Wawancara dengan Andreas Soge, pegiat buruh migran asal Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Berawal dari perkenalan di media jejaring sosial (Facebook), Fathulloh, salah satu anggota redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) berkenalan dan mewawancarai Andreas Soge (43), seorang pegiat buruh migran asal Larantuka yang juga bergabung dalam organisasi Serikat Buruh Migran Indonesia wilayah Kepulauan Riau (SBMI Kepri). Berikut kutipan wawancaranya:
Redaksi:
Selamat Malam.
Andreas Soge:
Malam juga.
Redaksi:
Mas, kami pernah membaca informasi tentang kegiatan Anda mengawal kepulangan TKI dari Malaysia dari dinding Facebook, bisakah diceritakan bagaimana awal mula keterlibatan Anda dalam pemulangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTT pada pertengahan Oktober kemarin?
Andreas Soge:
Awalnya ketika saya bekerja di Batam tahun 2007, saat itu saya bertemu dengan begitu banyak perantau asal NTT, saya tergerak untuk lebih memperdalam kenapa mereka banyak di Batam dengan standar hidup yang sangat memprihatinkan, maka diam-diam saya datangi setiap komunitas dan berdiskusi dengan mereka, dari diskusi ini saya mengetahui mayoritas mereka pernah bekerja di Malaysia dan dipulangkan secara paksa karena persoalan dokumen (ilegal).
Sebenarnya banyak informasi tentang persoalan pekerja migran di Batam yang saya dapat sejak tahun 2007. Selama 2 tahun saya mengumpulkan informasi. Saya mendatangi sendiri pelabuhan pemulangan di Tanjung Pinang dan mengamati beberapa pelabuhan, baik international atau pelabuhan tikus di Batam. Pelabuhan tikus sendiri merupakan pelabuhan yang biasa digunakan untuk penyelundupan baik barang dan manusia, untuk manusia selalu dilakukan para tekong (Calo TKI) di malam hari. Hingga pada Juni 2009 dalam sebuah diskusi yang diadakan Komisi Migran Perantau Keuskupan Pangkal Pinang, saya bertemu dengan Suster Rita RGS. Dari diskusi yang kami lakukan, ternyata kami mempunyai komitmen yang sama, maka sejak itu kami jalan bareng menangani persoalan pelbagai persoalan seputar perantau atau buruh migran.
Redaksi:
Pelabuhan “tikus” berada di titik mana saja mas?
Andreas Soge:
Pelabuhan tikus ada di beberapa titik di Batam seperti Tanjung Sengkuang, Batu Amapar, Teluk Bakau, Sagulung, Pelabuhan Pancung Sekupang, Tanjung Uma, Nongsa, Marina dan bisa ada beberapa tempat lain yang luput dari pengamatan saya terlebih pulau-pulau kecil di sekitaran Batam.
Redaksi:
Apakah sejak saat itu Anda sendirian dalam melakukan pemantauan?
Andreas Soge:
Kalau dibilang sendiri ya memang iya, karena saya sering melakukan sendiri tanpa ditemani, tetapi saya punya beberapa teman yang selama ini konsen terhadap persoalan BMI seperti Ramses D Aruan (Wakil Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia) yang sering saya ajak diskusi.
Redaksi:
Kemudian selama pemantauan di beberapa pelabuhan, apa saja yang dilakukan Mas?
Andreas Soge:
Selama pemantauan ada pengalaman menegangkan, pada Oktober 2007 ada tekong yang hendak membawa masuk sepasang suami istri, Rovinus Napa, sang suami berasal dari Ende Flores dan Ani, sang istri berasal dari Bali, karena rasa empati itu maka saya coba melarang dan mengamcam melaporkan peristiwa ini ke pihak berwajib namun semua ini luluh ketika suami istri ini mengatakan kepada saya bahwa hal ini adalah keinginan mereka. Mereka tetap masuk Malaysia pada 21 Oktober 2007. Perlu diketahui dua hari kemudian saya dikontak Pak Gaspar Mbuli, paman atau bapak kecil dari sang suami bahwa keponakannya beserta istrinya tertangkap, dan ketika mereka dipulangkan saya yang menjemput mereka di tanjung pinang.
Kisah lain pada Januari 2009, saya menolong seorang BMI asal NTT yang sedang hamil tua untuk dirawat di Rumah Sakit dan mendapat bantuan untul proses persalianannya, serta beberapa temuan kasus yang lain.
Redaksi:
Baik, kembali pada upaya menjemput kepulangan 15 BMI asal NTT dari Malaysia pada pertengahan Oktober 2011, apa yang ada dalam pikiran Anda hingga memutuskan berangkat ke Jakarta untuk mengawal kepulangan mereka?
Andreas Soge:
Memutuskan ke Jakarta itu seperti pulang ke rumah sendiri, karena saya pernah 13 tahun hidup di Jakarta seperti yang saya katakan di atas, pada Juni 2009 saya berkenalan dengan para Suster Gembala Baik yang konsen terhadap persoalan yang sama, maka kami mulai berkolaborasi. Saya coba melihat langsung seperti apa proses pemulangan di Tanjung Priok. Mulai awa Oktober 2011, saya coba melakukan pengamatan. Walau awalnya agak kesulitan karena saya tidak diijinkan masuk, tetapi setelah saya katakan saya dari SBMI, baru saya diperbolehkan masuk pelabuhan.
