News

Konjen Tri Tharyat : Kontrak Mandiri Belum Bisa Dilakukan

Author

Sorry, this entry is only available in Indonesian.

Ilustrasi Migrasi TKI
Ilustrasi Migrasi TKI

Minggu (02/10/2016) diadakan dialog antara komunitas-komunitas buruh migran dengan pejabat KJRI dan BNP2TKI. Hadir dalam acara tersebut Hermono, Sestama BNP2TKI, Teguh, Deputi Kepala Perlindungan dan Tri Tharyat, Konjen baru KJRI, serta berbagai komunitas buruh migran di Hong Kong. Dalam pertemuan tersebut, Konjen baru sempat mangatakan bahwa kontrak mandiri akan diberlakukan.

“Pak Konjen waktu itu mengatakan bahwa kontrak mandiri akan diberlakukan, teman-teman Buruh Migran Indonesia (BMI) yang menghadiri acara itu pun bersorak penuh kegembiraan,” ujar Ratih anggota Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hong Kong yang hadir dalam acara.

Ucapan Tri Tharyat bahwa kontrak mandiri akan dilaksanakan hanyalah isapan jempol belaka, sampai saat ini kontrak tanpa melalui jasa PJTKI/PPTKIS dan agensi masih belum bisa dilakukan. Penulis juga sempat menanyakan kembali pada Tri Tharyat tentang kontrak mandiri lewat pesan WhatsApp. Konjen yang baru saja menjabat tersebut menjawab jika kontrak mandiri masih belum bisa dilakukan karena sampai saat ini masih dikonsultasikan dengan pihak Jakarta. Jawaban yang sama diperoleh dari Rafael Walangitan, Konsul KJRI Hong Kong, bahwa kontrak mandiri belum bisa diberlakukan.

Kontrak mandiri merupakan proses penempatan tanpa memakai jasa komersial PJTKI/PPTKIS di Indonesia atau pun agensi di negara penempatan. Menurut Abdul Rahim Sitorus, Koordinator Hukum Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM), penempatan BMI ke Singapura, Hong Kong dan sebagainya dengan kontrak mandiri tetap dipandang legal dan prosedural meski lewat proses calling visa. Kontrak mandiri atau proses tanpa pakai jasa PJTKI/PPTKIS merupakan hak asasi.

“Selama ini yang sering digembar gemborkan, jika memakai jasa komersial PJTKI/PPTKIS dan agensi asing pasti terlindungi dan sebaliknya kalau tanpa PJTKI atau agensi seolah justru celaka karena berisiko tidak ada yang melindungi BMI di luar negeri,” ujar Rahim Sitorus.

Kontrak mandiri sendiri dibutuhkan, salah satunya agar buruh migran tidak lagi terkena overcharging sebagai imbas langsung penempatan oleh PJTKI dan agensi. Eko, salah seorang BMI Hong Kong menyetujui kontrak mandiri jika hal tersebut berlaku, karena akan menghemat biaya penempatan buruh migran. Senada dengan Eko, BMI Hong lain bernama Judy menuturkan jika kontrak mandiri membuat BMI tidak lagi terikat pada agensi sehingga kemungkinan overcharging bisa diminimalisir.

“Kontrak mandiri juga bisa membuat BMI menjadi lebih cerdas karena tertantang untuk terus banyak belajar tentang hak dan hukum ketenagakerjaan. Selama ini banyak BMI yang tidak mengerti tentang hak dan juga tentang hukum ketenagakerjaan karena akses ke arah itu sudah lebih dulu diganjal oleh agensi,” ujar Judy.

Kondisi BMI yang tidak bisa melakukan kontrak mandiri di Hong Kong berbeda dengan kondisi buruh migran Filipina yang diberi kebebasan untuk kontrak mandiri tanpa lewat jasa perusahaan komersil dan agensi. Sedangkan BMI masih dipaksa untuk mengurus kontraknya melalui agensi dan PJTKI/PPTKIS dan tanpa diberi pilihan untuk memilih kontrak mandiri di Hong Kong.

Rahim Sitorus mengungkapkan jika Singapura dan Hong Kong sebenarnya sama-sama membolehkan kontrak mandiri, namun berbeda dengan Hong Kong. Imigrasi Hong Kong memiliki kesepakatan dengan KJRI Hong Kong bahwa setiap kontrak kerja yang dikeluarkan oleh Imigrasi Hong Kong harus ada legalisir KJRI.

“Inilah yang membuat KJRI Hong Kong punya kesempatan untuk membuat aturan harus memakai jasa agensi dan PPTKIS,” kata Rahim Sitorus.

Rahim menambahkan, pelarangan kontrak mandiri oleh KJRI Hong Kong sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. Ia mengimbau jika KJRI masih menolak, kawan-kawan BMI yang merasa dirugikan bisa menggugat KJRI Hong Kong karena tidak menjalankan kewajiban hukumnya.

“Kita justru bisa pertanyakan pada KJRI Hong Kong, apa dasar hukum yang dijadikan alasan KJRI Hong Kong untuk tidak memberikan layanan perpanjang kontrak tanpa memakai jasa agensi Hong Kong dan atau PPTKIS? Apa dasar hukum yang digunakan KJRI Hong Kong tidak memberlakukan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No.39 tahun 2004 junto Peraturan Menaker No. 40 tahun 2015? Apakah KJRI Hong Kong membuat aturan sendiri justru melanggar aturan hukum yang berlaku?”katanya (Nurhalimah)

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.