Anak buah kapal (ABK) nelayan yang bekerja ke luar negeri dan membawa remitansi tak sedikit bagi Indonesia disebut juga sebagai TKI. Jumlah anak buah kapal dan pelaut Indonesia yang bekerja ke luar negeri pun tak sedikit, data BNP2TKI menyebut ada 198.416 orang. Meski banyak, belum ada regulasi yang dibuat pemerintah ihwal penempatan dan perlindungan terhadap pelaut perikanan. Sejauh ini hanya ada Peraturan Kepala BNP2TKI PER/03/KA/I/2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing.
Di dalam peraturan BNP2TKI tersebut dijelaskan juga mengenai masalah-masalah yang menimpa pelaut perikanan. Proses penempatan TKI pada umumnya berbeda dengan penempatan TKI pelaut. Proses penempatan TKI pelaut yang bekerja di kapal perikanan pun berbeda dengan TKI pelaut yang bekerja di kapal niaga. Sampai saat ini agensi yang menempatkan TKI pelaut ke luar negeri sebanyak 104 perusahaan, terdiri dari 48 perusahaan di kapal perikanan dan 66 perusahaan di kapal niaga.
Berbagai masalah muncul di penempatan pelaut perikanan atau ABK nelayan, 92% dialami oleh mereka yang bekerja di kapal ikan dan 8% dialami mereka yang bekerja di kapal niaga. Gaji pelaut perikanan pun jauh lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang bekerja di kapal niaga. Di dalam peraturan BNP2TKI disebutkan beberapa masalah pokok yang sering dihadapi oleh ABK nelayan atau pelaut perikanan :
1. Masalah Gaji
Gaji pelaut perikanan atau ABK nelayan jauh lebih kecil dibandingkan dengan gaji pelaut lain yakni hanya sebesar US $150/bulan. Gaji yang diterima juga kadang tak sesuai dengan kontrak kerja dan bahkan yang lebih buruk tidak dibayarkan gajinya. Pembayaran gaji nelayan juga tak sesuai dengan peraturan. Misalnya gaji dikirim ke agensi di Indonesia, dipotong untuk biaya agensi, dan sisanya dikirim pada keluarga. Ada juga kasus diskriminasi penggajian, ABK Uruguay menerima US $600, sedangkan ABK Indonesia hanya US $180.
2. Masalah Perjanjian Kerja
Tak adanya kesepakatan kerja bersama juga merupakan sebuah masalah pokok dari ABK nelayan. Demikian juga dengan perjanjian kerja laut (PKL) yang tak dimiliki ABK nelayan, karena agensi kebanyakan menyodorkan perjanjian kerja biasa saja. Masalah lainnya, perjanjian kerja tidak ditanda tangani oleh pelaut dan agensi tetapi hanya ditanda tangani oleh pelaut dan saksi mata dari agensi. Biaya penempatan ABK nelayan dalam beberapa kasus melebihi biaya penempatan yang semestinya atau overcharging. Ada juga kasus dimana perjanjian kerja tak disahkan oleh instansi yang berwenang, tak diasuransikan, dan jikapun diasuransikan tak jelas asuransinya.
3. Kompetensi Kerja dan Masalah Lain
Banyak ABK nelayan yang belum bisa berbahas Inggris serta kurang kompeten dalam menggunakan alat penangkap ikan. Masalah-masalah lain seperti, pelanggaran wilayah laut yang menyebabkan banyak dari ABK ditangkap dan dimasukkan dalam penjara imigrasi. Pemilik kapal kebanyakan tidak bertanggung jawab terhadap ABK nelayan ketika kapal melanggar wilayah laut dan ABK ditangkap oleh otoritas setempat. Penyiksaan fisik oleh nahkoda kapal rentan dilakukan.
Sejak UU No 39 tahun 2004 mengenai penempatan dan perlindungan TKI disahkan belum ada regulasi yang dibuat oleh pemerintah mengenai penempatan dan perlindungan pelaut atau ABK nelayan. Sudah 10 tahun berlalu dan hanya ada aturan dari kepala BNP2TKI yang menurut Bobi AM (Sekjen DPN SBMI) dinilai tak cukup. Keputusan kepala BNP2TKI itu juga dinilai Bobi bentrok dengan pembagian kewenangan Kemenakertrans sebagai regulator dan BNP2TKI sebagai pelaksana seperti yang diamanatkan dalam Permenakertrans N0 14 tahun 2010.
Nasib Pelaut Sangat Memperohatinkan