(Bahasa Indonesia) Desa Para Juara

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Gerbang Masjid Usman bin Affan yang berdiri megah di Desa Karangtawang menandai selera bangunan masyarakat yang tengah beranjak naik.
Gerbang Masjid Usman bin Affan yang berdiri megah di Desa Karangtawang menandai selera bangunan masyarakat yang tengah beranjak naik.

Jalan utama desa terlihat lengang siang itu. Lapisan aspal yang kasar juga mengelupas di sana-sini. Rumah-rumah berdiri megah, seolah saling berlomba. Tembok batas rumah berderet-deret dengan rupa-rupa warna, hingga menimbulkan kesan sempit pada ruas gangnya. Namun, daerah ini bukan di wilayah Jakarta atau kota besar lainnya. Gang sempit dan rumah-rumah megah ini hanyalah sebuah perkampungan pelosok Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Desa Karangtawang namanya. Desa dengan 6500-an penduduk usia produktif ini terletak di Kecamatan Nusawungu, daerah pesisir ujung timur Kabupaten Cilacap.

Tak sepadan dengan rumah padatnya, desa ini tidak bisa dikatakan ramai. Penyebabnya, tak lain adalah kebiasaan penduduk setempat yang gemar merantau ke negara lain. “Boleh dikatakan hampir di tiap rumah ada anggota keluarga yang menjadi buruh migran. Makanya desa terlihat sepi. Sebagian besar penduduk desa ini pernah bekerja di luar negeri,” tutur Sekretaris Desa Karangtawang, Kiran, membuka percakapan siang itu.

Jiwa rantau penduduk Desa Karangtawang tumbuh semenjak 40-an tahun lalu. Bahkan hingga kini beberapa buruh migran pertama yang menjadi tonggak buruh migran selanjutnya masih hidup, dan menjadi saksi betapa semangat merantau itu turun temurun dilakukan oleh anak cucunya hingga sekarang. Sebagian perantau awal Karangtawang tersebut menetap dan menjadi warga negara tujuan. Saat itu, Malaysia adalah negara tujuan utama para perantau.

Kiran mengatakan buruh migran periode awal hingga akhir tahun 80-an merupakan pekerja ilegal. Pada mulanya mereka hanya berniat bekerja di Sumatera dan kepulauan Riau. Namun janji bayaran tinggi nembuat mereka menyeberang ke negeri jiran.“Sampai sejak tahun 1970-an hingga 90-an warga desa banyak yang menjadi buruh migran ilegal. Semua dilakukan demi merubah nasib,” ujarnya.

Demi merubah nasib, ribuan penduduk desa ini rela berpisah bertahun-tahun dengan sanak saudara. Sempitnya lapangan pekerjaan memaksa perempuan dan para pria usia produktif memilih menjadi buruh migran. Tak semuanya berhasil memang, namun setidaknya mereka memiliki keinginan kuat untuk merubah nasib. Maka tak berlebihan, jika desa ini disebut sebagai desanya para juara. Para pejuang perubah nasib.

Puji Suryati contohnya. Perempuan yang kini sibuk mengajar ini termasuk salah satu mantan migran yang tidak ketiban untung di negeri seberang.  Dia adalah sarjana lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Namun karena merasa kesempatan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tak kunjung datang, maka dengan tekad kuat ia berangkat mengadu nasib ke Malaysia di tahun 2002. Apa lacur, janji gepokan uang ternyata hanya bualan semata. Rejeki seolah menjauh darinya. “Dalam satu bulan saya digaji hanya Rp 1,2 juta. Gaji sekecil itu tidak sebanding dengan pengorbanan berpisah dengan keluarga. Kurang lebih satu tahun kemudian saya memutuskan pulang kampung,” tutur Puji.

Sri Purwati dan Surtinah pun memiliki cerita yang tak jauh berbeda. Dua perempuan perkasa ini harus bolak-balik ke Malaysia karena kontrak dua tahun awal tidak cukup untuk merubah nasib. “Jangankan merubah nasib, hasil dua tahun hanya cukup untuk mengembalikan sawah yang digadaikan. Ini berarti keberangkatan dua tahun pertama hanya untuk membayar utang,” ujar Purwati.

Surtinah menambahkan, warga Karangtawang memiliki resolusi paten yang seolah taak terbantahkan bahwa seseorang yang menjadi buruh migran setidaknya harus bisa membuat rumah dan membeli sawah. Padahal seringkali modal untuk berangkat ke luar negeri adalah hasil menjual sawah atau pekarangan. Alhasil, pada pemberangkatan awal mereka berjuang untuk membayar hutang dan mengembalikan luasan tanah yang dijual atau digadaikan.

“Keberangkatan kedua dan ketiga biasanya sudah bisa mulai mengumpulkan uang untuk mulai membangun rumah dan membeli sawah. Kalau belum cukup maka akan dilanjutkan dengan perpanjangan kontrak yang bisa mencapai waktu puluhan tahun,” jelas Surtinah.

Setelah membangun rumah permanen dan membeli sawah persoalan belumlah selesai. Banyak diantara mantan buruh migrant, kesulitan mendapat pekerjaan di desanya. Desa Karangtawang hanya memiliki sawah seluas 205 hektare dan lahan kering atau pekarangan 241 hektar. Dengan penduduk mayoritas petani, bisa dibayangkan betapa sempit lahan yang mereka miliki.

“Kalau hanya mengandalkan pertanian tidak akan cukup untuk nafkah sehari-hari. Makanya kami berusaha menciptakan alternatif peluang usaha yang sedikit bisa membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga,” kata Puji.

Para mantan buruh migran ini kemudian membentuk kelompok sektoral dalam bidang ekonomi, sosial dan seni. Pembentukan kelompok ini tak lepas dari peran Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) Cilacap, yang tengah melakukan program pemberdayaan buruh migran perempuan dan keluarganya di daerah asal. Di Karangtawang, Lakpesdam NU Cilacap menghelat berbagai pelatihan ketrampilan usaha, mulai dari budidaya jamur tiram, koperasi, kerajinan berbahan dasar plastik, Teknik Informatika (TI) dan telekomunikasi, paralegal, serta manajemen usaha.

Direktur Lakpesdam NU Cilacap, Hazam Bisri mengatakan bahwa sebelum menentukan pelatihan yang dilaksanakan, masyarakat dibantu oleh para fasilitator Lakpesdam melakukan diskusi kampong. Diskusi tersebut dilakukan untuk menemukan akar persoalan dan menentukan langkah yang bakal diambil. “Banyak buruh migran, sepulang dari luar negeri bingung akan melakukan apa. Skill menjadi masalah krusial yang patut diperhatikan,” ungkap Hazam.

Beberapa usaha yang kini dilakukan kelompok buruh migran di Karangtawang antara lain adalah budidaya lele hemat air, telur asin, keset sabut kelapa (sabusret), dan kerjinan plastik. Sedangkan kelompok sosial seni, hal yang dilakukan antara lain dengan membentuk seni rebana untuk muslimat. Seluruh kegiatan itu tergabung dalam kelompok buruh migran bernama Toifatul Mansyur.

Satu komentar untuk “(Bahasa Indonesia) Desa Para Juara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.