Kuala Lumpur—Sebagai agen perubahan, peran masyarakat sipil di antaranya ialah menganalisis dan mengadvokasi setiap kebuntuan pelayanan oleh pemerintah dan kebutuhan pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat. Inilah yang melatarbelakangi kunjungan Human Rights Working Group (HRWG) ke Malaysia pada Senin-Kamis, 22-25 Agustus 2016.
Sebenarnya HRWG tidak hanya akan berkunjung ke Malaysia saja, melainkan ke negara-negara tujuan buruh migran lainnya seperti Arab Saudi, Hong Kong dan Singapura. Empat negara tersebut dianggap telah merepresentasikan permasalahan pelayanan yang dihadapi oleh setiap kantor pemerintah yang banyak buruh migrannya. Meskipun permasalahan buruh migran sangat beragam, akan tetapi pada dasarnya terdapat titik kritis yang menjadi poin penting di setiap kantor perwakilan yang dapat diadvokasi secara bersama-sama. Dalam kaitan ini, masyarakat sipil dapat berperan untuk melengkapi setiap kendala yang dihadapi oleh pemerintah.
Pertemuan yang pertama bersama pelajar Indonesia di Malaysia. Kendala yang sering dialami oleh pelajar di sini ialah dalam kaitannya penerbitan dan perpanjangan visa pelajar. Padahal biasanya visa pelajar di negara lain itu diterbitkan sampai pelajar tersebut dinyatakan lulus oleh kampus. Tapi tidak demikian di Malaysia.
“Jadi Malaysia ini berusaha memperketat setiap kemasukan orang asing di negaranya, tidak terkecuali pelajar,” ungkap Supari yang merupakan Sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia Universiti Kebangsaan Malaysia (PPI UKM).
Supari menambahkan bahwa Malaysia saat ini memang menghadapi permasalahan tenaga kerja asing tidak berdokumen, jadi imbasnya sampai ke pelajar juga. Banyak juga kasus penyalahgunaan visa pelajar ini. “Izin tinggalnya belajar, tapi di sini bekerja,” kata Supari.
Permasalahan tersebut tidaklah dikurangi, Tenaganita, juga mengatakan demikian. Permasalahan buruh migran tidak berdokumen membuat Malaysia melaksanakan pelbagai kebijakan yang berubah-ubah. Program yang saat ini dijalankan ialah Program Perekrutan dan Pengganjian Semula (3P). Program 3P ini menggantikan program pendataan, pengampunan, pemutihan, penguatkuasaan, pengawasan dan pengusiran atau yang biasa disebut 6P.
“Kedua-dua program tersebut sama-sama dijalankan oleh Iman Resources,” Ungkapnya.
Sebenarnya kebijakan ini murni kebijakan pemerintah Malaysia dalam menunjuk swasta untuk mengimplementasikan program atas kontrol terhadap buruh migran tidak berdokumen. Ketika program ini dilakukan oleh swasta, konskuensinya adalah biaya tinggi yang dibebankan kepada buruh migran tidak berdokumen ketika hendak pulang ke Indonesia. Seharusnya peran KBRI Kuala Lumpur di sini, melakukan diplomasi untuk menekan biaya pemulangan seringan mungkin bagi buruh migran tidak berdokumen. “Tidak semua buruh migran tidak berdokumen itu punya uang, banyak sekali pemerasan dan penipuan di sini oleh oknum,” kata Tenaganita melalui Fajar Santoadi.
Selain kebijakan pemulangan sukarela (voluntary deportation) yang dijalankan oleh pemerintah Malaysia, masalah lainnya mengenai bantuan hukum. Tenaganita selama ini memanfaatkan tenaga pengacara magang untuk membantu penanganan kasus yang dihadapi oleh buruh migran. Kebutuhan bantuan hukum yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, menurut Fajar, adalah menyediakan pengacara bagi kasus-kasus ketenagakerjaan atau non pidana, seperti gaji yang tidak dibayar, pelanggaran kontrak kerja dan lain-lain. Pemerintah seharusnya tidak hanya memediasi kasus ketenagakerjaan saja. Melainkan pengacara yang dibayar oleh pemerintah juga mengurusi tuntutan ketenagakerjaan, sehingga para pengacara berbayar itu tidak hanya membela warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati atau masalah pidana saja.
“Kasus-kasus perdata seringkali menguap begitu saja, sehingga banyak buruh migran yang dirugikan karena kurangnya akses bantuan hukum dari pemerintah,” Fajar menegaskan.
