Perlindungan Sosial TKI

Author

Screenshot 2017-08-01 13.18Program perlindungan sosial untuk TKI yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan telah berlaku mulai hari ini, Selasa (1/8/2017). Pelbagai kalangan menyambut positif atas ikhtiar negara ini termasuk penulis sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa BPJS Ketenagakerjaan TKI merupakan bentuk kehadiran negara dalam mewujudkan perlindungan kepada TKI. Semua berharap pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan TKI ini akan lebih baik dalam memberikan perlindungan daripada konsorsium asuransi. Namun, jika dianalisis lebih mendalam mengenai  mekanisme dan kompleksitas atas resiko yang kerapkali dialami oleh TKI akan menarik untuk dikaji lebih mendalam. Untuk itu, tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan usaha dalam mewujudkan perlindungan sosial bagi TKI.

Program BPJS Ketenagakerjaan TKI VS Konsorsium Asuransi

Melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 7 tahun 2017 tentang Perlindungan Sosial TKI telah disebutkan bahwa terdapat beberapa resiko yang dipertanggungkan kepada BPJS Ketenagakerjaan TKI. Perlu diperhatikan bahwa mekanisme perlindungan sosial di dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah melalui mekanisme asuransi sosial. Dengan demikian, melalui regulasi tersebut menganut tiga pilar, yaitu bantuan sosial, asuransi wajib dan asuransi sukarela. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan TKI mengamanatkan pilar yang kedua, di mana terdapat iuran wajib yang harus dibayar oleh peserta, baik itu melalui mekanisme pembayaran oleh majikan atau TKI itu sendiri. Sedangkan TKI juga dianjurkan mengikuti asuransi sukarela (pilihan) seperti program Jaminan Hari Tua (JHT). Meski mereka harus membayar iuran lagi di luar dari skema yang telah ditetapkan melalui asuransi wajib di dalam peraturan menteri ketenagakerjaan tersebut.

Mengenai manfaat yang diterima oleh TKI atas kemungkinan resiko di masa mendatang, terdapat perbedaan yang signifikan antara konsorsium asuransi dan BPJS Ketenagakerjaan TKI. Resiko yang ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan TKI lebih sedikit daripada resiko yang ditanggung oleh konsorsium asuransi yang sebelumnya, yaitu 13 resiko (lihat tabel 1). Selanjutnya mengenai iuran, di mana BPJS Ketenagakerjaan lebih murah, yaitu Rp. 370.000, jika dibandingankan dengan sebelumnya sebesar Rp. 400.000. Dari informasi tersebut, dalam hal ini, tentunya penulis menghindari perhitungan aktuaria yang rumit dengan melihat peluang, statistik dan keuangan. Bukan pula menafsirkan secara sepihak bahwa konsorsium lebih baik karena telah menaggung resiko lebih banyak daripada BPJS Ketenagakerjaan TKI. Akan tetapi, perlu bagi kita merinci faedah yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan TKI dalam konteks perlindungan sosial di masa mendatang.

Tabel 1. Perbandingan Risiko antara Konsorsium Asuransi dan BPJS Ketenagakerjaan TKI

No Jenis Resiko Konsorsium Asuransi BPJS Ketenagakerjaan
1 Kecelakaan Kerja Ada Ada
2 Meninggal Dunia Ada Ada
3 Hilang Akal Budi Ada Ada
4 Sakit Ada Ada (hanya pra dan paska)
5 Penghentian Hubungan Kerja (PHK) Ada Pilihan (Harus ikut Program JHT)
6 Kekerasan fisik, perkosaan dan pelecehan seksual Ada Ada (hanya pra dan paska)
7 Pemulangan TKI bermasalah Ada Tidak Ada
8 Menghadapi Masalah Hukum Ada Tidak Ada
9 Kerugian atas pihak lain selama perjalanan pulang Ada Tidak Ada
10 Dipindahkan ke tempat kerja (bukan atas keinginan TKI Ada Tidak Ada
11 Gagal Berangkat (bukan atas kesalahan CTKI) Ada Tidak Ada
12 Gagal Ditempatkan (bukan atas kesalahan TKI) Ada Tidak Ada
13 Upah Tidak Dibayar Ada Tidak Ada

