Mengurangi angka migrasi melalui pemberdayaan ekonomi memang penting. Namun, jangan sampai abai melindungi calon BMI, purna BMI, BMI yang sudah di luar negeri, maupun mengedukasi warga khususnya keluarga BMI tentang migrasi aman dan sekian upaya perlindungan BMI.
“Kami ingin warga di sini dilatih bisnis agar pintar membangun usaha”,“Kami butuh lapangan pekerjaan”, dan sejumlah pernyataan yang intinya mengharapkan program pemberdayaan ekonomi di desanya. Sangat jarang saya menemukan pernyataan tentang kebutuhan warga atau bahkan Pemerintah Desa (Pemdes), bahwa warganya membutuhkan pendidikan (edukasi) tentang migrasi aman. Apalagi yang menyinggung soal upaya perlindungan buruh migran di desanya, sangat jarang.
Kondisi tersebut terjadi di enam desa dari enam kecamatan berbeda dari salah satu Kabupaten dengan angka migrasi terbanyak ke-2 di Jawa Timur (Jatim). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta, kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten dengan angka migrasi terbanyak ke-1 di Jatim. Dari 12 desa di kecamatan yang berbeda, minimnya edukasi terkait perlindungan buruh migran yang dilakukan desa (hulu) masih sangat minim.
Minimnya edukasi perlindungan buruh migran berdampak pada ketiadaan regulasi, program, dan kegiatan pelayanan migrasi aman di desa. Sayangnya meskipun edukasi terkait perlindungan buruh migran masih minim, program pemberdayaan purna buruh migran juga belum menyeluruh.
Perlindungan BMI Mulai dari Hulu
Buruh Migran Indonesia (BMI) pada umumnya berasal dari desa. Idealnya, desa sudah mulai belajar bagaimana memberikan layanan migrasi aman, serta sekian upaya untuk melindungi warganya yang bekerja sebagai buruh migran. Sayangnya, sampai saat ini masih banyak desa dengan kantong buruh migran belum memiliki regulasi perlindungan buruh migran. Belum lagi standar opersional pelayanan (SOP) migrasi aman, tata kelola data yang buruk, hingga ketiadaan program perlindungan buruh migran.
Selama ini salah satu upaya yang dilakukan pemerintah lebih menyasar pada peningkatan ekonomi. Meskipun demikian, pada umumnya belum benar-benar mampu menjawab kebutuhan purna buruh migran Indonesia (BMI). Tidak heran kemudian masih banyak purna BMI yang kembali lagi bekerja di luar negeri.
Program pemberdayaan ekonomi juga diterapkan di sejumlah desa di Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun ternyata pemberdayaan ekonomi saja tidak cukup. Karena ada hal penting namun sering diabaikan atau dianggap tidak penting, yaitu edukasi tentang migrasi aman dan serangkaian upaya perlindungan buruh migran yang dilakukan oleh pemerintah kepada warganya. Sampai saat ini kasus yang menimpa BMI ilegal terus di NTB terus terjadi.
Berdasarkan data yang dirilis Kompas (9/4/18) dari catatan Disnakertrans NTB, tahun 2017 jumlah BMI yang diberangkatkan 25.00 orang. Sementara pada tahun 2018, hingga Maret, tercatat pemberangkatan BMI mencapai 2.000 orang.
Menurut Kepala Dinas Kerja dan Transmigrasi NTB, Wildan, pemerintah daerah (Pemda) NTB sedang berupaya mencegah pengiriman tenaga ilegal ke luar negeri lewat penyederhanaan proses perekrutan BMI. Saat ini telah dikembangkan layanan terpadu satu pintu (LTSP) di Kabupaten-kabupaten yang selama ini menjadi kantong BMI ilegal NTB.
Penyederhaan layanan itu karena banyak keluhan dari calon BMI memilih berangkat sebagai BMI tanpa mengurus dokumen sebagai pekerja asing. Hal ini membuat banyak calon mengenai proses perekrutan yang panjang dan berbelit-belit. Hal ini membuat banyak calon BMI memilih berangkat sebagai BMI tanpa mengurus dokumen sebagai pekerja asing.
Meskipun upaya mengurangi angka migrasi dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi, namun mengedukasi warga tentang perlindungan BMI dan migrasi aman juga harus tetap dilakukan. Hal ini seperti yang dilakukan di NTB, betapa pentingnya semua pihak untuk bersama-sama memerangi pengiriman BMI secara Ilegal, selain menyadarkan keluarga BMI untuk memulai usaha produktif guna meningkatkan sejahtera.
Seperti pernyataan Kepala Dinas Kerja dan Transmigrasi NTB, Wildan, yang intinya bahwa mengurangi angka migrasi dengan mendidik warga melalui pemberdayaan ekonomi memang penting. Namun, jangan sampai abai melindungi calon BMI, BMI yang sudah di luar negeri, maupun mengedukasi warga khususnya keluarga BMI tentang migrasi aman.
Program penguatan kapasitas bagi warga tentang migrasi aman serta perlindungan buruh migran, bisa dilakukan mulai dari hulu atau dari desa. Artinya, dalam hal ini peran desa sangat penting dalam perlindungan buruh migran. Sayangnya selama ini peran desa sering terabaikan, karena migrasi ketenagakerjaan dianggap bukan bagian dari kewenangannya. Akibatnya, desa belum dinilai sebagai pihak strategis dalam mengurai permasalahan pekerja migran. Di sisi lain, kesadaran akan masalah yang sebenarnya dialami pekerja migran tidak ternyatakan oleh pekerja migran. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan hak, akses kepada lembaga peradilan dan dukungan komunitas yang fokus pada pelindungan pekerja migran.[]
Sumber gambar: aktual