(Bahasa Indonesia) Menuai Makmur Bisnis Jamur

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Usaha jamur menjadi salah satu bisnis andalan kelompok usaha buruh migran Qurrota A’yuun.
Usaha jamur menjadi salah satu bisnis andalan kelompok usaha buruh migran Qurrota A’yuun.

Sebelumnya tak pernah terpikir dalam benak Ranis (45), bahwa dia, dan beberapa rekan purna buruh migran di Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap mampu melakukan budidaya Jamur. Namun sekarang ini, pekarangan seluas 15 ubin di belakang rumah Ranis penuh dengan polybag jamur, baik yang sudah berproduksi maupun yang masih dalam masa inkubasi.

Reporter Jejak Migran pun sempat berinteraksi dengan beberapa perempuan dan pria,yang sedang bekerja di tungku perebusan polybag jamur tiram. Saat di temui di ruang berukuran 5X6 meter, para pekerja tersebut sedang melakukan proses perebusan yang menggunakan api dari dua tungku.“Iya mas, kami sedang merebus polybag. Ini sudah enam jam. Dua jam lagi selesai,” ujar Ranis, membuka percakapan pada siang yang panas itu.

Beberapa waktu kemudian, Ranis dan 5 rekan lainnya mematikan api,dan membuka tutup drum yang berisi polybag yang tengah direbus. “Ini masih harus ditiriskan dulu sedikitnya enam jam. Baru setelah itu bisa ditebar bibit jamur,” jelasnya, sambil membuka plastik tutup drum setabal delapan milimeter.

Dua tungku semen bata berbahan bakar gergajian kayu, plester 5 x 2 meter tempat mengompos dan membuat polybag, drum bekas oli, beberapa karung bekas wadah gergajian kayu, dan botol berisi pasir adalah beberapa peralatan yang dipakai untuk memproduksi jamur. Kelompok ini mampu memproduksi hingga 17 kilogram per hari, dengan rata-rata produksi antara 7 hingga 13 kilogram jamur tiram siap jual per hari.

Dengan harga Rp 10 ribu per kilogram kepada bakul pasar, kelompok ini mampu meraih penghasilan kotor Rp 170 ribu per hari. Jika dijual eceran bahkan mencapai Rp 12 ribu per kilogram. Tak pelak, tiap bulan kelompok ini meraup pendapatan kotor hingga Rp 6 juta per bulan. “Bulan Ramadhan hingga setelah lebaran idul fitri lalu bahkan sampai Rp 16 ribu per kilogram,” tambahnya, bungah.

Kelompok Qurrota A’yuun ini memang patut untuk berbangga diri. Pada awalnya mereka tidak pernah menyangka bisa membbudidayakan jamur. Bagi mereka, jamur tiram seolah ilmu yang tak tergapai. Namun di pertengahan 2011 lalu, mereka mengikuti pelatihan budidaya jamur tiram yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Cilacap dalam Program Pemberdayaan Buruh Migran Perempuan di Daerah Asal.“Ternyata membuat jamur tiram itu mudah. Kita hanya tidak tahu saja sehingga kelihatan sulit,” urai Ranis.

Peralatan yang diperlukan pun terhitung murah, sungguh terjangkau. Selain beberapa peralatan yang disebut diatas, Kelompok Qurrota A’yuun memanfaatkan ruang berukuran 12 x 10 meter sebagai kumbung produksi. Lantainya tanah dindingnya pun hanya dilapisi plastik mulsa yang mudah ditemukan di pasaran dengan harga murah dan atapnya terbuat dari rumbia.

Kendati terlihat mudah, bukan berarti tak ada aral yang dihadapi Kelompok Qurrota A’yuun. Beberapa yang kerap terjadi adalah penurunan semangat anggota kelompok. Seringkali anggota kelompok merasa puas setelah menyelesaikan kerja pembuatan jamur. Padahal, standar operasional budidaya jamur adalah tetap memproduksi polybag kendati ruangan telah penuh. Pasalnya setelah jamur dipanen tiga kali, maka polybag mesti diafkir.“Tiba-tiba polybag sudah tidak berpoduksi lagi dan harus dibuang. Padahal belum bikin lagi, makanya produksi jamurnya fluktuatif, belum stabil,” paparnya.

Selain persoalan itu, Kelompok Qurrota A’yuun juga masih terkendala peralatan yang amat sederhana. Perebusan polybag misalnya. Karena menggunakan gergajian kayu, selama delapan jam tungku mesti diawasi terus menerus, jangan sampai api terlalu besar atau mati. Sebab kestabilan api merupakan kunci sterilisasi jamur. Jika tidak steril, niscaya jamur tiram tidak akan tumbuh. Mereka mendamba alat rebus yang lebih mendukung,seperti menggunakan bahan bakar gas elpiji.

Setelah lihai membudidayakan jamur tiram, Kelompok Qurrota A’yuun juga berharap bisa membuat bibit jamur sendiri. Sebab, saat ini mereka hanya bisa membeli bibit jamur di Daerah Wangon Kabupaten Banyumas, yang berjarak lebih dari 60 kilometer. Jika bisa membuat sendiri, mereka tidak perlu direpotkan perjalanan jauh yang cukup menguras biaya dan tenaga ini.“Kami ingin mendapat pelatihan pembuatan bibit agar bisa membuat bibitnya sendiri. Dengan demikian bisa mengurangi biaya produksi,” tambah Rasin.

Namun pembuatan bibit ini pun cukup sulit. Dengan peralatan yang dimilikinya sekarang, kelompok ini belum mampu membuat bibit jamur tiram. Sebab, media F2 jamur tiram siap tebar harus dibuat dari biji-bijian yang dioven. Mereka belum memiliki oven yang diperlukan dalam pembuatan bibit itu. “Kami berharap agar semua pihak bisa mendukung upaya kami membudidayakan jamur tiram. Dengan perlatan yang lebih lengkap kami yakin bisa menambah kapasitas produksi dan membudidayakan lebih banyak lagi,” tuturnya.

Kendati masih berupa impian, Kelompok Qurrota A’yuun juga berencana melakukan pengelolaan pasca panen dengan membuat aneka panganan berbahan baku jamur. Seperti Jamur Crispy, pepes jamur, dan juga jamur yang diawetkan dengan jalan pengeringan. “Kami yakin prospek jamur ke depan masih terbuka lebar. Apalagi jika bisa membuat jamur crispy. Ini akan menaikkan harga jamur dan lebih banyak menyerap tenaga kerja,” tutupnya dengan nada optimis.

Satu komentar untuk “(Bahasa Indonesia) Menuai Makmur Bisnis Jamur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.