Mengenal Hukum Perikatan bagi Buruh Migran

Author

Visualisasi Hukum Perikatan
Visualisasi Hukum Perikatan

Setiap orang yang hendak memulai sebuah pekerjaan pasti dihadapkan dengan apa yang menjadi hak dan kewajibannya, tidak terkecuali Tenaga Kerja Indonesia (TKI/BMI) yang hendak bekerja di luar negeri. Hak dan kewajiban itu dituangkan dalam sebuah perjanjian/perikatan yang biasa dikenal dengan nama kontrak. Perjanjian merupakan salah satu faktor yang membentuk hukum.[1] Sedangkan pengertian dari perjanjian itu sendiri ialah perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.[2]

Terdapat tiga kontrak perjanjian yang harus dilakukan oleh TKI dan pihak yang menggunakan TKI (majikan/perusahaan penyalur/PPTKIS). Kontrak pertama biasa disebut dengan perjanjian penempatan, kontrak kedua bernama perjanjian kerja, sedangkan yang ketiga adalah perjanjian kontrak asuransi TKI yang tertuang dalam polis. Ketiganya merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN).

  1. Perjanjian penempatan adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.[3]
  2. Perjanjian kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.[4]
  3. Setiap TKI yang mengikuti program asuransi TKI harus memiliki perjanjian antara TKI dan penanggung resiko (perusahaan asuransi). Perjanjian dituangkan di dalam polis. Polis asuransi adalah suatu perjanjian asuransi antara pihak penanggung dengan pihak tertanggung, yang diterbitkan oleh penanggung berdasarkan daftar peserta yang diserahkan oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS).[5]

Selanjutnya ketiganya diturunkan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Dalam melakukan perjanjian, terdapat lima asas yang perlu diketahui oleh TKI dan pengguna TKI. Asas dalam sebuah perjanjian yang selanjutnya dituangkan dalam kontrak perjanjian ialah sebagai berikut:

  1. Asas Kebebasan Berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan bentuknya perjanjian (tertulis atau lisan) dan menentukan tunduk pada hukum mana perjanjian yang dibuat.
  2. Asas Konsensualitas merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
  3. Asas Pucta Sunt Servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum, merupakan asas bahwa hakum atau pihak ketiga harus menghormati kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya undang-undang.
  4. Asas Kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan persorangan saja atau dirinya sendiri. Artinya perjanjian berlaku hanya untuk para pihak pembuatnya saja.[6]

Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian[7]

Adapun mengenai agar perjanjian tersebut sah dan mengikat antara pihak yang melakukan perjanjian, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Hal ini berarti tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat antara hak dan kewajiban para pihak yang menjadi pokok persetujuan antara TKI dan pengguna. TKI yang melakukan perjanjian tidak boleh mengikatkan karena takut adanya ancaman (pasal 1324). Selain itu adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat kepada TKI (Pasal 1328). Jika terdapat alasan-alasan tersebut, maka TKI juga berhak mengajukan pembatalan atas perjanjian tersebut.

  1. Cakap untuk membuat perikatan.

Antara TKI dan PPTKIS/pengguna mampu untuk membuat suatu perjanjian. Artinya, para pihak tersebut telah dewasa (di atas 18 tahun), tidak di bawah pengawasan karena prilaku yang yang tidak stabil atau mendapatkan tekanan dari pihak tertentu serta sehat jasmani dan rohani. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :

  1. Orang-orang yang belum dewasa (di bawah 18 tahun);
  2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan
  3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya atau wali/orang tuanya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446).
  4. Suatu hal tertentu. Perjanjian harus menentukan jenis objek (identitas TKI dan pengguna, hak dan kewajiban dan lain-lain) yang diperjanjikan secara jelas dan dipahami oleh para pihak.  Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum.
  5. Suatu sebab yang halal. Sahnya sebab dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa sebab yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Akibat Perjanjian

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya (Pasal 1338 ayat 1). Karena hukum sifatnya memaksa maka antara TKI dan pengguna wajib mematuhi perjanjian tersebut berdasarkan kepatutan dan kebiasaan hukum yang berlaku.

Berakhirnya Perjanjian

Perjanjian antara TKI dan pengguna akan berakhir, apabila:

  1. Ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
  2. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian; dan
  3. Para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan batal.

Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa yang dibedakan menjadi dua, yaitu keadaan memaksa absolut dan relatif.

