Benang Kusut Wajah BMI

Author

Potret Buruh Migran Indonesia (BMI) saat ini masih jauh dari harapan yang berperspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Seiring dengan derasnya arus migrasi sebagai pekerja, sering kita jumpai mereka mengalami masalah dalam setiap proses tahapan migrasi, dan sebagian besar dari mereka adalah perempuan. Mereka yang bekerja pada sektor privat, tertutup dan beresiko Dirty, Dark and Dangerous (3D), tidak terjangkau dari aturan hukum, baik dari negara pengirim maupun dari negara penempatan.

Berbagai derita yang dialami oleh BMI sudah sampai pada pelanggaran HAM berat. Banyak kasus seperti penipuan, ancaman disertai kekerasan fisik maupun psikis, penganiayaan, pemerkosaan, terjebak dalam industri prostitusi, perbudakan, jual-beli organ tubuh dan berbagai bentuk eksploitasi lainnya. Secara yuridis, setiap kasus yang dialami oleh BMI sebagian besar mengarah pada bentuk perdagangan orang (trafficking). Kronologi kasus yang dialami oleh BMI sebenarnya telah memenuhi konteks perdagangan orang dalam UU 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Simpul permasalahan yang dihadapi, sebenarnya telah banyak terurai oleh kalangan pegiat BMI, namun implementasi yang minim dari setiap solusi yang ditawarkan kerap kali kandas pada high policymakers level. Ini merupakan salah satu indikasi bahwa posisi tawar untuk isu buruh migran masih lemah dihadapan pemegang kebijakan.

Selama ini pemerintah dan kalangan pegiat BMI menghabiskan energi untuk mengeluarkan kebijakan, menyusun program dan penanganan masalah BMI pada titik sentral pembangunan, melalui pendekatan leader-follower hierarchy model. Implikasinya akan selalu mengedepankan prinsip-prinsip yang bersifat makro ekonomi, serta memisahkan kebijakan yang bersifat makro ekonomi, mikro ekonomi dan kebijakan sosial. Hal tersebut telah disampaikan oleh Alhumami (2008), bahwa Kebijakan makro ekonomi ditempatkan pada penentu utama, sedangkan kebijkan sosial ditempatkan paling ujung untuk menangani dampak sosial.

Padahal jika kita lihat, walau sudah dilakukan kebijakan di atas, namun tetap saja masih banyak rakyat miskin karena dampak pembagian “kue” pembangunan yang tidak merata. Pada akhirnya masyarakat mengambil jalan pintas dengan bermigrasi sebagai BMI. Selain terdapat ‘pembiaran’ dalam isu ini, pemerintah membebankan tanggung jawab tersebut justru kepada swasta. Maka tak heran banyak sekali kasus tentang BMI yang terjadi. Namun, lagi-lagi pemerintah keliru dalam melakukan identifikasi. Pemerintah hanya melihat dari segi kuantitatas jumlah mengenai BMI yang mengalami masalah, tidak melihat pelanggaran kemanusiaan yang dialami oleh BMI.

Dari data BNP2TKI terpapar jumlah BMI selama tahun 2012. Sebanyak 188.059 BMI telah disalurkan ke negara penempatan. Sebanyak 150.748 BMI telah pulang ke Indonesia serta yang bermasalah dan mengadu kepada BNP2TKI pada tahun tersebut sebesar 19.413. Artinya, terdapat 12.9 % jumlah BMI yang bermasalah. BNP2TKI mengklaim sekitar 3000 lebih BMI bermasalah tersebut diantaranya telah terselesaikan. Artinya, hanya sekitar 6.5 %! Mereka juga mengklaim masih banyak BMI yang sukses daripada yang mengalami masalah.

Masih menurut BNP2TKI,  BMI yang telah disalurkan ke negara penempatan melalui penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), mereka telah secara otomatis membayar dan sekaligus menjadi pemegang polis asuransi yang besarnya Rp. 400.000,00. Bila kita hitung, dana asuransi yang telah dibayarkan oleh BMI pada tahun tersebut adalah sebesar Rp. 72 Milyar! Namun, kita tidak pernah mengetahui dana tersebut lari ke mana dan bagaimana proses pengurusannya.

