Sejak kecil Suyati bercita cita untuk menjadi seorang pramugari, namun karena peluang itu sulit dicapai, Suyati mengubur cita-cita tersebut. Suyati lahir dari keluarga yang kurang mampu dan ibunya meninggal dunia sejak Suyati kecil. Dari tingkat pendidikan, Suyati hanya bersekolah sampai bangku Sekolah Dasar (SD). Susah baginya untuk mencari kerja di Indonesia mengandalkan ijazahnya di bangku SD. Melihat kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan, Suyati berencana untuk berangkat ke Arab Saudi sebagai pekerja migran perempuan.
Keputusan menjadi pekerja migran sebenarnya di luar keinginannya karena implikasinya harus meninggalkan keluarga dan orang-orang yang dicintainya. Meski berat, tapi keputusan tetap harus dilakukannya. Keesokan harinya, Suyati menemui Sumakyah, kawan baiknya yang sudah sukses kerja di Arab Saudi. Suyati meminta tolong kepada Sumakyah tentang tata cara caran untuk bekerja ke luar negeri. Sumakyah kemudian memperkenalkan Suyati dengan Paijo. Paijo ialah seorang sponsor dan kebetulan sedang mencari orang untuk bekerja di Arab Saudi. Suyati bertanya pada Paijo mengenai pekerjaan di Arab Saudi.
“Pak, kira-kira bapak ada pemberangkatan TKW ke saudi ngak ya pak?” tanya Suyati polos.
“Ya tentu saya berangkatkan. Jangankan ke Saudi, ke Singapura dan Malaysia juga saya bisa berangkatkan,” jawab Paijo secara yakin.
“Kalau kamu mau ke Saudi, kebetulan ada majikan yang mau cepat dapat pekerja rumah. Dapat pesangon juga lho, 5 juta,” tambah Paijo.
Tanpa banyak berpikir, Suyati menyetujui tawaran bekerja ke Arab Saudi lewat perantara Paijo. Suyati mengurus semua surat-surat yang dibutuhkan dan dua hari kemudian ia berangkat ke Arab Saudi. Mengenai pesangon yang dijanjikan, Paijo mengatakan bahwa pesangon akan diberikan setelah Suyati sampai di Perusahan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI/PJTKI) di Tanjung Pinang.
Suyati berangkat dari Surabaya ke Tanjung Pinang menggunakan kapal Ferry. Setelah sampai di Tanjung Pinang, Suyati diberi tahu oleh Paijo bahwa pesangon nantinya akan diberikan pada keluarganya di Surabaya. Suyati berada di penampungan P3MI di Tanjung Pinang sudah hampir lima bulan dengan kondisi yang memprihatinkan. Sampai akhirnya visa kerja Suyati diterbitkan oleh Malaysia dan seorang agen perempuan bernama Elis datang menjemputnya untuk berangkat ke Malaysia. Suyati kaget dan bertanya dalam hati, kenapa ia malah berangkat ke Malaysia. Ia hanya bertanya-tanya dalam hati dan pasrah dengan keadaan tersebut. Baginya yang terpenting saat ini adalah mendapat pekerjaan dan bisa berkirim uang untuk ayahnya yang sudah sakit-sakitan.
Sesampai di kantor agensi di Malaysia, sepasang suami istri berwajah oriental yang akan menjadi majikannya sudah menunggu Suyati. Sang suami merupakan warga negara Malaysia, sedangkan istrinya yang sedang mengandung merupakan orang Taiwan. Suyati ikut dengan majikan pertamanya tersebut. Di tengah jalan, majikan laki-lakinya memberi tahu bahwa majikan perempuan tidak bisa berbahasa Melayu dan sebentar lagi akan melahirkan. Sesampai di rumah majikan, Suyati diberi tahu apa saja pekerjaan yang harus dikerjakannya. Majikan laki-kaki tidak begitu banyak bicara, sedangkan majikan perempuan yang semula baik-baik saja mulai berubah perangainya.
Majikan perempuan selalu menganggap dirinya paling benar dan Suyati terus menerus disalahkan. Setelah sebulan Suyati bekerja, majikan perempuannya melahirkan anak lelaki. Tidak disangka, bayi yang dilahirkan majikan perempuan yang terlihat sehat ternyata memiliki kelainan. Pasca majikan perempuan melahirkan, nasib Suyati bertambah buruk. Majikan memperlakukan Suyati tidak manusiawi. Setiap pagi ia hanya diperbolehkan untuk minum air panas yang diberi satu sendok teh Milo dan roti satu keping. Pada siang hari Suyati hanya diberi makan bihun yang sudah basi dari dalam kulkas. Setiap hari Suyati diharuskan untuk mencuci dua buah mobil disamping mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak majikan.
