Perbatasan, adalah salah satu komponen yg membentuk identitas, kesatuan, kehidupan sosial politik, berbangsa dan bernegara. Hubungan individu dan perbatasan tertuang dalam beberapa helai kertas sebesar saku (baca: paspor). Helaian itu juga yang membedakan kita dengan bangsa lain. Muncul pertanyaan yang menggelitik nurani.
Apakah pantas entitas manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di muka buka hanya ditandai oleh helain kertas yang dapat dengan mudah ditiru?
Akibat dari beberapa helaian kertas itu, menyebabkan ribuan dan bahkan jutaan orang (irregular migrant) rela menerobos dan mencabut hubungan antara nativitas dan nasionalitas. Mereka juga membawa sistem kehidupan negara berbangsa suatu kawasan kepada sebuah krisis dan ketegangan antar negara.
Titik perbatasan merupakan tempat jahanam di muka bumi. Suatu tempat di mana berbagai macam pelanggaran dan kejahatan terjadi; diskriminasi, stereotip, korupsi, penipuan, pemalsuan, perampokan, pemerasan, pelacuran, pemerkosaan, perampasan, penyelundupan dan perdagangan orang dari sindikat yang terorganisasi. Tidak hanya dilakukan oleh aktor garang, akan tetapi aktor dengan atribut lengkap simbol-simbol sebuah negara. Di perbatasan, para pendatang ‘haram’ bisa dikorbankan dan dibunuh tanpa harus mengetahui siapa yang melakukannya.
Menyusup, menyelinap dan bersembunyi dalam kungkungan negara sendiri dan negara tujuan yang diselimuti oleh ketakutan akan keamanan diri. Meraka rela tinggal pada tempat-tempat yg kotor, berbau, nyamuk-nyamuk yg mengerikan, binatang menjijikkan dan mematikan, air bersih dan makanan terbatas, dalam kegelapan, terkunci dari luar, beratapkan langit dan beralaskan bumi, berdiam tanpa kepastian serta ancaman dari aktor penyelundup dan perdagangan manusia.
Mereka tidak sadar bahwa mereka adalah korban dari rejim strict border. Seolah menutup mata, apa yang telah native nikmati sebenarnya berasal dari keringat para ‘haram’. Sangat menyayat hati, jika terjadi ketidakseimbangan dalam interaksi sosial, merekalah yang selalu menjadi kambing hitam (Criminalization). Memang, para pendatang ‘haram’ ini membawa pengaruh nilai-nilai dalam interaksi sosial budaya. Tapi tidak selamanya itu bernilai negatif.
Tujuan mereka hanyalah ingin mencari sesuap nasi (baca: kehidupan yang lebih baik) untuk keluarga dan anak-anak mereka. Sebuah perjalanan yang sangat beresiko dan berbahaya di balik kemegahan modernisasi pembangunan yg tidak merata. Mereka punya hak untuk hidup, hak untuk bebas bergerak dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak serta akses sosial lainnya, yang mungkin tidak mereka dapatkan di negara asalnya.
Meraka juga hanya ingin tinggal untuk sementara waktu di sana. Membantu pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan oleh native (penduduk asli). Apakah kita tidak berpikir jika pengawasan perbatasan, pembangunan perbatasan dan birokrasi telah menghabiskan banyak dana? Malah hal tersebut hanya meningkatkan industri penyulundupan dan perdagangan manusia serta hanya membumbungkan kamuflase ekonomi di perbatasan.
Kita memerlukan mereka (irregular migrant) untuk melakukan pekerjakan yang tidak bisa kita kerjakan. Kita memerlukan mereka untuk pekerjaan yang tidak ingin kita lakukan. Kita memerlukan mereka untuk mengurus orang tua dan anak-anak yang ibunya sedang sibuk bekerja di luar. Kita memerlukan mereka untuk melakukan pekerjaan yang kita merasa takut untuk melakukannya. Kita memerlukan mereka untuk menyalurkan hasrat cinta kepada orang yang kita cintai (perkawinan). Tanpa imigran, tidak semua dari kita akan memiliki kesempatan untuk mewujudkan keinginan kita.
Satu komentar untuk “(Bahasa Indonesia) Hikayat Pendatang Haram”