Siti Harsun merupakan salah satu pegiat di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thoyyibah (SPPQT) Salatiga. Partisipasi Harsun di SPPQT juga tidak lepas dari pengalaman masalalunya ketika ia pernah menjadi korban tindak perdagangan manusia (traficking) dan ketidakjelasan Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia(PJTKI).
Saat tahun 1996-an, trend migrasi ke luar negeri sedang mewabah di pelbagai daerah, tak terkecuali di Kabupaten Salatiga, Jawa Tengah. Berbekal informasi yang minim, Harsun mendaftarkan diri ke sebuah PJTKI,kini PPTKIS di Salatiga. Beberapa waktu kemudian ia dibawa ke Batam tanpa pembekalan pendidikan yang matang.
Sesampai di Batam, Harsun terganjal dengan pengurusan dokumen Paspor dan dokumen kerja. Akhirnya, Harsun dan beberapa calon buruh migran lainnya dipekerjakan oleh PJTKI di Batam selama kurang lebih 3 bulan. Melihat situasi tanpa kejelasan nasibnya di Batam, Harsun minta dipulangkan kembali ke daerah asalnya.
Pengalaman keduanya terkait migrasi yang benar-benar membuat Harsun trauma dengan migrasi adalah ketika ia diajak oleh salah satu temannya bekerja di Jakarta. Tanpa diketahui, ternyata Harsun dijual kepada seseorang di Sorong. Beruntung, ia bisa kabur ketika berada di Semarang.
Dari masalalu pahitnya terkait migrasi, Harsun tergerak untuk peduli. Ia mulai mengorganisir teman-teman di daerahnya dan membagi pengalam pahitnya seputar migrasi. Saat itu pula, ia berkenalan dengan salah satu pegiat SPPQT dan mulai bergabung.
Sekarang Harsun bergiat di Divisi Penguatan Perempuan dan Buruh Migran SPPQT Salatiga. Pengalaman mengajarinya untuk berbuat sesuatu agar kelak tak ada orang lain dsekitarnya bernasib sama, menjadi korban tindak perdagangan manusia. Tugas utamanya sekarang adalah mendampingi calon buruh mgran dan keluarganya. Bagaimana bermigrasi aman dan mengelola keuangan pasca migrasi adalah hal utama yang harus ia sampaikan.