Berdasarkan fakta di lapangan, tawaran yang menggiurkan oleh konsorsium asuransi atas resiko yang dipertanggungkan, justru hal tersebut berbanding terbalik atas minimnya  penyelesaian atas tuntutan resiko yang dialami oleh TKI. Bisa jadi karena beberapa alasan, seperti informasi yang disumbat oleh pihak tertentu sehingga membuat TKI kurang memahami mengenai asuransi TKI, sulitnya upaya persyaratan untuk tuntutan yang diajukan oleh TKI dan minimnya akses layanan yang disediakan oleh konsorsium. Selain itu, menurut data yang dihimpun oleh BNP2TKI menunjukkan bahwa banyak resiko yang tidak dituntut (lihat tabel 2). Implikasi dari praktik tersebut menunjukkan dugaan bahwa konsorsium asuransi telah menerima  dana yang sangat besar karena kecilnya bilangan nilai dari tuntutan yang dikabulkan.

Tabel 2. Jenis-Jenis dan Jumlah Tuntutan Resiko yang Dikabulkan oleh Konsorsium Asuransi

No Resiko 2014 2015 2016 2017 %
1 Meninggal Dunia 106 304 251 661 5,19%
2 Sakit 431 730 605 1.766 13,86%
3 Kecelakaan Kerja / Cacat Tetap 11 22 48 81 0,64%
4 Gagal Berangkat Bukan Karena Kesalahan CTKI 91 186 275 552 4,33%
5 Pelecehan Seksual  – 2 2 0,02%
6 Gagal Ditempatkan bukan karena kesalahan TKI 3 8 6 17 0,13%
7 PHK 182 434 3.576 4.192 32,91%
8 Menghadapi Masalah Hukum  – 0,00%
9 Upah Tidak Dibayar  – 19 13 32 0,25%
10 Pemulangan TKI yang Bermasalah 937 2.329 2.154 5.420 42,55%
11 Kerugian selama perjalanan pulang ke daerah asal  – 1 1 0,01%
12 Hilangnya akal budi 1 3 4 8 0,06%
13 Dipindahkan tidak sesuai penempatan  – 7 7 0,05%
  TOTAL 1.762     4.036     6.941     12.739     100,00%

Alasan di atas diperkuat oleh data yang dimiliki SBMI yang menunjukkan bahwa hampir semua TKI yang mengadu kepada SBMI tidak memiliki Kartu Kepesertaan Asuransi (KPA) dalam kurun waktu 2012-2017  yang berjumlah lebih dari 1.700-an kasus. Sehingga dalam upayanya, SBMI harus melakukan investigasi terlebih dahulu melalui website masing-masing konsorsium untuk mengkonfirmasi kepesertaan asuransi TKI. Selain daripada itu, rumitnya persyaratan dalam pengajuan tuntutan, membuat tuntutan tersebut kerap kali direduksi nilainya dan bahkan ditolak oleh konsorsium. Sampai program asuransi TKI ini telah usai masa berlakunya, konsorsium asuransi juga tidak mendirikan perwakilan pelayanan di luar negeri. Bahkan amanat keputusan menteri ketenagakerjaan bahwa konsorsium harus mendirikan sekurang-kurangnya 15 kantor perwakilan di setiap embarkasi pun juga dilanggar oleh konsorsium TKI.

Perlindungan Sosial TKI di Luar Negeri

Kerapkali TKI dikesampingkan ke dalam skema perlindungan sosial di negara tujuan. Antara faktor yang menghambat integrasi tersebut seperti di antaranya adalah TKI bukan warga negara, cakupan peraturan negara setempat kepada TKI, administrasi dokumen dari negara asal dan negara tujuan, rantai panjang dalam ketentuan keimigrasian, proses transfer pembayaran iuran, faktor bahasa, infrastruktur pelayanan di negara tujuan dan mekanisme penerapan kepada jenis pekerja tertentu yang diatur oleh negara tujuan.

