Hariyanto.

IU diberangkatkan pada 6 November 2016 ke Gabon, sebuah negara di kawasan pesisir Afrika Barat. Tiga bulan menjalani pekerjaannya, IU merasakan ancaman mengenai keselamatannya. Gejala itu dirasakan ketika kondisi yang tak layak dialami oleh IU. “Kerja rata-rata 20 jam per hari, tanpa hari libur, dan tidak pernah menerima gaji selama bekerja,” rincinya.

Hariyanto menambahkan bahwa hal itu merupakan indikator eksploitasi dalam TPPO. Memasuki enam bulan bekerja, ketika kapal penangkap ikan menyandar di Gabon, IU mengabarkan kepada keluarganya dan melaporkan kepada SBMI melalui media sosial mengenai perlakuan buruk yang diterimanya. SBMI langsung merespon pengaduan tersebut dengan melaporkan kepada Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI) Kementerian Luar Negeri.

“Kami harus laporkan kasus ini kepada Kemlu dulu agar dilakukan penyelamatan kepada IU,” tegas Hariyanto.

Berangkat dari pengaduan yang disampaikan oleh keluarga dan SBMI, Kementerian Luar Negeri merespon laporan tersebut. Upaya pemulangan memakan waktu yang cukup lama, karena Indonesia tidak memiliki perwakilan pemerintah di Gabon. Selain itu, akses ke Gabon juga cukup sulit karena tidak ada penerbangan langsung dari Nigeria ke Gabon walaupun kedua sebenarnya negara bertetangga.

“Setelah kami verifikasi laporan tersebut, kami langsung memerintahkan staf kami yang berada di KBRI Abuja untuk datang ke Gabon, meminta otoritas setempat untuk menyerahkan IU dari kapal China kepada perwakilan,” kata Lalu M. Iqbal, Direktur PWNI dan BHI Kementerian Luar Negeri melalui pernyataan tertulisnya.

Permintaan KBRI Abuja dikabulkan oleh otoritas Gabon dan selanjutnya pada tanggal 14 Februari 2018, IU dapat dipulangkan ke Indonesia. “Kami langsung melaporkan kepada Satgas TPPO Polri pada tanggal 15 Februari 2018, agar perekrut yang terlibat segera ditindak” tegas Iqbal.

Sambil menjalani pemeriksaan oleh kepolisian, IU dibina di Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) Kementerian Sosial. Hal ini dimaksudkan, lanjut Iqbal, untuk menjalani pemulihan paska trauma yang dialami oleh IU.

Iqbal menambahkan bahwa kasus IU ini bisa dijadikan sebagai momentum untuk lebih meningkatkan perlindungan bagi ABK migran. Mengingat kebijakan perlindungan ABK migran ini telah diamanatkan melalui UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). “Ketentuan tersebut juga mengatur pelaksanaan tata kelola dan perlindungan bagi ABK migran,” pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Hariyanto, percepatan pembuatan peraturan pelaksana dari UU PPMI akan memberikan kepastian dan jaminan perlindungan bagi ABK migran yang lebih baik. “Kami akan terus mendesak pemerintah untuk segera menyusunan aturan turunan UU PPMI agar akar persoalan di dalam negeri dapat segara teratasi dan tak ada lagi korban perdagangan orang,” harap Hariyanto.

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.