Forum Solidaritas Pekerja Indonesia Luar Negeri (FSPILN) melakukan uji materi UU PPTKILN, khususnya pasal mengenai KTKLN di Mahkamah Konstitusi. Rabu (08/04/2015) sejumlah saksi ahli dihadirkan dalam persidangan tersebut, ada Poempida Hidayatullah, Abdul Rahim Sitorus, Samuel Bonaparte Hutapea dan Rudy Agus Kumesan. Keempat ahli tersebut pada pokoknya dimintai keterangan mengenai KTKLN dan identitas pelaut. Di bawah ini adalah keterangan dari Abdul Rahim Sitorus ketika menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi yang telah diringkas Redaksi Buruh Migran.
KTKLN bukan identitas bagi tenaga kerja pelaut, apabila kita mencermati, pelaut memiliki instrumen khusus berkenaan dengan identitas internasional yang harus melekat padanya saat bekerja. Salah satu dasarnya adalah Konvensi ILO Nomor 108 mengenai The Seafarers Identity Documents (SID) yang disahkan tanggal 13 Mei 1958 dan mulai berlaku secara internasional pada 19 Februari 1961. SID berbentuk buku sehingga kemudian disebut dengan Seamans Book.
Tenaga kerja pelaut merupakan bagian dari tenaga kerja Indonesia, maka para tenaga kerja pelaut ini wajib dilindungi. Penggunaan KTKLN untuk melindungi TKI pelaut sangat tidak tepat. Selain karena kartu tersebut tidak melindungi kepentingan pelaut sesuai dengan standar internasional, penggunaan KTKLN juga tidak menghormati keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008.
Undang-undang tersebut memberi amanat bagi tenaga kerja pelaut Indonesia yang bekerja di wilayah asing menggunakan identitas berupa seaman book/ buku pelaut. Bukan identitas seperti KTKLN, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Dasar Hukum
Dasar hukum KTKLN berfungsi sebagai kartu identitas TKI selama masa penempatan di negara tujuan dirumuskan dalam Pasal 62 ayat (2). Sedangkan hukum kewajiban memiliki KTKLN bagi setiap TKI diatur dalam pasal 26 ayat (2) huruf f. Kewajiban KTKLN ini juga dibebankan oleh undang-undang berdasarkan Pasal 105 ayat (5) kepada TKI yang dikenal sebagai TKI mandiri tanpa melakui agen.
Berdasarkan aturan-aturan ini—terutama pasal 62—BNP2TKI selalu memaksakan buruh migran membuat KTKLN karena sifatnya wajib. Mereka juga merasa punya kewenangan untuk melakukan pencegahan keberangkatan pada TKI yang tak memiliki KTKLN. Dengan kata lain, apabila ada buruh migran yang tidak memiliki KTKLN, akan ada sanksinya. Sanksinya berupa sanksi administratif sebagaimana diatur Pasal 100. Ada dua macam jenis sanksi administratif yang bisa dikenakan kepada TKI yang tidak memiliki KTKLN.
Sanksi pertama, menurut Pasal 100 ayat (2) huruf d, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pembatalan keberangkatan calon TKI. Inilah yang sangat sering terjadi secara masif, terstruktur dan sistematis. Kawan-kawan buruh migran—tidak hanya pelaut saja—banyak yang menderita kerugian materiil maupun imateriil akibat pemberlakuan pasal ini. Kerugian tiket bahkan ada yang sampai kehilangan pekerjaan.
Sanksi kedua, menurut Pasal 100 ayat (2) huruf e, adalah pemulangan TKI dari luar negeri dengan biaya sendiri. Perumpamaannya, TKI yang bekerja di luar negeri jika datang ke KBRI atau perwakilan Republik Indonesia yang ditanyakan adalah posisi TKI legal atau ilegal. Kalau tidak punya KTKLN akan dianggap ilegal. Kalau ilegal akan dipulangkan dengan biaya sendiri. Lantas bagaimanakah pembelaan bantuan hukum terhadap TKI tanpa KTKLN datang dengan masalah masalah? Disinilah kemudian ada perilaku diskriminatif.
Pasal Tak Masuk Akal
Dijelaskan secara tegas dalam Pasal 62 ayat (2) UU PPTKILN, KTKLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai kartu identitas TKI selama masa penempatan TKI di negara tujuan. Tetapi ketika Abdul Rahim Sitorus menanyakan pada banyak buruh migran melalui jejaring sosial, banyak sekali buruh migran yang menjawab KTKLN sama sekali tidak berguna di luar negeri, bahkan sebagai identitas di luar negeri pun tidak berguna.
Pembuat undang-undang merumuskan materi muatan Pasal 62 ayat (2) tidak masuk akal, tidak sesuai dengan kenyataan. Untuk apa membuat aturan yang tidak berguna?
Joko Widodo tahun lalu pernah memerintahkan penghapusan KTKLN ketika didesak oleh buruh migran. Namun demikian, seperti yang dikeluhkan oleh banyak kawan-kawan, di lapangan praktik membatalkan keberangkatan TKI tanpa KTKLN sampai sekarang masih terjadi. Praktik ini melanggar hukum, karena mestinya pelaksanaan pencegahan keberangkatan itu tunduk kepada UU Keimigrasian yang harus melalui proses daftar cekal lebih dahulu.
Dasar pemikiran pembuat undang-undang lawgiver ini memaksakan/mewajibkan TKI memiliki KTKLN. Itu dicantumkan dalam penjelasan umum, alinea 2 dan 13. Intinya, dokumen KTKLN ini seolah-olah disamakan fungsinya dengan paspor. Jika TKI tidak punya paspor, itu pasti ilegal menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012. Tetapi tolok ukur legal atau ilegalnya TKI menurut Undang-Undang Nomor 39 adalah punya KTKLN atau tidak.
Menurut hukum internasional paspor adalah dokumen yang diakui keabsahannya, selain juga visa kerja. Sedangkan KTKLN tidak pernah satu pun diakui sebagai identitas di seluruh negara penempatan. Materi muatan pasal 62 sangat tidak masuk akal, karena beranggapan kalau TKI yang tak memiliki KTKLN akan menjadi korban eksploitasi atau perdagangan manusia.