Hongkong — Ketersediaan informasi publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah hak setiap warga negara. Sebaliknya, Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadi kewajiban negara dan harus dipenuhi secara proaktif, berkala dan memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Keterbukaan informasi tak terkecuali juga mencakup aspek perlindungan dan tata laksana penempatan Buruh Migran Indonesia (BMI) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP, juga mengharuskan lembaga-lembaga yang mengatur dan melaksanakan tata laksana penempatan dan perlindungan buruh migran, untuk turut menyediakan informasi penting yang dibutuhkan oleh BMI.
Diskusi tentang pemetaan ketersediaan informasi publik di lembaga pemerintah pelaksana penempatan dan perlindungan BMI menyimpulkan, bahwa keterbukaan informasi masih jauh dari cukup (17/02/2013). Diskusi yang digelar oleh Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) dan Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM) ini, menyimpulkan bahwa masih banyak jenis informasi penting yang tidak tersedia atau dibuka untuk diakses oleh publik. BMI masih kesulitan untuk mendapatkan informasi penting yang terkait dengan proses migrasi sejak perekrutan hingga purna migrasi.
Ketertutupan informasi bagi BMI sangat menyulitkan dan acapkali menjadi ancaman yang merugikan BMI. Sebagai contoh, BMI tidak banyak yang mengetahui jenis-jenis barang yang dikenai pajak apabila dibawa dari negara penempatan ke Indonesia. Mekanisme pencekalan dan pungutan atas nama pajak di bandara kedatangan pun masih abu-abu. Hal ini menyebabkan banyak BMI yang harus mengalami pencekalan saat kembali ke Indonesia.
Mujtaba Hamdi (34), fasilitator MediaLink Jakarta, menyebutkan bahwa jenis-jenis informasi tersebut harus dibuka ke publik untuk mencegah kerugian di pihak BMI atau terjadinya pungutan biaya yang tidak sesuai prosedur.
“Informasi tentang pungutan dan jenis barang yang dikenai pajak itu juga harus jelas. Itu perlu ditanyakan melalui prosedur KIP agar tidak ada yang dirugikan,” tegas Mujtaba di sela sosialisasi KIP bersama kelompok BMI di Victoria Park Hong Kong (17/02/2013).
Pada forum lokalatih permintaan informasi yang diselenggarakan IMWU, ATKI dan PSDBM, terungkap pula pelbagai keluhan ketertutupan informasi penting BMI yang kerap menghambat dan merugikan BMI baik di Indonesia maupun negara penempatan. Kartu tanda kerja luar negeri (KTKL) menjadi salah satu sorotan utama. Selain menganggap bahwa kartu tersebut tidak mampu menunjukkan perlindungan seperti yang dicanangkan pemerintah, kartu tersebut banyak menghambat BMI. Di lain sisi, informasi pembuatan KTKLN masih simpang siur yang menyebabkan BMI gagal membuat KTKLN dan beberapa yang lainnya kehilangan kesempatan kerja.
Fafa (24), BMI Hongkong asal Purworejo, menceritakan hambatan yang dialami selama proses keberangkatan ke Hongkong akibat KTKLN. Ia ditanyai oleh maskapai penerbangan tentang kepemilikan KTKLN. Ia turut mempertanyakan wewenang maskapai penerbangan untuk bertanya soal administrasi ketengakerjaan tersebut. Hal serupa dialami oleh Muhammad Irsyadul Ibad (29), redaktur buruhmigran.or.id, yang ditanyai KTKLN saat hendak bertolak ke Hongkong. Padahal, Ibad tidak berstatus sebagai BMI. “Saya ditanyai KTKLN sama maskapai. Saya kaget. Kok mereka yang tanya,” jelas Fafa.
Kesimpangsiuran KTKLN juga bermuara dari keterbatasan informasi yang disediakan terkait pengurusan dan wewenang aktor-aktor yang terlibat dalam proses migrasi, seperti maskapai.
Ganika, Ketua ATKI Hongkong, turut menegaskan kelamnya informasi terkait dengan hak pelayanan publik untuk buruh migran di Konsulat Jendral Republik Indonesia Hongkong. ATKI secara sepesifik telah mengirimkan surat keberatan atas perlakuan oknum KJRI terhadap BMI. “Banyak buruh migran yang tidak tahu prosedur pelayanan. Padahal banyak mereka yang menyempatkan waktu ke KJRI melapor dan ada juga yang dalam situasi darurat,” tegas Ganika.
Karut-marut pelayanan dan perlindungan buruh migran, yang salah satunya disebabkan oleh ketertutupan informasi publik, mendorong beberapa organisasi BMI di Hongkong, seperti IMWU, ATKI dan PILLAR untuk mencoba mempertanyakan keterbukaan informasi pada lembaga negara. Secara kolektif, organisasi-organisasi tersebut berupaya untuk mempergunakan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP untuk menggugat ketertetutupan informasi yang merugikan buruh migran.
ATKI, IMWU dan Pillar bekerja sama dengan PSDBM, akan menggelar ujicoba permintaan informasi pada lembaga-lembaga negara tersebut. Tim khusus peminta informasi telah dibentuk melalui lokalatih yang digelar di Inmedia Hongkong (17/02/2013). Permintaan informasi ini juga akan menghasilkan laporan komprehensif tentang situasi penyediaan informasi publik pada lembaga-lembaga negara pelaksana perlindungan dan penempatan BMI. Laporan ini akan digunakan untuk menggambarkan situasi nyata pelaksanaan pelayanan informasi pada lembaga-lembaga tersebut. Diharapkan, koalisi ini dapat menyajikan laporan ini kepada publik pada Agustus 2013.