Beberapa inovasi dan strategi yang perlu agaknya dikembangkan sebagai upaya integrasi perlindungan sosial bagi TKI di luar negeri adalah menuntut majikan untuk membayarkan iuran ke dalam mekanisme perlindungan sosial; baik itu asuransi sosial maupun asuransi swasta, mekanisme pembayaran melalui penggantian (reimbursment) biaya perawatan kesehatan untuk resiko-resiko kecelakaan kerja di negara tujuan, mengabaikan proses yang panjang dan penggunaan teknologi sebagai upaya untuk mempermudah dalam pembayaran iuran.

Mengingat lingkungan TKI yang spesifik di luar negeri, dengan demikian, diperlukan ketentuan yang spesifik pula dalam konteks perlindungan sosial. Mengingat TKI juga merupakan bagian masyarakat yang tidak dapat terpisahkan dari prinsip hak asasi manusia, perlakuan pelayanan mestilah setara dan saling menguntungkan dalam menuntut akses perlindungan sosial di negara tujuan. Untuk itu, antara negara asal dan negara tujuan haruslah membuat instrumen kesepakatan yang mengikat di antara masing-masing pihak kedua belah negara dengan memasukan skema perlindungan sosial, selain kesepakatan yang mengatur mengenai aspek ketenagakerjaan yang bersifat umum.

Mengingat keragaman permasalahan TKI di luar negeri dan mekanisme BPJS Ketenagakerjaan TKI juga tidak mencakup atas resiko-resiko tersebut (lihat tabel 1), maka upaya mendesak yang segera dilakukan adalah melalui evektivitas dan efisiensi kinerja pemerintah di negara tujuan. Selama ini, dapat dirasakan bahwa fungsi kekonsuleran dan atase ketenagakerjaan di luar negeri juga terlihat belum memberikan perlindungan maksimal kepada TKI, khususnya untuk masalah ketenagakerjaan. Pelayanan di luar negeri perlu mengoptimalkan dalam usaha menuntut keadilan akan hak-hak TKI. Usaha yang dimaksud seperti pendampingan hukum melalui pengadilan hubungan industrial di negara tujuan ketika TKI sedang mengalami sengketa dengan majikan (gaji tidak dibayar, PHK sepihak, dipindah-pindahkan oleh majikan dan masalah ketenagakerjaan lainnya). Terlepas dari persoalan tumpang tindih antara kementerian/lembaga mengenai kewenangan tersebut di negara tujuan, bahwa perwujudan perlindungan yang menyeluruh bagi warga negara Indonesia merupakan prinsip yang mendasari eksistensi perwakilan pemerintah di luar negeri, tidak terkecuali bagi para TKI.

Dilema Jaminan Sosial TKI, Berisiko Mengulang Kebijakan Koruptif Asuransi TKI
==================================
Informasi tentang program Jaminan sosial TKI belum tuntas disosialisasikan karena itu masih banyak yang perlu ditanyakan, dikritisi dan dievaluasi agar jadi lebih baik. Namun pada dasarnya peralihan dari Konsorsium Asuransi TKI komersial kepada penyelenggara badan publik, seperti BPJS Ketenagakerjaan, perlu didukung karena merupakan tuntutan kita dan juga rekomendasi KPK.

Perubahan konsep hukum asuransi TKI sebagaimana norma Pasal 68 UU No. 39 Tahun 2004 menjadi konsep hukum jaminan sosial dan atau asuransi sosial yang diselenggarakan oleh badan publik seperti BPJS adalah mutlak diatur dalam Undang-Undang yang baru!

Mengingat kebutuhan akan cakupan jaminan pertanggungan atas risiko yang lebih luas dari pada jaminan sosial yang biasa dan faktor kekhususan harus diberlakukan bagi BMI sebagai pekerja migran yang berada di negara tujuan, maka idealnya aturan jaminan sosial /asuransi sosial bagi pekerja migran perlu dibentuk dan dirumuskan dalam nomenklatur secara terperinci Undang-Undang tersendiri, di luar muatan materi RUU PPMI.

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.