Pada suatu pagi, Yusuf Adirima (Machmudi Haryono) berbicara di hadapan puluhan mahasiswa di kampus Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM), pertengahan November 2018 lalu. Ia bercerita tentang pengalamannya saat masih terlibat dengan kelompok pelaku kekerasan atas nama agama. Semua mahasiswa mendengarkan dengan takzim. Pada acara itu, ia mengenakan pakain batik dan celana kargo yang panjangnya sampai di atas mata kaki.
Yusuf ditangkap polisi di Semarang pada Juli 2003 karena menyimpan 26 bom rakitan dan amunisi milik Musthofa alias Abu Tholut tersangka Bom JW Marriot di Jakarta 2003. Konon kekuatan bom ini dua kali lipat dari kekuatan bom Bali (Susanto, 2016). Setelah bebas dari hukuman penjara selama lima tahun enam bulan, Yusuf memiliki usaha kuliner dan rental mobil di Surakarta. Pria berusia 42 tahun ini juga aktif melakukan upaya deradikalisasi, menyadarkan para jihadis (orang berpaham radikal) agar tidak menggunakan cara-cara kekerasan.
“Indonesia itu bukan wilayah konflik dan tidak perlu diperangi, negara ini bisa diterima masyarakat,” ujarnya.
Jika tidak setuju dengan kebijakan negara atau pemerintah, ia menyarankan agar berjuang dengan menggunakan cara-cara damai. Ketika mengobrol dengan penulis, Yusuf mengatakan saat ini orang bisa mengakses konten-konten yang berisi ajaran radikal yang menganjurkan cara-cara kekerasan di internet. Pasalnya, konten-konten seperti ini masih banyak bertebaran di dunia maya.
Konten berisi materi radikal, kebencian dan hasutan memang bisa muncul di dunia maya kapan dan dari mana saja. Sebab kemajuan informasi dan teknologi telah menghilangkan batas-batas negara dan memungkinkan siapa saja memproduksi konten itu dan menyebarkannya melalui internet. Bahkan seseorang bisa membuat dan menyebarkan konten radikal melalui akun media sosialnya. Hampir setiap manusia memiliki gawai (smart phone) sehingga bisa menjadi pembuat dan distributor informasi.
Apa yang harus kita lakukan jika menerima atau mengakses konten seperti itu di dunia maya atau media sosial?
Kita, sebagai konsumen informasi, perlu bersikap kritis dengan selalu mempertanyakan kebenaran dari informasi itu. Kita tidak boleh langsung percaya dan menelan mentah-mentah semua informasi itu. Bersikap kritis adalah kunci!
“Bila menemukan itu (konten radikal) simpan dulu dan bandingkan dengan informasi lain yang lebih lurus,” ujar Yusuf memberikan salah satu kiatnya.
Dalam situasi dimana kita mengalami banjir informasi, masyarakat harus memiliki kemampuan menyaring informasi, istilah kerennya, literasi media atau melek media. Google News Lab mempunyai saran praktis untuk menilai hoaks (hoax) yang juga bisa diterapkan untuk mengecek konten radikal di dunia maya. Pasalnya ada dua dimensi dalam hoaks yaitu disinformasi dan misinformasi.
Disinformasi adalah informasi yang salah dan disebarkan tetapi si penyebarnya tidak tahu kalau itu informasi yang salah. Sedangkan misinformasi adalah penyebarnya tahu itu informasi yang salah dan sengaja disebarkan untuk tujuan-tujuan yang diinginkannya. Konten radikal bisa mewujud dalam disinformasi dan misinformasi.
Beberapa langkah dari Google News Lab itu adalah:
Pertama: cek alamat situsnya. Jika kita masih ragu, teliti siapa nama orang yang membuatnya dan bisa dilakukan melalui mesin pencari google dan lainnya.
Kedua: perhatikan logo dan nama situs berita yang memuat konten informasi radikal itu. Mereka sering meniru dari media resmi, misalnya ada situs media online detik.com. Situs berkonten radikal ini dibuat dengan nama detikblabla.com dengan logo hampir sama dengan situs detik yang resmi.
Ketiga: situs abal-abal biasanya banyak sekali iklannya karena pembuat situs itu ingin mendapatkan uang dari banyaknya iklan. Tirto.id pada 16 Desember 2016 menyiarkan berita tentang bisnis berita palsu di dunia maya. Dalam investigasi Tirto, seorang pengelola media abal-abal penyebar berita palsu atau sumir dalam sebulan dapat meraup keuntungan Rp25 juta – Rp30 juta (Widhana, 2016).
Keempat: bandingkan ciri-ciri dari sebuah situs berita yang resmi dan bisa dipercaya. Misalnya nama penulis yang jelas dan bisa dipercaya, apakah narasumbernya benar-benar ahli dan layak dipercaya.
Kelima: setiap media yang bertanggungjawab dan bisa dipercaya selalu mencantumkan nama lembaga yang membuat media itu, siapa penanggung jawabnya, jajaran redaksinya, di mana alamatnya. Informasi ini ada di kolom tentang kami (about us) atau penanggungjawab yang bisa dilihat di situs itu.
Keenam: jika tidak ada informasi dan kejelasan pengelola, bisa dipastikan itu adalah media abal-abal yang tidak layak dipercaya.
