Siti Nurkhasanah, Potret Buram TKI Arab Saudi

Author

Kisa Siti Nurkhasanah, menambah catatan betapa buramnya potret TKI
Kisa Siti Nurkhasanah, menambah catatan betapa buramnya potret TKI

Siti Nurkhasanah (38) adalah anak Sulung dari lima bersaudara di Keluarga Mungidan asal Desa Pahonjean, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, tepatnya di Dusun Bojong Maros, RT. 03, RW 17. Bojong Maros merupakan dusun yang berada di pelosok Kecamatan Majenang, kita harus melewati beberapa sungai dan deretan sawah serta jalan bebatuan yang cukup sulit untuk mencapainya. Secara geografis dusun Bojong Maros berada di ujung paling timur dari dari Desa Pahonjean, hampir berbatasan dengan kecamatan Cipari.

Sejak 1998 Siti Nurkhasanah mencari rezeki sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi, negeri kaya minyak yang banyak menjadi tujuan Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia. Keberangkatan pertamanya di tahun 1998 berjalan lancar selama tiga tahun. Selama itu pula ia mampu membiayai adik-adiknya sekolah. Pada 2001, ia kembali menjadi TKI melalui PT. Amri Margatama dan terhitung sukses mengumpulkan real. Sehingga ia mampu membeli beberapa petak sawah.

Terhitung sukses menjadi TKI, Siti Nurkhasanah kembali mencoba peruntungan dengan menjadi TKI di tahun 2005. Melalui perusahaan yang sama (PT. Amri Margatama) dan majikan yang sama, yakni Saad Abdullah Saad yang berada di Kota Riyadh. Alih-alih mengulang kesuksesan, baik Siti Nurkhasanah maupun keluarganya tidak menyangka akan menemui situasi yang berbeda. Setelah keberangkatannya ke Arab Saudi di tahun 2005, Siti Nurkhasanah pulang dalam keadaan terguncang alias depresi dan selama enam tahun gajinya tidak dibayarkan.

Pada tahun pertama, Siti masih bisa dihubungi keluarga melalui telepon di rumah majikan. Jika keluarga di Indonesia mnghubungi ke Arab Saudi dan menyebut Indonesia, maka secara otomatis majikan akan memberikan pada Siti Nurkhasanah. Namun pada tahun berikutnya, ketika mendengar nama Indoensia, telepon langsung ditutup.

Imam Androngi (35), adik Siti Nurkhasanah mengaku ia kaget ketika siti Nurkhasanah pulang dengan tidak membawa apa-apa dan bahkan dalam kondisi yang “kurang normal” (baca: trauma berat).

Malam itu, 1 Oktober 2011, sebuah travel berhenti di depan rumah Mahrur, paman Siti. Awalnya keluarga tidak terlalu curiga walaupun siti Nurkhasanah pulang hanya membawa tas kecil. Namun, selang beberapa kemudian, keluarga menjadi kaget, karena siti terindikasi mengalami depresi berat. Ia akan marah dan berbicara sendiri ketika ditanya masalah pekerjaan dan majikannya di Arab Saudi. Dia sering tiba-tiba berbicara dan mengatakan “orang kerja kok gak dibayar, pengin enaknya sendiri saja”. “Bahkan setiap kali saya suruh makan, ia selalu marah-marah,”ungkap Imam Androngi.

Mengamati pola berbicara Siti yang masih labil, keluarga menduga Siti depresi karena ditekan secara psikologis oleh majikan, ia dilarang keras keluar rumah, tidak digaji, dan dilarang berkomunikasi dengan keluarga. Sampai saat ini, keluarga belum mendeteksi adanya kekerasan fisik dan pelecehan seksusal yang diterimas Siti ketika bekerja.

“Dalam kondisi-kondisi tertentu, Siti masih bisa diajak bicara normal,”ungkap Androngi.

Setelah beberapa hari, Imam Androngi banyak memperoleh informasi dari penuturan Siti Nurkhasanah. Informasi tersebut membuat Imam mengerti jika sang kakak juga kehilangan barang-barang bawaan saat di bandara Sukarno Hatta, gaji hanya dibayar sebulan (bulan saat Siti akan dipulangkan), paspor terakhir juga entah diminta siapa di bandara dan beberapa beberapa barang yang ada di dalam tas kecil miliknya.

Tas kecil yang dibawa Siti berisi surat-surat dan mukena serta uang rupiah. Beberapa dokumen surat yang ada di dalam tas tersebut antara lain, exit final visa, kontrak kerja, paspor tahun 2001 – 2004, dan catatan test medis (medical ceck up) tahun 2001. Selain itu Siti juga bercerita, ia membawa uang sekitar Rp. 1.900.000,-. Travel yang mengantarkannya meminta dibayar sebesar Rp.600.000,- dan Siti juga masih diminta uang sebesar Rp. 200.000,- untuk si sopir.

Pihak keluarga belum melakukan upaya apa pun dengan kondisi Siti Nurkhasanah yang mengalami depresi. “Kami pernah berusaha menghubungi orang yang bekerja di PT. Amri Margatama di Jakarta, tapi ia mengatakan tidak tahu. Kami juga ingin mengobati Siti, tapi sepertinya memerlukan biaya yang banyak,”lanjut Androngi.

Keluarga Siti Nurkhasanah sendiri bahkan belum mengetahui apa yang masih menjadi hak Siti dan bagaimana cara memperjuangkannya. Secara sederhana Imam Androngi hanya mengatakan “Saya hanya ingin Siti sembuh, kemudian bisa menikah dan melanjutkan hidupnnya dengan normal, karena seumuran Siti semestinya sudah menikah,” Ungkap Imam Andongi. Imam bahkan tidak melapor kemana-mana atas apa yang terjadi pada kakaknya. “Saya tidak tahu mas,” ungkapnya dengan lugu. (AF)

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.