Pernikahan, selain karena anjuran agama, juga merupakan bagian dari soal kemanusiaan. Ikatan pernikahan terjadi karena adanya kesepakatan dua pihak dengan penuh kesadaran. Untuk itulah, setelah menikah, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban sebagai satu kesatuan pasangan. Termasuk di dalamnya tentang nafkah batin sebagai suami maupun istri.
Berikut cuplikan tanya jawab Ngaji Fiqih Buruh Migran yang diselenggarakan oleh Voice of Migrant (VoM) bersama K.H. Marzuki Wahid, Sekretaris Lakpesdam NU pada Minggu, (6/9/2020).
Bagaimana cara menjaga hubungan pernikahan dan upaya pemenuhan nafkah batin bagi pekerja migran?
Dalam agama, para ulama menyebutkan bahwa salah satu tujuan pernikahan ialah untuk mendapatkan keturunan. Untuk itulah, dalam prosesnya kemudian, yang menentukan punya anak atau tidak dibutuhkan campur tangan Allah dan manusia. Tujuan pernikahan dalam Islam ialah soal pemanusiaan. Penyaluran syahwat yang sah, sehat, dan bertanggung jawab
Kebutuhan batin melekat pada setiap orang. Terutama bagi teman-teman yang menjalani hubungan jarak jauh (long distance relationship/LDR) harus pandai-pandai mengelolanya. Bersyukur sekarang banyak teknologi informasi yang membantu, ada whatsapp, facebook dan lainnya yang intinya membantu komunikasi jarak jauh.
Kebutuhan batin tetap diperlukan meskipun jarak jauh. Meskipun caranya yang perlu diatur. Karena harus saling memenuhi. Bagaimana caranya? Banyak. Yang terpenting keduanya terpuaskan, saling membahagiakan, dan menyenangkan.
Apakah pemenuhan kebutuhan seksual pasangan yang LDR bisa dilakukan dengan Video Call?
Boleh saja kalau itu suami istri. Suami istri itu tidak ada halangan. Dan yang penting saling berkomunikasi dan tidak menimbulkan konflik. Dengan catatan, tidak ada cara lain dan hanya dengan cara itulah kebutuhan batin suami dan istri bisa dipenuhi libidonya dan bahagia, maka lakukanlah kalau itu suami istri. Kalau ditahan-tahan juga tidak baik juga.
Bagaimana kalau kondisi di tempat kerja tidak memungkinkan? Bagaimana menjelaskannya kepada suami? Dalam banyak kasus teman-teman PMI, permasalahan akan melebar kemana-mana.
Menurut saya, semua amal harus dilakukan sesuai kemampuannya. Seseorang tidak dibebani atas sesuatu yang tidak sesuai kemampuannya. Begitu juga dengan perempuan. Kalau kita sudah berikhtiar semaksimal mungkin, sudah gugur kewajiban kita. Yang terpenting tidak ada niatan untuk tidak ingin memenuhi hak pasangan. Artinya, kita sudah berusaha dan situasi tidak memungkinkan. Kewajiban sudah gugur.
Dari sisi pasangan, dibutuhkan kesepahaman, satu pengertian. Jika tidak, akan terjadi konflik. Kesepahaman membutuhkan waktu. Asal tidak capek belajar dari kesalahan. Yang sering terjadi, orang tidak belajar dari kesalahan. Padahal, setiap orang pasti punya salah dan kekeliruan. Oleh sebab itu, kita harus membiasakan meminta maaf dan menerima permintaan maaf. Kalau pasangan tidak memahami ya sulit karena tidak bisa dilakukan sepihak.
Bagaimana kalau sampai terlontar perkataan menyakitkan/cerai?
Dalam merespon situasi tersebut dibutuhkan kedewasaan karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Talak/cerai hanya bisa dijatuhkan di pengadilan. Nikah dan cerai itu adalah hak laki-laki dan perempuan. Kalau kita sudah menikah, dalam Islam menjadi perjanjian yang sangat kuat. Perjanjian atas nama Tuhan. Jangan pernah main-main dengan menikah. Tetapi Islam tidak menutup rapat-rapat perceraian asal dilakukan dengan baik-baik, tanpa amarah dan kekerasan.
Kalau masih bisa diperbaiki, maka pernikahan sebaiknya dipertahankan. Tidak ada manusia yang bersih dari dosa dan salah. Bohong kalau tidak ada salah dan dosa. Dari sisi itu, oleh karenanya, manusiawi jika kita melakukan kesalahan. Jadi, semua anak adam itu melakukan kesalahan. Sebaik-baik orang bersalah itu bertaubat. Suami istri langsung memaafkan dan berhubungan baik.
Bagaimana kalau sudah tidak bisa dipertahankan lagi? Kalau dipertahankan akan menjadi mudharat?
Itu hanya bisa menjadi emergency exit atau pintu keluar terakhir. Itu semua tergantung kasus yang tidak bisa digeneralisir.