Redaksi:
Kemudian KM. Umsini mengantar 169 buruh migran asal Indonesia (di antaranya 15 orang BMI berasal dari NTT), Kapal itu tiba kapan mas?
Andreas Soge:
Kapal itu tiba Selasa tanggal 18 Oktober 2011 pukul 15.00 WIB menurut rencana, namun bergeser hingga pukul 15.30 WIB
Redaksi: Kira-kira apa saja tantangan yang dijumpai selama membantu mengawal kepulangan TKI?
Andreas Soge:
Yang menjadi tantangan utama adalah pihak aparat yang mencurigai kegiatan yang saya lakukan, keberadaan kaki tangan PPTKIS, tekong, dan kesadaran bermigrasi aman pada masyarakat NTT sendiri.
Redaksi:
Bukan rahasia lagi jika Persoalan TKI, salah satunya adalah masih banyaknya “mafia” atau pihak yang hanya memikirkan keuntungan semata, nah pernah tidak Mas Andreas mendapat ancaman dari mereka?
Andreas Soge:
Kalau soal yang satu itu, saya pernah diancam akan dibunuh oleh kaki tangan PJTKI yang ketika itu ada 214 TKI asal NTT yang disekap di Tanjung Uma Batam, karena rasa peduli saya coba ikut mengadvokasi agar PJTKI yang bersangkutan dapat dikenai hukuman saat itulah saya sempat diancam akan dibunuh. (kasus ini diberitakan oleh beberapa media pada 20 Juni 2011)
Redaksi:
Dari sekian pengalaman Mas Andreas, kira-kira apa saja prinsip yang harus dipegang bagi orang yang dalam tanda petik ingin menjadi seperti mas Andreas (mengambil peran, untuk terlibat dalam kegiatan advokasi TKI)?
Andreas Soge:
Mungkin yang pertama adalah rasa terpanggil untuk peduli, kalau sudah terpanggil untuk peduli, maka harus banyak belajar dari orang-orang yang kita anggap mempunyai pengalaman lebih, serta selalu mengikuti perkembangan di media massa. Tak kalah pentingnya jangan pernah tinggal diam, terus bergerak karena persoalan ini juga terus bergerak, baik dalam perekrutan maupun cara (modus) dan teknologi yang digunakan.
Redaksi:
Dalam melakukan advokasi kasus TKI Anda juga membangun jaringan, nah apa kira-kira peran penting berjejaring bagi Anda?
Andreas Soge:
Saya sangat merasakan manfaat dari berjejaring dan itu yang saya lakukan selama ini, pada kasus tertentu, ada pihak dalam sebuah jaringan yang saling meninggalkan ditengah jalan, ketika sebuah proses penanganan kasus sedang berjalan. Kalau saya justru sangat mengharapkan semua pihak menanggalkan ego kelompok ketika sebuah jejaring dibangun.
Redaksi:
Pada perbincangan kita, tampak jelas betapa carutmarutnya persoalan TKI kita. Lantas Mas Andreas sendiri memandang peran negara saat ini seperti apa? dan kira-kira apa yang pertama kali harus dimulai bagi negara ini jika memang serius untuk mengurai benang kusut persoalan TKI?
Andreas Soge:
Sebenarnya peran Negara sudah ada, tetapi belum maksimal, Negara masih menggunakan isu ini sekadar untuk mengeruk keuntungan. Oleh karena itu yang harus dilakukan Negara saat ini adalah membenahi mulai dari hulu sampai ke hilir tidak sekadar menjadi petugas pemadam kebakaran ketika persoalan muncul.
Redaksi:
Adakah hal lain yang ingin disampaikan pada pegiat buruh migran lainnya di Indonesia?
Andreas Soge:
Untuk teman pegiat BMI di daerah, sesuai pengalaman saya jangan segan membangun jejaring dengan semua elemen masyarakat yang peduli dengan Buruh migran, tanggalkan ego pribadi, kelompok atau organisasi sekalipun, karena itu tidak pernah mendatangkan keuntungan apapun untuk buruh migran yang kita dampingi.
Redaksi:
Boleh tahu berapa usia mas Andreas Soge saat ini?
Andreas Soge:
Saya sekarang 43 tahun, sudah tua sebenarnya jika harus selalu mobile untuk membantu menangani kasus seperti ini, tetapi saya masih menikmati.
Redaksi:
Baik, terima kasih telah berkenan berbincang dengan kami, semoga pengetahuan yang telah dibagi bisa bermanfaat bagi banyak pihak.
Andreas Soge:
Terima kasih juga telah mau berbincang dengan saya karena saya pikir apa yang saya lakukan biarlah itu menjadi bagian dari panggilan hidup.
Salut untuk Pak Andreas yang telah terjun ke dunia pendampingan TKI. Pengalaman Pak Andreas bisa dijadikan pelajan bagi kelompok atau perseorangan lain. Semangat Pak Andreas.