News

(Bahasa Indonesia) PRT Indonesia Mengalami Kerja Paksa Lebih dari PRT Negara Lain

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Screen Shot 2016-03-16 at 2.13.31 PMJuctice Centre Hong Kong baru-baru ini melakukan survei untuk migrant domestic workers (MDWs) atau pekerja rumah tangga (PRT). Hasilnya, satu dari enam PRT yang disurvei adalah korban kerja paksa. Sekitar 17% dari PRT yang disurvei memenuhi kriteria untuk dihitung sebagai korban kerja paksa.

Sebanyak 336.600 PRT saat ini terdaftar di Hong Kong, dan jika dihitung dari hasil prosentase menunjukkan bahwa lebih dari 50.000 PRT migran berada dalam posisi kerja paksa. Sebanyak 70,5% lebih PRT dari Indonesia mengalami kerja paksa dibanding PRT dari negara lain.

Untuk survei tersebut, Juctice Centre mewawancarai 1.003 responden PRT di Hong Kong pada bulan April dan Mei tahun lalu. Dua pertiga dari PRT yang disurvei menunjukkan tanda-tanda kuat eksploitasi, tetapi tidak dalam kerja paksa. Sementara tanda-tanda menengah sekitar 11,3% menunjukkan eksploitasi. Hanya 5,4 persen dari PRT yang disurvei tidak menunjukkan tanda-tanda eksploitasi, menurut sebuah laporan yang dirilis oleh Juctice Centre.

Untuk jam kerja, rata-rata di antara semua responden mengaku lebih dari 70 jam seminggu. Lebih dari sepertiga responden tidak diberi 24 jam waktu istirahat penuh per minggu sesuai kebutuhan di bawah hukum Hong Kong.

“Temuan survei memberikan bukti yang sangat dibutuhkan untuk mendorong perubahan kebijakan dan legislasi seputar kerja paksa, perdagangan manusia dan hak-hak PRT di Hong Kong, “kata Piya Muqit, Direktur eksekutif Justice Centre.

Kelompok hak asasi meminta pemerintah Hong Kong untuk mengambil tindakan mengatasi masalah mendasar di balik masalah yang diidentifikasi dalam laporan tersebut.

“Kerja paksa tidak selalu melibatkan kekerasan fisik, karena ada banyak juga pemaksaan dan penipuan,” tutur Victoria Wisniewski Otero, penulis laporan dan Advokasi dan juga manajer dalam kampanye di Justice Centre Hong Kong pada media (Selasa, 15/3/2016).

Victoria mengatakan, temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa banyak hak-hak PRT sebagai pekerja dan manusia tidak dihormati dan dilindungi. Berbagai tingkat eksploitasi dan pelanggaran tenaga kerja kecil pun biasa ditemui. Ketua Partai Demokrat Hong Kong, Emily Lau Wai-hing mengatakan, pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa PRT bekerja dengan aman dan bahagia di Hong Kong. Lau mengatakan bahwa pejabat pemerintah harus langsung berbicara dengan negara asal PRT untuk mengatur sistem dan memangkas biaya agen. Ia juga menyerukan pembentukan sebuah saluran resmi untuk majikan dan PRT guna menyelesaikan perselisihan mereka.

Juctice Centre melaporkan sekitar 35% dari seluruh responden memiliki rasio utang terhadap pendapatan sama dengan atau lebih dari 30% pendapatan tahunan mereka. PRT ini mengalami enam kali lebih dalam kerja paksa dari PRT dengan tingkat utang yang lebih rendah.

“Kerja paksa tidak hanya tentang hubungan karyawan-majikan. Bahkan, penelitian kami menunjukkan bahwa utang perekrutan berlebihan berdampak besar pada seseorang akan rentan terhadap kerja paksa atau tidak, “kata Wisniewski Otero. Rekrutmen buruh  migran, lembaga penempatan, calo memberikan kontribusi terhadap masalah ini. Oteor berpendapat bahwa adanya regulasi yang memadai dan tidak adanya hukuman kepada instansi yang menjual terlalu mahal memiliki dampak merugikan pada PRT.

Eni Lestari, ketua Migran Internasional Alliance, mengatakan Hong Kong harus mengubah hukum untuk memastikan bahwa PRT akan terjamin jika mereka mengajukan kasusnya terhadap majikan mereka. Eni mengatakan, hukuman bagi mereka yang menyalahgunakan PRT sebaiknya ditingkatkan. Ia mencatat bahwa mantan majikan yang berbuat kasar kepada Erwiana Sulistyaningsih hanya dihukum enam tahun penjara.

Doris Lee, pendiri dan ketua Open Door, sebuah asosiasi pengusaha Hong Kong dan warga yang bertujuan untuk mempromosikan dukungan untuk hak-hak PRT, mengatakan hukum harus diubah untuk mengatur perusahaan agen. Leo Tang Kin-wa, sekretaris pengorganisasian dari Hong Kong Konfederasi Serikat Pekerja, mengatakan pemerintah harus menyediakan pendidikan yang lebih untuk PRT sehingga mereka menyadari hak-hak hukum mereka di.

Sumber: http://www.ejinsight.com/20160315-one-in-six-domestic-workers-in-hk-in-forced-labor-says-study/

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.