News

(Bahasa Indonesia) Penanganan Kasus Erwiana Tak Sesuai Prosedur Operasi Standar Kemlu

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Kasus Erwiana Muncul di Salah Satu Koran Hong Kong
Kasus Erwiana Muncul di Salah Satu Koran Hong Kong

Kasus Erwiana yang telah membuat Pemerintah Hong Kong kalang kabut, sekarang memasuki babak baru. Belum lama ini diberitakan bahwa Erwiana telah kembali ke Hong Kong, untuk melakukan persidangan perdana menuntut majikannya (7/04/14). Erwiana tak datang sendiri. Dia ditemani oleh Samsudin Nurseha, Pengacara LBH Yogyakarta, Rianti yang menolongnya waktu dipulangkan majikan dan Iweng Karsiwen anggota JBMI-Indonesia.

Namun demikian setibanya di bandara, Erwiana dipisahkan dari teman-temannya dan dipaksa untuk menginap di gedung konsulat dengan pengawasan 24 jam. Bahkan menurut laporan Pegiat Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) Hong Kong, Fera Nuraini, Erwiana sempat diancam oleh Mr. Eric (Salah satu Polisi Hong Kong yang menangani kasus) untuk dideportasi bila tak menuruti kemauan KJRI dan polisi setempat.

Jaringan BMI yang terdiri dari puluhan organisasi BMI di Hong Kong mengecam keras tindakan KJRI yang memaksa Erwiana untuk tinggal di KJRI. Baru setelah melewati perundingan alot, KJRI membolehkan Riyanti dan Iweng untuk tinggal menemani Erwiana.

Insiden yang tak masuk akal itu menandakan bahwa pihak perwakilan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam hal ini adalah KJRI Hong Kong, tidak melakukan prosedur penyelesaian pengaduan secara bebas, transparan dan tidak ramah. Padahal pada portal resmi Kemlu telah disebutkan, Prosedur Operasi Standar (POS) penyelesaian masalah BMI dalam menangani kasus dan kesepakatan akan berlangsung “Ramah, Transparan, Bebas, dan Cepat.”

Kebebasan dalam memilih siapa yang akan menemani, tentu manjadi hak Erwiana. Rasa aman dan nyaman menjadi hal penting bagi kondisi mental Erwana yang selama ini telah mengalami pengalaman buruk selama di Hong Kong. Sayangnya, pihak KJRI sepertinya tak memperhatikan masalah tersebut.

Sikap KJRI Hong Kong yang tak membolehkan adanya pihak lain dalam pengawalan kasus Erwiana, juga membuktikan ketidakterbukaannya dalam menjalankan prosedur penyelesaian kasus. “Mr. Eric sebenarnya mengibuli Erwiana dan menggunakan ancaman untuk membuat Erwiana tidak bisa diakses publik. Erwiana datang atas undangan, dia bukan narapidana yang harus ditahan. Erwiana bersedia membantu polisi, tapi hormati hak-hak dia” tegas Sringatin, Juru Bicara Komite Keaidlan Untuk Erwiana.

Laporan Bassina Farbenblum dkk, dalam “Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia,” yang diterbitkan oleh Open Society Foundation mengamini pendapat Sringatin. Selama ini, prosedur kedutaan untuk penanganan kasus buruh migran memang tidak diatur secara jelas dalam peraturan atau panduan Kemlu.

Sikap perwakilan Kemlu yang tidak transparan dalam penyelesaian kasus juga bisa ditelusuri melalui kasus-kasus terdahulu. Seperti penelitian yang dilakukan Bassina terhadap beberapa BMI pada bulan Januari dan Juli 2012, diketahui bahwa masih banyak BMI yang menerima bantuan dari pihak kedutaan tetapi tidak diikutsertakan dalam proses penanganan kasus. Para BMI menjelaskan, anggota staf kedutaan tidak melibatkan mereka dalam komunikasi atau negosiasi yang dilakukan dengan majikan. Bahkan menurut pegakuan buruh migran yang menjadi objek penelitian menyebutkan, mereka seringkali dibiarkan tanpa tahu apa yang terjadi selama proses interaksi (negosiasi) tersebut.

Melihat hasil studi di atas, pegiat BMI di Hong Kong harus lebih memperketat pengawalan penyelesaian kasus Erwiana. Jangan sampai kita mendapatkan ketidakjelasan proses penanganan kasus tersebut.

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.