(Bahasa Indonesia) Upaya Pelindungan Pekerja Migran di Desa Bringinan, Kabupaten Ponorogo

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Desa Bringinan, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur dikenal sebagai kantong pekerja migran Indonesia (PMI) di Kabupaten Ponorogo. Sejak tahun 1980, banyak warga Desa Bringinan yang merantau ke luar negeri untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Sebagai upaya melindungi calon PMI dan PMI dari Desa Bringinan, termasuk keluarga di kampung halaman, Pemerintah Desa Bringinan telah mengesahkan Peraturan Desa (Perdes) Bringinan Nomor 6 Tahun 2019 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Karena upayanya tersebut, pada 2020, Desa Bringinan mendapatkan dua penghargaan yakni Hassan Wirajuda Perlindungan WNI Awards dari Kementerian Luar Negeri dan Penghargaan Indonesia Migrant Worker Awards. Berikut kutipan wawancara tim redaksi Warta Buruh Migran dengan Kepala Desa Bringinan, Barno, Kamis, (8/4/2021):

Berapa banyak warga Bringinan yang menjadi PMI?

Berdasarkan data desa, pada tahun 2012, total ada 341 warga Bringinan yang bekerja di luar negeri. Jumlah itu cukup besar bisa dibandingkan dengan jumlah penduduk Bringinan yang totalnya 1.259 jiwa. Mayoritas bekerja di Malaysia. Namun, jumlah ini semakin tahun semakin turun, sampai hari ini. Data 2020, ada sekitar 80 orang yang bekerja di luar negeri dengan negara tujuan yang beragam, seperti Korea, Jepang, Malaysia, Amerika, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Kalau dulu, hampir 80 persennya bekerja di Malaysia.

Sejak tahun berapa banyak warga Bringinan yang bekerja di luar negeri?

Seingat saya, paling banyak di era 1980 sampai 1990-an. Angka pastinya saya tidak tahu. Karena tidak ada catatan waktu itu. Rata-rata bekerja di sektor perkebunan. Saya masih ingat, kakak saya yang pertama berangkat bekerja ke Malaysia pada 1986. Disusul kakak kedua tahun 1990 dan kakak ketiga pada 1995. Saya berangkat pada tahun 1998.

Anda juga pernah jadi PMI?

Iya. Setelah lulus Aliyah, saya bekerja ke Malaysia. Pendorong utamanya karena faktor ekonomi. Bapak meninggal ketika saya kelas 3 sekolah dasar. Kondisi ekonomi cukup untuk makan dan sekolah sampai Aliyah. Untuk kuliah sudah tidak mungkin. Saya berangkat pada 14 Desember 2017 dan berhenti dulu di Tanjung Pinang. Permit saya di perkebunan sebagai penyadap karet. Empat tahun berikutnya saya pulang. Pulang itu sebenarnya karena diberi cuti selama satu bulan. Karena saya merasa di rumah sudah nyaman dan banyak beraktifitas di karang taruna, saya tidak balik lagi ke Malaysia. Hehe

Faktor pendorong utama warga Bringinan menjadi PMI karena faktor ekonomi?

Ya, sebagian besar begitu. Bringinan ini dulu wilayah miskin. Sebagian besar warganya buruh tani. Nyaris tidak ada pegawai atau pedagang. Meskipun area pertaniannya luas, tapi itu hanya dimiliki beberapa orang saja. Sementara yang lain, jangankan untuk punya sepeda motor, menyekolahkan anak saja hanya sampai SMP atau SMA. Itupun susah payah. Jadi, untuk meningkatkan perekonomian, supaya bisa membeli sepeda motor dan membangun rumah ya salah satu caranya menjadi PMI.

Apakah kondisi itu masih sama hingga sekarang?

Sekarang jauh berbeda. Mungkin juga karena faktor ekonomi semakin sejahtera dan faktor pendidikan yang semakin tinggi turut mengubah cara pandang warga. Bahkan sejak adanya Perdes Pelindungan PMI di Desa Bringinan, tren itu sudah menurun. Mungkin, selama dua tahun ini tidak lebih dari 20 orang yang bekerja ke luar negeri.

Soal Perdes pelindungan PMI di Desa Bringinan, bagaimana dulu prosesnya penyusunannya?