Suyati diharuskan untuk mendengar apa yang dikatakan oleh majikan perempuan. Kalau Suyati tidak paham apa yang dikatakan majikan, majikan perempuan akan marah-marah. Setiap hari, Suyati dikunci di dalam rumah dengan bayi yang mempunyai masalah kesehatan. Setelah operasi, bayi harus buang air besar lewat perutnya dan semua itu memerlukan perhatian khusus. Setiap melakukan pemeriksaan kesehatan ke rumah sakit, Suyati juga harus menjadi juru bicara karena majikan perempuannya tidak bisa berbahasa Melayu dan berbahasa Inggris.
Gaji Suyati ditahan oleh majikan dan gajinya akan dipotong majikan ketika Suyati menelpon ke kampung halaman. Jika Suyati hendak berkirim surat, surat tersebut akan dibawa ke agensi dulu oleh majikan agar agensi membaca isinya. Saat itu suyati tetap bersabar dan berharap agar kontrak dua tahun itu segera berlalu. Hampir dua tahun kontrak dilalui, Suyati mendapat kabar dari Indonesia bahwa anaknya kecelakaan di sekolah. Tulang paha anaknya terjepit di mainan sekolah ketika kawan anaknya berusaha menarik dan malah menyebabkan retak.
Suyati merasa pilu dan sedih karena selama bekerja di Malaysia, selain Suyati tidak pernah menerima gaji dan tidak pernah mengirim uang untuk keluarganya, musibah juga datang dari anaknya. Saat dihimpit persoalan itu, Suyati memberanikan diri untuk izin pulang ke Indonesia selama dua minggu karena anaknya sangat membutuhkan bantuannya. Majikan tidak mengizinkan sama sekali. Suyati kemudian memohon agar gajinya diberikan untuk dikirimkan pada keluarganya di Indonesia. Majikan tidak bersedia memberikan gaji dengan alasan harus selesai kontrak lebih dulu.
Suyati hampir bunuh diri merasakan kondisinya dan ketidakmampuan untuk membantu keluarganya. Pada suatu pagi ketika sedang mencuci mobil yang akan dipakai majikan, Suyati bertemu dengan pekerja listrik. Pekerja itu tidak tahu bahwa Suyati adalah orang Indonesia, dengan penuh sopan pekerja itu berkata pada Suyati.
“Maaf cik, boleh alihkan keretanya sedikit? Saya mau betulkan listrik di atas kereta (mobil), cik. Takut nanti kereta itu kotor lagi,” ujar pemuda itu.
“Saya nggak bisa nyetir,” ujar Suyati.
Lelaki itu malah terkejut dan bertanya pada Suyati.
“Situ orang mana?” kata lelaki itu.
“Saya orang Jawa Timur,” ujar Suyati.
“Ealaah tonggo dewe tibak e [Ternyata tetangga sendiri.red],” kata pekerja listrik.
Suyati kemudian bercakap-cakap dengan pekerja tersebut menggunakan bahasa Jawa karena mereka sama-sama berasal dari Jawa Timur. Suyati pun menceritakan tentang keadaannya dan rencananya untuk bunuh diri. Pemuda itu menasehati Suyati agar jangan bunuh diri. Ia mengatakan pada Suyati untuk lari saja.
“Nanti kalau saya lari akan ditangkap Pak Polisi dan dimasukkan ke penjara. Kalau saya bunuh diri terjun dari rumah bos kalau ada apa-apa dengan saya bos saya yang akan ditahan polisi,” jawab Suyati Polos.
Pekerja itu coba membujuk Suyati supaya tidak bunuh diri. Ia memberikan nomor teleponnya ke Suyati apabila membutuhkan pertolongan bisa hubunginya. Suyati berpikir-pikir lagi bahwa benar yang dikatakan oleh pekerja itu. Dalam hati Suyati berpikir bagaimana caranya ia lari karena rumah majikan tiga tingkat dan semua dikunci. Suyati sempat berpikir akan menjatuhkan diri dari tingkat tiga dengan membawa tas yang berisi baju, ia pikir ia tidak akan mati. Malam itu selepas majikan Suyati tidur, Suyati memasukkan bajunya ke dalam tas yang akan dipakai terjun.
Sebelum memutuskan terjun, Suyati mengambil sandal di belakang pintu keluar. Ternyata Tuhan memberi jalan pada Suyati, pintu rumah majikan tidak terkunci. Suyati yang jujur dan tidak pernah sekalipun mencuri se-sen pun untuk menelpon pekerja yang memberinya nomor telepon. Akhirnya Suyati dapat keluar dari rumah majikan, namun sampai di pos keamanan, petugas memergoki Suyati. Suyati diinterogasi oleh petugas keamanan dan Suyati menjawab dengan perlahan bahwa ia hendak kabur dari rumah majikan. Permohonan Suyati dikabulkan petugas keamanan . Dengan perasaan iba, petugas itu membiarkan Suyati kabur dan berpesan agar kabar jauh sehingga majikan tidak mencarinya lagi.