Tuntut Komitmen Pemerintah atas Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya
(Hari Buruh Migran Internasional, Jakarta 18 Desember 2013)
Setiap tahun, tepat pada tanggal 18 Desember diperingati sebagai Hari Buruh Migran Internasional, sejak lahirnya Konvensi PBB tentang Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya pada tahun 1990. Di Indonesia konvensi PBB 1990 akhirnya diratifikasi pada tahun 2012 lalu (melalui UU Nomor 6 Tahun 2012). Namun sayangnya, nasib perlindungan Buruh Migran, terutama Buruh Migran Perempuan (BMP) masih di ujung tanduk. Berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran hak buruh migran terus terjadi tanpa penyelesaian dan perlindungan yang komprehensif dari pemerintah.
Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang buruh migran yang jelas-jelas mengedepankan penempatan dari pada perlindungan merupakan salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan pelanggaran Hak BMP. Undang-Undang ini menempatkan Buruh Migran hanya sebagai komoditas ekonomi, dan menyerahkan peran besar kepada pihak swasta tanpa adanya mekanisme pengawasan yang memadai dari pemerintah. Sistem migrasi yang diatur, UU No. 39 Tahun 2004 tersebut bahkan mengakibatkan Buruh Migran rentan menjadi korban perdagangan orang (trafficking). International Organization of Migration (IOM) Indonesia mencatat sejak Maret 2005 hingga Desember 2011, setidaknya terdapat 4067 kasus Trafficking. Dari kasus tersebut mayoritas (53,33%) perempuan yang dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga.
Diratifikasinya Konvensi PBB tahun 1990 tentang Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya oleh DPR dan pemerintah 2012 lalu, seharusnya menjadi komitmen agar pemerintah lebih serius dalam mewujudkan perlindungan buruh migran. Namun, pemerintah melanggar komitmennya sendiri dengan tidak terlindunginya para BMI hingga hari ini. Pelanggaran komitmen juga terlihat pada proses pembahasan revisi UU No. 39 Tahun 2004 yang tidak mengalami perkembangan signifikan. Sejak Februari hingga sekarang baru 1 DIM, dari 907 DIM yang disepakati oleh Panja yang terdiri dari DPR dan pemerintah tersebut. Situasi lambannya pembahasan RUU diperparah dengan draft RUU yang masih jauh dari komitmen serius untuk membangun sistem perlindungan BMI. Nuansa komoditifikasi masih kuat pada draft versi pemerintah maupun DPR. RUU tersebut masih memberikan ruang begitu besar bagi pihak swasta atau pengusaha jasa komersil PJTKI/PPTKIS di dalam proses migrasi buruh migran, termasuk peran-peran krusial, seperti perekrutan, pendidikan, dan pelatihan. Bahkan, di dalam draft RUU versi pemerintah, tidak tercantum Konvensi Migran 1990 sebagai acuan dari revisi.
Dampak tidak adanya UU yang melindungi BMP dan keluarganya adalah banyaknya dan menguatnya kasus kekerasan dan pelanggaran hak Buruh Migran dan keluarganya yang terjadi di berbagai tahapan migrasi. Kekerasan fisik, psikis, seksual, bahkan ancama hukuman mati masih dialami para buruh migran. Sebagaimana yang dilansir kompas.com, 16 Oktober 2013, sebanyak 265 Buruh Migran terancam hukuman mati. Selain itu, persoalan Buruh Migran Overstay tidakĀ diselesaikan oleh pemerintah dengan solusi yang komprehensif. Akibatnya masih terdapat 80.000 lebih Buruh Migran Overstay di Saudi Arabia yang belum dilayani pemerintah dengan baik. Hingga 16 Desember 2013 Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) atas informasi relawan mencatat sebanyak 2000 lebih BMI Overstay berada di penjara Imigrasi Sumaisyi Arab Saudi dengan akses makanan dan obat-obatan yang sangat minim. Sementara itu situasi lebih tragis tampak dari 500 lebih BMI, laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan bayi yang harus terlantar di luar penjara Imigrasi Sumaisyi dengan cuaca dingin yang sangat buruk. Bagaimanapun Buruh Migran adalah Warga Negara Indonesia yang haknya harus dipenuhi, dilindungi, dan dihormati oleh pemerintah sebagaimana Warga Negara lainnya.