Awalnya, usulam perdes pelindungan PMI ini berasal dari aspirasi warga, dalam hal ini didorong oleh Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) Desa Bringinan yang difasilitasi oleh INFEST Yogyakarta pada 2018. Pemerintah desa menyambut baik, begitu pula dengan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Saya pikir, penting bagi pemerintah desa untuk punya payung hukum yang bisa melindungi warganya yang menjadi PMI. Saya memaknai Perdes ini sebagai bentuk kesepakatan bersama seluruh elemen yang ada di desa. Masyarakat sebagai inisiatornya, kepala desa dan BPD sebagai fasilitatornya.

Dalam proses penyusunan ini, kami juga banyak belajar. Dulu saya berpikiran, Perdes itu harus mengacu terlebih dahulu pada Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Daerah. Masalahnya, di Kabupaten Ponorogo ini belum ada peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pelindungan PMI (UU PPMI). Tapi ternyata tidak melulu begitu. Yang penting, desa harus punya dulu Perdes mengenai Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Di situ, jadi dasar bagi desa untuk menyusun Perdes Pelindungan PMI ini, juga UU PPMI dan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Beruntung dari proses belajar bersama KOPI dan INFEST, kita bisa belajar tentang regulasi.

Tantangannya?

Pertama tentu soal kapasitas sumber daya manusia di desa belum ahli soal kebijakan. Kedua, ya itu tadi, kita belum punya Perdes tentang Hal Asal Usul dan Kewenangan Lokal Desa. Yang kemudian kami rancang, bahas, dan sahkan bersama BPD, KOPI, perwakilan dan tokoh masyarakat, serta tokoh agama di Desa Bringinan. kemudian, di Kabupaten Ponorogo belum ada peraturan daerah atau peraturan bupati yang mengatur mengenai pelindungan PMI. Jadi, kami bolak balik konsultasi ke Kecamatan dan Kabupaten untuk proses penyusunan Perdes Pelindungan PMI ini.

Yang terpenting niatan kami baik dan tidak ada urusan dengan keuangan seperti Perdes Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Perdes Pelindungan PMI Ini lebih ke soal pengaturan dan pelindungan masyarakat yang menjadi PMI. Jadi ya berani saja, jalan terus.

Apa saja yang diatur dalam Perdes Pelindungan PMI?

Pertama soal pendataan warga Bringinan yang menjadi calon PMI atau PMI aktif. Secara garis besarnya ya, antara lain soal layanan dokumen, informasi, komunikasi, dan pemberdayaan bagi PMI dan anggota keluarganya.

Bagaimana implementasinya?

Sebagai sebuah kesepakatan, Perdes ini sebenarnya sangat membantu. Pertama dia sebagai dasar hukum bagi pemerintah desa untuk melakukan pelindungan. Misalnya soal permohonan surat izin bagi calon PMI. Sebelum ada Perdes itu, saya bilang, “Pak/Bu, kalau mau dapat surat izin harus datang ke kantor desa,” itu dasarnya hanya omongan saya sebagai kepala desa, bukan atas dasar hukum yang mengikat. Sekarang, sebagian besar warga sudah tahu, untuk layanan surat izin di kantor desa dan akan dilayani petugas di kantor desa.

Proses pendataan juga penting. Seandainya ada warga Bringinan yang mau ke luar negeri, harus dipastikan kemana perginya, melalui PT (perusahaan penyalur) apa, alamatnya dimana, job-nya apa? Melalui pendataan ini desa punya arsip lengkap, Misal si A pergi ke Malaysia, berangkat tanggal sekian, melalui perusahaan ini, yang merekrut namanya ini, ikut majikan bernama si B. Kedua, setiba di negara tujuan, PMI ini juga punya tugas untuk mengabari desa berkaitan dengan apakah pekerjaanya cocok dengan kontrak atau tidak.

Melalui basis data yang jelas, kalau ada permasalahan di negara tujuan di sana, pemerintah desa bisa menentukan langkah yang tepat, misal komplain ke perusahan penyalur atau bekerjasama dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah.

Apakah ada tantangan dalam implementasi?

Sampai saat ini, kami masih terus berupaya untuk memenuhi dan melakoni semuanya. Sedikit demi sedikit. Misalnya soal poin kesepakatan perceraian yang menjadi isu cukup hangat dan masih dianggat sedikit warga sebagai sesuatu yang ribet. Juga soal pemberdayaan yang sebenarnya sudah kami lakukan sejak lama. Intinya, kita tidak takut menuju perubahan, selama itu untuk kebaikan. Maju terus.

Tulisan ini ditandai dengan: Bringinan pelindungan pmi Ponorogo 

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.