“Yanne cece kong kongtung wa jeng jo tik, hamaia?” artinya “Mbak dari Indonesia bicara bahasa kantonis lebih jelas, iya kan?”. Demikian komentar orang Hong Kong yang saya dengar saat berada di luar, termasuk pengakuan dari keluarga majikan saya.
Harus diakui, Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Hong Kong punya nilai lebih, yaitu kemampuan berbahasa kantonis lebih baik dibanding buruh migran dari negara lain. Itulah sebabnya para majikan di Hong Kong lebih melirik BMI untuk menjaga orang tua mereka saat ditinggal bekerja. Sama halnya majikan saya, dahulu ia mengambil pekerja rumah tangga (PRT) dari Filipina, kini beralih ke PRT dari Indonesia karena alasan bahasa.
Saya sering menjumpai fenomena di pasar atau supermarket, saat kasir atau penjual toko susah berkomunikasi dengan PRT dari Filipina karena semuanya menggunakan bahasa Inggris, BMI menjadi penerjemah dadakan untuk kasir atau penjual. Maklum, karena tidak semua kasir dan penjual di Hong Kong bisa bahasa Inggris.
Buruh Migran dari Indonesia dan Filipina yang bekerja di sektor informal jumlahnya hanya selisih sedikit, tapi untuk urusan bahasa di negara tempat bekerja, jelas BMI lebih unggul. Rata-rata majikan Hong Kong mengatakan BMI lebih mudah berbicara Kantonis dari pada buruh migran asal Filipina. Beruntunglah karena banyak juga BMI yang bisa berbahasa Inggris sekaligus bisa bahasa Kantonis.
Persoalan selanjutnya, mengapa masih ada saja BMI yang dikirim ke Hong Kong dengan gaji dibawah standar yang ditetapkan pemerintah Hong Kong (underpayment)?. Sedang mereka bisa bersaing dengan buruh migran dari negara lain yang kesemuanya digaji sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pengalaman menarik. Saya yakin kemampuan bahasa menentukan keberhasilan BMI atau TKI. Banyak sekali TKI yang mengalami masalah karena penguasaan bahasa. Semestinya negara mengawasi ketat soal bahasa TKI.