BANYUMAS. Nama Watisah (26), sempat menjadi perbincangan hangat, di Dusun Ciuyah, Desa Cihonje, Kecamatan Gumelar, Banyumas. Pasalnya, anak tunggal dari pasangan Kuswoyo (50) dan Kasem (48) itu, tidak pernah memberi kabar pada keluarganya selama 10 tahun lebih setelah pergi ke Kuwait. Baru di tahun yang ke sebelas, perempun yang berangkat menjadi TKI di usia 16 tahun itu, bisa berkomunikasi dengan keluarganya.
Tahun 2009 dan 2010, Seruni mendampingi orang tua Watisah untuk melapor ke Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Banyumas. Dari dinas tersebut, kemudian dilanjutkan ke BNP2TKI dan ke Kementrian Luar Negeri. Namun saat itu, nomor telepon sang majikan susah dihubungi. Awal 2011, Watisah sempat kirim surat kepada orang tuanya. Ia meminta orang tuanya untuk tidak mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Selain itu, dia juga sempat berjanji untuk pulang di hari lebaran 2011, tapi kenyataannya ia tak kunjung datang.
Menurut gadis yang hanya tamat SD itu, setiap surat dari keluarganya tak pernah sampai ke alamat rumah majikannya di Kuwait. Bahkan, pernah suatu kali ia mengirimi uang sebesar 15 juta, tapi ternyata tak sampai ke tangan orang tuanya. Watisah sendiri, tak pernah memberikan nomor telepon kecuali nomor telepon majikannya.
Kepada Suswoyo, dari Seruni, Watisah berbicara banyak hal. Ia berkisah tentang kondisi kota Kurz di Kuwait tempat ia tinggal. Wilayah tersebut rupanya pernah dibombardir oleh tentara Saddam Hussein.“Saya betah mas, walaupun pekerja Indonesia tidak ada. Di kota itu, pekerja dari India, New Zeland dan Philipina yang paling banyak. Saya baru bertemu dengan orang Indonesia satu kali. Kebetulan dia oarang sedesa dengan saya yang bekerja di Hotel,” tuturnya.
Watisah beruntung mendapat majikan baik. Ia merasa sangat kerasan bekerja pada majikan yang mempunyai lima anak tersebut. Setiap liburan, dia juga diajak untuk berwisata, sampai ke luar negeri. Kebetulan, majikannya adalah seseorang yang bekerja di Kementrian Pendidikan Kuwait.
Soal gaji, dia juga merasa dibayar dengan adil. Tahun pertama bekerja, gaji yang diterima sebesar 36 dinar. Satu dinar sebanding dengan Rp 32.000,-. Bahkan setiap dua tahun, majikannya menaikkan gaji. Sampai tahun yang ke sebelas, ia digaji hingga 70 dinar perbulan. Sebuah angka yang menurut gadis itu cukup memuaskan.
Tak ada alasan apapun kenapa ia sebelas tahun tidak pulang, kecuali ia merasa betah alias kerasan hidup di Kuwait. Ia juga menuturkan bahwa dirinya ingat keluarga, tetapi rasa ”kerasan” itu mampu mengobati kerinduan tersebut, sampai ia memutuskan untuk tidak menghubungi keluarganya.“Saya pulang karena saya dibohongi, bahwa ayah sedang sakit keras, sehingga harus segera pulang,” lanjutnya lugu. Watisah pulang ke tanah air, pada akhir Septempber 2012 lalu.
Bulan maret 2013 ini, ia berencana untuk menikah dengan lelaki pujaannya yang bekerja sebagai penggali emas, di penambangan emas tradisional Paningkaban, Gumelar. Watisiah juga tak berniat untuk bekerja di luar negeri lagi, karena ia telah berhasil membangun rumah senilai kurang lebih 200 juta. (Sus).