KJRI Terbakar, Buntut Buruknya Pelayanan Kemlu? (1)

Author

Suasana Gedung KJRI Jeddah yang dibakar TKI
Suasana Gedung KJRI Jeddah yang dibakar TKI

Kejadian pembakaran Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) Jeddah, Arab Saudi, adalah buntu dari akumulasi kemarahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi atas buruknya pelayanan Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI). Para pegawai KJRI selaku perwakilan negara yang dinilai tidak mampu memberikan pelayanan maksimal kepada TKI selaku warga negara Indonesia yang berdomisili di luar negeri. Kejadian pembakaran ini adalah buntut ketidakmampuan KJRI dalam mengelola proses pemberian amnesti kepada ribuan TKI yang kehabisan izin tinggal di Arab Saudi.

Pembakaran Gedung KJRI Jeddah yang terjadi pada Minggu sore (09/06/2013), sekitar pukul 18.40 waktu Jeddah, menjadi bukti kemarahan TKI atas pelayanan yang diberikan oleh perwakilan negara ini. Guna melayani ribuan TKI,  KJRI terkesan tidak cukup persiapan. Padahal, pemberlakuan ampnesti adalah peluang besar bagi ribuan TKI yang ingin memperoleh ampunan hukum dan kembali ke Indonesia.

Suasana Antrian Mengurus Amnesti Buruh Migran Pakistan
Suasana Antrian Mengurus Amnesti Buruh Migran Pakistan

Berbeda dengan India, Filiphina dan Pakistan, KJRI tidak mampu mempersiapkan pelayanan maksimal untuk melayani ribuan TKI yang mengalami persoalan izin tinggal. KJRI tidak secara maksimal mempersiapkan kemungkinan adanya ribuan orang yang datang untuk mengurus proses amnesti. Apakah KJRI menganggap persoalan perlindungan warga negara ini tidak penting?

“Bayangkan saja dalam himbauan atau pengumuman KJRI Jeddah kepada ribuan TKI dicantumkan, bahwa pelayanan KJRI untuk penerbitan SPLP, dibuka mulai dari jam 19.30 sampai 22.00 waktu Jeddah. Pertanyaan kami, apakah waktu pelayanan yang hanya 2,5 jam cukup untuk melayani ribuan pemohon? Sabtu kemarin (08/06) saja, pelayanan baru beres pukul 24.00 (waktu Jeddah, -pen) lebih, itu juga penutupan antrian sekitar jam 9.”  Terang Ganjar, salah satu TKI asal Bandung kepada Redaksi Buruh Migran.

Buruknya persiapan penanganan TKI di Jeddah yang berbuntut pembakaran ini menambah deret kegagalan KJRI selaku lembaga di bawah Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) untuk menyajikan pelayanan prima kepada TKI.  Seperti analalogi gunung es, persoalan yang tidak tampak jauh lebih banyak dibandingkan dengan persoalan yang muncul ke publik.

Rekam jejak pelayanan KJRI yang dirangkum oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran menunjukkan beragam persoalan yang menunjukkan buruknya pelayanan kepada warga negara. Pelayanan buruk ini tidak hanya terjadi di Arab Saudi, tetapi juga di beberapa negara lainnya.

JKRI Hong Kong, selaku perwakilan negara adalah contoh lainnya. KJRI Hong Kong, hingga saat ini tidak menjawab dan merespon surat permintaan informasi yang disampaikan oleh beberapa buruh migran Indonesia. Surat yang disampaikan pada 10 Maret 2013 ini, diabaikan hingga saat ini. Alih-alih memberi jawaban, KJRI justeru saling lempar wewenang untuk menjawab surat tersebut. Pemberian jawaban atas permintaan informasi yang menjadi kewajiban KJRI Hong Kong, dengan jelas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.

Pokok-pokok informasi yang diminta oleh TKI Hong Kong umumnya menyangkut standar pelayanan kepada masyarakat Indonesia, termasuk TKI. Rincian Informasi seperti standar operasional pemberian pelayanan, laporan keuangan, wewenang KJRI yang idealnya mudah untuk dijawab, hingga saat ini didiamkan oleh KJRI Hong Kong. TKI dan masyarakat Indonesia di Hong Kong, seakan tidak boleh tahu hal-hal yang menyangkut kebutuhan mereka selama di luar negeri. Salah satu persoalan penting yang hendak diketahui oleh TKI adalah soal larangan pindah agensi. Larangan ini bahkan berlaku pada TKI yang menjadi korban pelecehan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa KJRI tidak mampu menjalankan prinsip dan tugas perlindungan warga negara.

Tidak terbatas pada persoalan administrasi, permforma buruk pelayanan KJRI Hong Kong terekam dalam jejak kasus Pusat Sumber Daya Buruh Migran bersama dengan jaringan kerja TKI di Hong Kong. Kasus Sarpuah adalah salah satu persoalan yang belum lama mencuat. Rekam suara proses pelayanan yang dilakukan KJRI Hong Kong memperdengarkan buruknya pelayanan KJRI Hong Kong. Tidak hanya ditolak, pelayanan yang terkesan kasar juga diberikan oleh petugas KJRI.

Rekam suara ini digugat oleh KJRI Hong Kong. Pihak ATKI Hong Kong yang memiliki rekam ini beberapa kali dipanggil oleh Pihak KJRI. Sayangnya, pemanggilan ini mengabaikan waktu dan situasi yang memungkinkan pihak ATKI untuk memberikan klarifikasi. Ganika, selaku ketua ATKI dipanggil pada hari kerja. Tentu saja pemanggilan ini tidak bisa dipenuhi mengingat tidak mudah bagi seorang TKI untuk meninggalkan rumah tempat kerja. Permintaan agar KJRI menggelar pertemuan pada hari minggu tidak ditanggapi oleh pihak KJRI Hong Kong. Alih-alih memperbaiki pelayanan dan menyelidiki kasus Sarpuah, KJRI justru lebih sibuk mengurusi citra melalui media-media umum di Hong Kong.

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.