  • Keadan memaksa absolut merupakan keadaan di mana salah satu pihak tidak mampu melaksanakan tanggungjawabnya di luar kuasanya, misalkan terjadi bencana alam, terjadinya peperangan dan wabah penyakit.
  • Keadaan memaksa relatif ialah suatu keadaan yang menyebabkan TKI masih mungkin untuk melaksanakan tanggungjawabnya, tetapi pelaksanaan tanggungjawab itu harus dilakukan dengan memberikan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jasmani dan rohani yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban antara TKI dan pengguna.

Peranan Pemerintah kepada TKI[8]

Dalam UU 39 tahun 2004 tentang PPTKILN, tugas dan tanggungjawab pemerintah ialah sebagai berikut:

  1. Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
  2. Pemerintah dapat melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  3. Pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri.
  4. Menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri;
  5. Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;
  6. Membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri;
  7. Melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan
  8. Memberikan perlindungankepada TKI selama masa sebelumnya pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.

Penyelesaian Perselisahan antara TKI dan Pengguna

Selanjutnya UU nomor 39 tahun 2004 tentang PPTKILN menyebutkan mengenai upaya perselisahan ini dengan cara:

  1. Dalam hal terjadi sengketa antara TKI dengan pelaksana penempatan TKI swasta mengenai pelaksanaan perjanjian penempatan, maka kedua belah pihak mengupayakan penyelesaian secara damai dengan cara bermusyawarah.
  2. Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah.

Permasalahan-Permasalahan yang Seringkali Muncul

Berdasarkan pendampingan, penanganan dan pelaporan kasus-kasus yang mengadu kepada SBMI, baik di tingkatan daerah maupun di tingkatan nasional, berikut ini permasalahan yang seringkali terjadi pada TKI:

  1. Perjanjian diberikan kepada TKI pada waktu yang tidak tepat dan tidak cukup waktu ketika melakukan proses penandatanganan;
  2. TKI tidak diberikan waktu untuk melakukan negosiasi (tawar menawar);
  3. TKI tidak dijelaskan mengenai isi perjanjian;
  4. TKI seringkali di bawah ancaman atau praktik jeratan hutang untuk melakukan perjanjian;
  5. TKI dan keluarganya tidak diberikan salinan perjanjian (kontrak kerja, perjanjian penempatan dan polis asuransi);
  6. Keberpihakan pemerintah lebih kepada pengguna (majikan/PPTKIS);
  7. Mekanisme sengkata dengan cara musyawarah tidak transparan dan berbelit;
  8. Tidak ada kejelasan waktu dalam proses penyelesaian kasus oleh pemerintah;
  9. Peraturan Menteri yang mengatur tentang perjanjian antara TKI dan pengguna tidak jelas dalam menentukan pilihan hukum (choice of law) mana untuk penyelesaian sengketa, TKI merupakan WNI sedangkan majikan adalah WNA.

Rekomendasi

Perjanjian merupakan perkara paling penting yang harus diketahui dan dipahimi oleh TKI, oleh karena SBMI merekomendasikan beberapa hal berikut ini:

  1. Penegakkan hukum perikatan/perjanjian kepada para pihak tanpa terkecuali;
  2. Pengguna TKI harus menjelaskan dan menerangkan semua perjanjian yang akan ditandatangani oleh TKI sebelum mereka direkrut;
  3. Bahasa yang digunakan dalam perjanjian harus jelas dan mudah dipahami oleh TKI;
  4. Tidak ada lagi unsur ancaman, paksaan, jeratan hutang dalam melakukan perikatan kepada TKI;
  5. Peraturan hukum yang jelas mengenai pilihan hukum (choice of law) di mana penyelesaian dilakukan jika terjadi sengketa antara TKI dan pengguna;
  6. Mediator harus independen dan tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa;
  7. Mediator yang melakukan mediasi sengketa harus bersertifikasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung;
  8. Pemerintah harus membina dan mengawasi antara TKI dan pengguna TKI dalam mengadakan perjanjian; dan
  9. Pemerintah harus memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat dan gratis kepada para pihak yang sedang berselisih.

Rujukan

[1] Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.

[2] Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[3] Pasal 1 angka 9 UU 39 tahun 2004 tentang Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN).

[4] Pasal 1 angka 10 UU 39 tahun 2004 tentang Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN).

[5] Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 tahun 2010 tentang Asuransi TKI

[6] Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa.

[7] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW)

[8] UU 39 tahun 2004 tentang Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN).

2 komentar untuk “Mengenal Hukum Perikatan bagi Buruh Migran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.