Kekerasan dan pelanggaran hak Buruh Migran, sebagian besar dialami oleh buruh migran pekerja rumah tangga. Hal ini tidak terlepas dari paradigma pemerintah dalam melihat pekerja rumah tangga (PRT). Pelanggaran komitmen pemerintah dalam menjamin perlindungan PRT, terlihat pada proses RUU Perlindungan PRT yang sudah berjalan hampir 10 tahun, tanpa ada hasil. Berbagai lagkah telah dilakukan, mulai RUU ini masuk, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI sejak tahun 2004 dan menjadi Prioritas Prolegnas DPR sejak tahun 2010. Pembahasan dan Kunjungan Kerja/Studi Banding RUU PPRT ke Afrika Selatan dan Argentina pada 27-31 Agustus 2012 oleh Komisi IX DPR, hingga Uji Publik juga sudah dilakukan pada tanggal 27 Februari 2013, namun hingga saat ini nasib RUU tersebut masih tidak menentu. Pelanggaran komitmen pemerintah juga terjadi terhadap Konvensi ILO No. 189. Pernyataan Presiden SBY di Dalam Sesi ke-100 Sidang Perburuhan Internasional 14 Juni 2011. yang menyatakan komitmen Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT juga hanya berupa janji tanpa bukti. Karena hingga saat ini tidak ada langkah nyata yang dilakukan pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 189 tersebut.
Sebaliknya, pemerintah terus memberlakukan kebijakan yang parsial, bahkan melanggar hak Buruh Migran. Melalui Road Map Zero Domestic Worker Kemenakertrans mengklaim bahwa selama 2012 sudah berhasil mencegah penempatan TKI informal sebanyak 50%. Padahal, Penghentian penempatan PRT adalah merupakan pembatasan terhadap hak atas kerja PRT Migran dan melanggar Prinsip Umum yang diatur pasal 1 Konvensi Migran 1990, yaitu prinsip non diskriminasi. Roadmap juga telah melanggar hak buruh migran yang sudah dijamin di Konvensi Migran (pasal 8), maupun Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 (point 24). Tak hanya itu, Roadmap ini kian memperkuat pemiskinan perempuan karena merupakan bentuk pembatasan hak perempuan untuk bermigrasi sehingga mengancam sumber pendapatan buruh migran perempuan dan keluarganya.
Situasi di atas menunjukkan bahwa pemerintah telah melanggar komitmen perlindungan buruh migran, bahkan semakin menegaskan komitmen pemerintah sebagai pelaku kekerasan terhadap Buruh Migran. Untuk itu, di penghujung tahun 2013, sekaligus memperingati Hari Buruh Migran internasional, kami menuntut pemerintah dan DPR-RI untuk:
1. Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, berdasarkan Konvensi Migran 1990, dan CEDAW
2. Bahas dan Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang benar-benar mengakui, memenuhi dan melindungi hak-hak PRT di dalam amupun luar negeri, serta menjamin kondisi kerja layak bagi PRT.
3. Batalkan Road Map Zero Domestic Worker
4. Ratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT
5. Pulangkan dan berikan pelayanan perlindungan bagi seluruh Buruh Migran Overstay di Arab Saudi dan Negara tujuan lainnya, serta ciptakan mekanisme pendataan dan pemulangan yang efektif dan melindungi hak-hak Buruh Migran
6. Memberikan jaminan dan bantuan hukum bagi Buruh Migran yang berhadapan dengan hukum di Luar Negeri, dengan menjamin hak-hak Buruh Migran selama proses hukum.
Jakarta, 18 Desember 2013
ARRAK 90 (Aliansi Rakyat untuk Ratifikasi Konvensi Migran 90) dan JARI PPTKILN (Jaringan Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri)
CP: Nisaa Yura : 081380709637 | Erna : 081334433519 | Lili Pujiati : 081387385506 |
Lita Anggraini : 081247200500