Jika kita urai setiap permasalahan tersebut sangat kompleks dan mengarah pada bentuk eksploitasi terhadap BMI. Mereka yang telah mengadukan permasalahannya tersebut memang merasa memiliki masalah yang sangat berat. Tak jarang, mereka mengadukan masalah jika telah mendapatkan dampingan dari beberapa pihak yang peduli terhadap permasalahan BMI. Hal ini terjadi karena selama ini mereka berpikir, bahwa melakukan pengaduan adalah hal percuma, toh tidak ada penyelesaian masalah yang signifikan. Justru yang terjadi adalah pemerintah malah saling tuding tentang kewenangan siapa yang harus menyelesaikan masalah tersebut.

Pemerintah seharusnya tidak melihat dari perspektif sempit (baca: jumlah masalah). Hubungan diplomatis dengan negara penempatan dianggap lebih penting dan menguntungkan daripada mengurusi masalah BMI yang bekerja di negara yang dimaksud. Padahal ini menyangkut nyawa dari setiap BMI yang bekerja. Mereka sudah seharus dilayani dalam hal mendapatkan perlindungan dimanapun mereka berada. Jika hal tersebut terus dilakukan akan muncul ‘trademark’ dimana setiap manusia Indonesia yang bisa diperbudak dan dianiaya.

Seperti saat ini yang terjadi pada kasus-kasus BMI yang pulang ataupun masih pada negara penempatan di Timur Tengah. Penganiayaan, gaji yang tidak dibayar selama bekerja, pelecehan seksual dan pemerkosaan adalah kasus khas BMI yang ada di negara-negara tersebut. Calon majikan Timur Tengah yang akan menggunakan jasa tenaga kerja asal Indonesia rela membayar lebih mahal dari tenaga kerja yang berasal dari negara-negara pengirim lainnya. Mengapa? Karena calon majikan mengaggap bahwa orang Indonesia itu jika bekerja tidak mengenal waktu dan tidak berani melawan jika diperintah apa pun oleh majikannya. Inilah yang saat ini menjadi image dari BMI di negara penempatan Timur Tengah dimana TKI bekerja.

Jika kondisi ini terus berlanjut akan menjadi dampak buruk dalam pergaulan dengan bangsa lain terhadap tantangan global. Maka, moratorium pengiriman untuk sektor Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) bagi semua negara penempatan Timur Tengah adalah harga mati dalam menyikapi kasus ini.

Salah satu hal yang dapat memperparah kondisi tersebut adalah ketika para pegiat BMI juga ikut dalam arus yang berorientasi pada program. Baik dari dana-dana yang bersumber dari dalam negeri, maupun dari luar negeri. Ditambah lagi, terkadang metode yang dilakukan sebelum dilaksanakan program juga belum tentu tepat, karena tidak menyeluruh dalam melakukan taksiran ataupun kajian dari masalah yang dihadapi. Sehingga pegiat BMI dituntut untuk melakukan serangkaian kegiatan yang telah ditentukan oleh program dalam standar monitoring dan evaluasi. Setelah periode progam selesai, maka aktifitas yang dibangun pun juga ikut bubar karena mereka hanya berorientasi pada anggaran program, tidak murni dalam semangat perjuangan dalam membela komunitas BMI. Pada akhirnya muncul opini jika yang telah dilakukan hanyalah sebuah kamuflase untuk membendung opini pelanggaran HAM yang selama ini telah terjadi. Faktanya adalah BMI masih menjadi tren komoditas yang dapat ditunggangi oleh pelbagai pihak yang ingin memanfaatkannya. Jika memang seperti itu, maka yang dilakukan oleh pegiat BMI tidak lebih dari sebuah jargon semata.

Bagi kalangan BMI dan anggota keluarganya, memperkuat dan proaktif dalam mendalami isu ini adalah sebuah keniscayaan. Sehingga gerakan yang muncul benar-benar dari inisiatif kalangan marginal yang ingin berbenah, merubah nasib dari tindakan penindasan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memanfaatkannya. Pada saat ini, salah satu pilar yang dapat dimanfaatkan oleh kepentingan BMI adalah media, sehingga isu BMI dapat menarik perhatian berbagai pihak, dan tentunya mereka juga akan ikut dalam perjuangan BMI. Akan tetapi, kalangan BMI juga harus kritis dan jeli dalam menerima manfaat yang akan diberikan oleh siapa pun dan di mana pun.

Fakta yang terjadi saat ini, segala bentuk bantuan apa pun selalu diwarnai oleh kepentingan. Baik itu kepentingan oleh segelintir orang maupun kepentingan kelompok. Maka hal itu perlu diwaspadai. Mengapa? Karena sesungguhnya, eksploitasi terhadap BMI itu masih terjadi sampai detik ini!

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.