Sementara itu, dari komunitas Serantau menyampaikan bahwa sulitnya akses informasi yang diperoleh buruh migran menjadi daftar panjang atas kompleksitas permasalahan di Malaysia. Sederhananya, website KBRI yang tidak dikelola dengan baik atau kurang memanfaatkan media sosial sebagai ruang yang sangat mudah dijangkau oleh buruh migran di Malaysia. Itu semua merupakan indikator yang mudah dicermati, selain minimnya respon terhadap pengaduan oleh KBRI Kuala Lumpur.
Tambahan lagi, menurut Figo Kurniawan, karut marut dalam pengurusan dokumen buruh migran di Malaysia seolah tidak pernah selesai sampai kapan pun. Sudah banyak buruh migran yang dimanipulasi, diperas dan ditipu ketika hendak mengurus dokumen permit kerja. Buruh migran di Malaysia, sebenarnya bukannya tidak ingin berdokumen, tapi pola urus yang buruk membuat banyak dari kita menjadi tidak berdokumen.
“Bahkan, kita dianggap sebagai TKI yang legal tapi illegal oleh pak Dubes Malaysia,” ungkap Figo Kurniawan.
Pernyataan itu muncul ketika komunikasi antara Figo dan Dubes Malaysia beberapa waktu lalu bahwa buruh migran dengan menggunakan permit bebas akan kurang memperoleh perlindungan karena tidak tercatat oleh BNP2TKI. Pasalnya, banyak buruh migran menggunakan permit kerja yang tidak sesuai dengan data majikan yang sebenarnya. Biasanya buruh migran Malaysia menyebutnya sebagai permit bebas. Buruh migran itu sangat susah mendokumentasikan dirinya, ini sudah punya dokumen malah dikatakan seperti itu. Seharusnya pemerintah Indonesia mendesak pemerintah Malaysia untuk memperbaiki pengurusan dalam hal perpanjangan permit kerja buruh migran.
“Selama ini, masih belum ada usaha maksimal dari pemerintah Indonesia, kita selalu menengadah di bawah kebijakan Malaysia,” gumam Figo.
Selain permit bebas, Nasrikah mengomentari mengenai migrasi mandiri. Padahal menurut dia, migrasi mandiri merupakan bentuk kreatifitas buruh migran dalam merespon pasar kerja. Bayangkan, buruh migran mencari, bersaing dan menegosiasikan klausul ketenagakerjaannya sendiri kepada calon majikannya. Tapi upaya itu malah berusaha dipersulit oleh pemerintah.
“Memang peraturan tidak melarang migrasi mandiri, tapi pencegahan migrasi mandiri sangat dirasakan oleh kawan-kawan buruh migran ketika hendak berangkat ke luar negeri,” ungkap Nasrikah, Ketua komunitas Serantau Malaysia.
Seharusnya, tambah Nasrikah, pemerintah mempermudah, bukannya mempersulit kreatifitas itu. Padahal buruh migran yang melakukan migrasi mandiri lebih dihargai oleh majikan, seperti gajinya yang lebih tinggi daripada buruh migran yang mengikuti PPTKIS. Meski demikian, buruh migran yang menggunakan jalur mandiri tentunya mengetahui serta memikirkan upaya perlindungan akan dirinya sendiri.
Pendidikan bagi anak buruh migran tidak berdokumen seharusnya juga memperoleh perhatian yang serius oleh pemerintah. Kritik ini disampaikan oleh Mahfud, dari Bloger TKI. “Banyak anak-anak buruh migran yang tidak bisa bersekolah formal karena akses yang sulit,” ujarnya. Selain tidak diijinkan bersekolah di sekolah umum di Malaysia, mereka juga tidak memperoleh pendidikan kejar paket dari pemerintah. Padahal rata-rata umur mereka berkisar antara 8-12 tahun. “Ini harus ada solusi mendesak yang harus dilakukan kepada generasi anak bangsa,” tegas Mahfud.
Kunjungan tim HRWG selanjutnya ialah ke KBRI Kuala Lumpur. Judha Nugraha, Sekretaris Pertama Konsuler KBRI Kuala Lumpur mengatakan bahwa tantangan terbesar Perwakilan RI di Malaysia adalah keterbatasan staf dan infrastruktur. Dengan staf Perwakilan RI yang hanya berjumlah sekitar 300-an orang di seluruh Malaysia, dibandingkan dengan jumlah WNI yang berkisar 2,5 juta di Malaysia sangat tidak imbang dalam konteks pelayanan.
“Dalam kondisi tersebut, rasio jumlah staf Perwakilan RI dengan jumlah WNI di Malaysia jauh dari ideal, yaitu secara rata-rata seorang staf melayani sekitar 8300 warga” ungkapnya.
Beliau menggambarkan, setiap hari jumlah WNI yang datang ke KBRI Kuala Lumpur sebanyak 1000-1500 orang. Itu belum termasuk WNI yang datang untuk proses lanjutan karena beberapa pelayanan tidak mungkin bisa diselesaikan dalam sehari seperti pembuatan paspor biometrik. “Jadi seperti itulah pemandangan yang bisa kita lihat,” tuturnya.
