“Pakades sudah mulai menganggarkan untuk program perlindungan TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Sebelumnya juga di desa ini sudah ada Komunitas ibu-ibu eks TKW (Tenaga Kerja Wanita). Jadi, Pemerintah Desa Pondok sangat mendukung program perlindungan TKI di desa ini.”
(Sisworo Anwar, Carik Desa Pondok, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo)
Suara gemuruh tepuk tangan segera menyusul dari sejumlah warga di Balai Desa Pondok, pada Sabtu (21/4/18). Pagi itu seorang Carik atau Sekretaris Desa (Sekdes) baru saja menginformasikan bahwa desanya telah menganggarkan rangkaian kegiatan yang akan dilakukan selama pelaksanaan “Program Penguatan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Daerah Asal dan Negara Tujuan Kerja”. Didampingi oleh Suharto, Kades Pondok, yang mengangguk dengan mantap sebagai respon atas apa yang dinyatakan oleh Cariknya.
Pada tahap persiapan sosial di desa, program kerjasama antara Infest Yogyakarta dan AWO Internasional ini memang membutuhkan komitmen Pemdes, bukan hanya kesiapan dan respon warga (komunitas). Selain Pemdes Pondok, dua hari sebelumnya, Kades Bringinan juga mengungkapkan rencananya untuk menganggarkan rangkaian kegiatan program perlindungan buruh migran. Di depan warga dan juga Camat Jambon, Kades Bringinan mengungkapkan rencananya untuk menganggarkan kegiatan bagi Komunitas Organisasi Pekerja Migran (KOPI).
KOPI adalah nama yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta untuk menyebut komunitas yang secara khusus melakukan pembelajaran sekaligus praktik pendampingan pekerja migran yang mendapat masalah. Di luar pendampingan kasus, KOPI akan berkolaborasi mendukung Pemdes menjalankan sejumlah kewenangannya dalam proses perlindungan pekerja migran di desanya. Di setiap desa, KOPI bisa saja memiliki nama khusus sesuai yang disepakati oleh tim KOPI. Misalnya dengan menggunakan istitilah lokal yang telah disepakati.
Kegagapan dalam Melindungi Pekerja Migran
Di pertemuan awal dengan sejumlah Kades yang desanya masuk daftar lokasi Need Assesment (NA) atau peneraan, semua desa mengaku peduli pada warganya yang menjadi pekerja migran. Namun, pada umumnya kepedulian tersebut belum benar-benar diwujudkan dalam sebuah program khusus perlindungan pekerja migran di desa. Hal ini tidak terlepas dari kegagapan mereka terkait langkah-langkah yang harus dilakukan dalam perlindungan pekerja migran.
Kegagapan Pemdes dalam perlindungan pekerja migran dirasakan oleh semua kades yang telah diteliti oleh Infest. Namun hal ini tidak terlepas dari minimnya edukasi yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab). Seperti yang sudah ditulis dalam artikel sebelumnya terkait hasil NA yang dilakukan Infest, peran Pemkab Ponorogo dalam hal edukasi migrasi aman di desa-desa masih minim.
Kondisi minimnya perlindungan pekerja migran di tingkat Desa, juga diakui oleh Barno, Kades Bringinan. Desa Bringinan merupakan salah satu desa di Kabupaten Ponorogo yang Kadesnya responsif dan inovatif. Dalam hal pembangunan di bidang pemberdayaan, Kades Bringinan juga termasuk Kades yang apresiatif. Sejumlah inovasi telah dilaksanakan di desanya. Namun, satu hal yang menurutnya masih minim adalah perlindungan pekerja migran di desanya.
“Sumbangsih TKI di desa kami sangat luar biasa, tapi sampai sekarang memang belum ada kebijakan perlindungan TKI. Sekarang kami seakan terbangun dari tidur. Bahwa TKI merupakan aset SDM yang sangat berjasa dalam pembangunan desa kami. Melalui program Infest, kami sadar bahwa keberadaan TKI bukanlah sebagai “masalah”, namun “peluang”. TKI adalah aset (kekuatan),” ungkap Barno yang beberapa kali mengungkapkan hal yang sama dalam sambutannya.
Di Kabupaten Ponorogo, selain Pemdes Pondok, Bringinan, Pemdes Nongkodono juga mengungkapkan dukungan dan komitmennya dalam mengawal program perlindungan pekerja migran. Kini di ketiga Desa tersebut telah terbentuk Tiga Komunitas Organisasi Pekerja Migran Indonesia (KOPI). Ketiga KOPI ini juga telah membentuk struktur pengurus organisasi yang terdiri dari tim pengurus inti dan beberapa bidang. []