Ketujuh: hati-hati dengan judul dan juga isi informasi yang bombastis atau sensasional karena biasanya ini untuk membangkitkan amarah kita sehingga kita terpancing melakukan “perjuangan” dengan cara-cara kekerasan. Mengaduk-aduk emosi kita agar kita marah dengan situasi yang ada adalah salah satu ciri konten radikal. Biasanya media ini akan mereproduksi konten yang kebenarannya masih sumir
Kedelapan: Coba kita bandingkan dan telusuri lebih lanjut informasi berkonten radikal itu ke situs-situs lainnya agar kita bisa mendapatkan perbandingan informasi. Cari kata-kata kunci terkait (key word) dan masukkan ke mesin pencari di internet sehingga kita akan mendapatkan dan bisa membandingkan dengan informasi dari sumber lainnya.
Namun satu hal yang harus diingat tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan cara-cara kekerasan. Kekerasan yang muncul dengan dalih ajaran agama adalah hasil interpretasi dari seorang penafsir yang belum tentu benar dan harus diletakkan dalam konteks situasi saat ini.
Siapa pun harus menyadari prinsip kekerasan untuk memperjuangkan suatu cita-cita bukan jalan terbaik. Suatu tindakan kekerasan seperti mengebom dan membunuh dengan berbagai senjata, melakukan persekusi, membuat ujaran kebencian dan sebagainya akan menciptakan tindakan kekerasan lain yang tidak akan pernah ada hentinya.
Inilah yang disebut sebagai “lingkaran setan” kekerasan yang tidak ada hentinya dan hanya akan menyebabkan penderitaan kehidupan.
“Lihat Marawi (di Filipina) yang sekarang hancur seperti di Syria karena ada ISIS (Negara Islam Irak dan Syria) yang menyarankan cara-cara kekerasan,” ujar Yusuf yang pernah menjadi jihadis di sana.
Afghanistan dan Irak juga mengalami situasi sama. Di Afrika, Sudan juga selalu diintai dengan kekerasan (fisik dan verbal) karena ada kelompok radikal yang berkuasa di sana. Kekerasan hanya menimbulkan penderitaan dan bahkan kepada orang lain yang tidak tahu apa-apa. Simaklah Febby Firmansyah Isran yang menjadi korban Bom JW Marriot di Jakarta 2003 yang diklaim sebagai laku “Jihad” dari jaringan Al Qaeda. Ia mengalami kebakaran hebat di tubuhnya sehingga menjadi difabel. Ia kehilangan pekerjaannya dan hampir saja gagal menikah. Apa salah dia sehingga ikut jadi korban dari aksi diluar peri kemanusiaan yang menyebabkan setidaknya 12 orang meninggal dan melukai sekitar 150 orang itu?
Saat menjadi pembicara bersama Yusuf di Fakultas Filsafat UGM, Febby tidak menaruh dendam kepada pelakunya. Ia tidak ingin menuntut balas kepada pelakunya.
“Masyarakat Indonesia harus memaafkan mereka, kekerasan tidak bisa dibalas dengan kekerasan karena akan menimbulkan kekerasan baru,” ujarnya.
Sebuah nasehat yang bijaksana dari orang yang bahkan harus menanggung akibat seumur hidupnya akibat ledakan bom itu.
Banjir informasi membuat siapa pun bisa terpapar konten radikal. Orang yang terpapar konten radikal pasti akan berubah perilaku atau ide pemikirannya. Jika ada anggota keluarga atau yang siapa pun yang tinggal di lingkungan orang ini dan mengetahuinya, sebaiknya berupaya mengembalikan ia ke jalan yang benar. Siapapun yang terpapar konten radikal tidak boleh dibiarkan.
Ia harus banyak diajak berdialog dan berdiskusi agar mempunyai pikiran yang lebih panjang. Dampak dari penderitaan manusia akibat aksi kekerasan bisa menjadi salah satu topik diskusi.
“Jika tidak ditemani, ia bisa kembali ke paham radikal,” ujar Muhammad Ni’am Amin, seorang pegiat deradikalisasi dari Yayasan Lingkar Perdamaian kepada penulis.
Julie Chernov Hwang, adalah dosen dari Goucher College, Amerika Serikat yang menulis buku berjudul “Why Terrorist Quit, The Disengagement of Indonesia Jihadists” (2018). Ini merupakan buku menarik karena memotret secara etnografi bagaimana para jihadis di Indonesia berhenti menjadi pelaku gerakan radikal atau kekerasan.
Ketika ia meluncurkan bukunya di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Agustus 2018 lalu, Julie mengatakan keluarga adalah salah satu faktor penting yang bisa mengembalikan orang yang terpapar informasi radikal ke jalan yang benar. Tetapi tentu saja syaratnya adalah keluarga yang memang tidak sepakat dengan jalan kekerasan. (Penulis: Bambang Muryanto | Jurnalis di The Jakarta Post dan Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta)
Referensi:
Widhana, Dieqy Hasbi (2016). Pemilik Pos Metro, Abdul Hamdi “Rata-rata Penghasilan Kita Rp25-30 Juta”. Diakses pada 18 Desember 2018 dari https://tirto.id/rata-rata-penghasilan-kita-rp25-30-juta-b9WS .
Susanto, Ari. (2016). Kisah Yusuf Adirima, mantan jihadis yang meniti jalan jadi pebisnis. Diakses pada 10 Desember 2018 dari https://www.rappler.com/indonesia/140763-kisah-yusuf-adirima-mantan-jihadis-jadi-pebisnis .