Terlepas dari keterbatasan tersebut, tantangan terbesar yang dihadapi di Malaysia adalah perlindungan WNI/BMI tidak berdokumen. Berbagai masalah muncul karena status mereka yang tidak terlindungi secara hukum dan rentan dieksploitasi. Bahkan ketika KBRI telah menyediakan bantuan pengacara, banyak di antara mereka yang meminta langsung dipulangkan ke Indonesia daripada harus tinggal lebih lama di Malaysia guna menuntut hak-haknya melalui proses pengadilan yang lama dan rumit. KBRI saat ini telah memiliki dua firma pengacara retainer masing-masing untuk kasus hukuman mati dan non-hukuman mati. “Berkaca dari pengalaman ini, masuk dan bekerja di Malaysia melalui prosedur yang benar adalah bentuk perlindungan diri yang utama” ujar Judha.
Ditambahkan juga bahwa perlu ada definisi perlindungan WNI/BMI yang jelas. Hal ini diperlukan sebagai acuan bersama baik bagi WNI/BMI maupun bagi staf Perwakilan RI dalam menjalankan tugasnya. Perlu ada definisi yang jelas mengenai hal-hal yang menjadi tanggung jawab negara dalam melindungi warganya dengan hal-hal yang menjadi tanggung jawab pribadi setiap warga negara. Ketiadaan definisi yang jelas akan menciptakan moral hazard dan justru akan menimbulkan masalah baru. Hal ini tercermin dari banyaknya kasus yang ditangani KBRI adalah pengulangan masalah dari BMI yang sama yang sebelumnya telah ditangani dan dibiayai pemulangannya ke Indonesia.
Selanjutnya terkait program pemulangan sukarela yang dijalankan oleh swasta, Judha menjelaskan bahwa meskipun program Pemerintah Malaysia ini belum ideal, namun setidaknya saat ini buruh migran tidak berdokumen memiliki pilihan untuk pulang ke Tanah Air secara legal dan bermartabat. Sebelum program ini ada, buruh migran harus membayar denda imigrasi yang sangat mahal mencapai RM 3100 sehingga terpaksa pulang dengan menggunakan kapal boat yang berbahaya dan mengancam nyawa mereka.
Terkait biaya, KBRI terus berupaya meminta kepada Pemerintah Malaysia untuk meringankan biaya program pemulangan sukarela. Saat pertama kali program ini dimulai, total biaya yang dikenakan IMAN mencapai RM 1350 tidak termasuk tiket. Namun saat ini atas pendekatan yang dilakukan KBRI, biaya bisa ditekan hingga sekitar RM 800.
Setidak terdapat empat poin penting dari kunjungannya ke Malaysia yang sanggup dirangkum oleh HRWG. Pertama ialah mengenai keterbatasan staf dan infrastruktur. Selain akan meminta agar staf ditambah untuk meningkatkan pelayanan, HRWG akan mendorong usaha KBRI Malaysia untuk memiliki kantor di kawasan Putrajaya. Sehingga kantor yang sakarang dikhususkan untuk pelayanan. Yang kedua adalah masalah buruh migran tidak berdokumen.
“Kita akan mendukung upaya penegakkan hukum di Indonesia dan Malaysia,” tegas Anam dari HRWG.
Salah satu upaya yang signifikan adalah menjalin kerjasama dengan Suruhanjaya Pembanterasan Rasuah Malaysia (SPRM). Lembaga KPK-nya Malaysia itu bisa melakukan supervise dan menindak oknum penegak hukum yang memeras dan menipu buruh migran. Tentunya konskuensi perlindungan kepada buruh migran juga mesti dipertimbangkan. “Jangan sampai buruh migran melaporkan oknum, tapi malah juga ikut ditangkap karena masalah status,” ketusnya.
Poin selanjutnya adalah mesti ada evalusi atas kebijakan pemerintah Malaysia yang menunjuk Iman Resources dalam hal pemulangan sukarela. Meskipun hal tersebut bukanlah merupakan kebijakan solutif bagi buruh migran tidak berdokumen, tapi itu merupakan kebijakan alternatif.
“Kita harus evaluasi antara kerugian dan manfaatnya dalam menyikapi Iman Resources ini,” tutup Anam.
Yang terakhir adalah kunjungan ini, kata Anam, bisa dijadikan sebagai amunisi baru dalam membingkai perlindungan yang lebih baik untuk upaya revisi undang-undang Pekerja Indonesia Luar Negeri yang saat ini masih digodok oleh DPR dan pemerintah.