Isu buruh migran selalu menjadi fokus kampanye para aktor politik menjelang pagelaran perhelatan politik. Selepas itu buruh migran akan kembali menjadi cerita sunyi. Dilupakan, atau tidak diingat kembali. Berita yang terdengar hanya soal kekerasan. Selebihnya pembiaran yang dilakukan negara atas orang-orang yang disebut-sebut pahlawan devisa ini.
Istilah pahlawan devisa yang dilekatkan pada buruh migran sekilas memang terdengar menyenangkan. Kenyataannya berbeda: pahit dan ironis. Sumbangan keuntungan devisa yang diperoleh negara dari keringat buruh migran tidak membuat pengelola negara bergeming untuk lebih serius menangani persoalan buruh migran. Alih-alih menyelesaikan persoalan buruh migran di luar negeri, pemerintah sering kali lalai mengawasi Perusahaan jasa tenaga kerja indonesia (PJTKI). Sering pula negara tutup mata atas buruknya pelayanan PJTKI terhadap para TKI.
Arab Saudi dan Malaysia keduanya adalah negara yang menyumbangkan angka kekerasan terhadap buruh migran yang tertinggi. Pada tahun 2007 saja, menurut data migrant care, kedunya menyumbang masing-masing 39 dan 38 persen dari keseluruhan kekerasan terhadap Buruh migran. Terhadap kedua negara tersebut pula pemerintah Indonesia tidak kunjung dapat memberikan tekanan politik agar keamanan dan jaminan keselamatan buruh migran dapat lebih dijamin.
Di Malaysia, angka kesemena-menaan majikan yang menahan paspor buruh migran cukup tinggi. Penahanan paspor tersebut memberikan persoalan yang tidak sedikit bagi buruh migran. Pertama, tanpa paspor buruh migran akan berada sebagai pihak yang lemah secara hukum. Kedua, status yang lemah secara hukum berimplikasi pada kesewenang-wenangan lain para majikan terhadap buruh migran, seperti pembatasan akses keluar dan berhubungan dengan keluarga, ketidak pastian dalam pemberian gaji.
Pengelola negara tentu bukan tidak tahu dengan situasi tersebut, tetapi tidak mau tahu. Sikap menyederhanakan persoalan buruh migran tampak dari model penanganan kasus-kasus yang menimpa buruh migran. Negara baru akan memberikan penanganan yang (agak) serius ketika terdapat persoalan yang besar dan terangkat secara kuat di media-media umum. Selebihnya, tidak ada perhatian dan antisipasi yang diberikan.
Ketidakseriusan tersebut tercermin dari pengelolaan informasi ketenagakerjaan (termasuk buruh migran) yang disediakan oleh negara. Sebagai contoh, situs Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Pada situs yang beralamat http://www.bnp2tki.go.id (diakses pada 18 Juli 2010 pukul 23.00 WIB) tidak dapat menyajikan data yang membantu buruh migran. Website yang dikelola dengan uang negara tersebut, hanya berisikan kumpulan perundang-undangan. Beberapa data remitansi, penempatan, kepulangan dan kasus buruh migran bahkan hanya menyajikan data-data hingga tahun 2008. Data itu pun hanya berupa angka statistik yang tidak bisa dibaca oleh sembarang orang.Pertanyaannya, kemanakah data-data tahun 2009 dan 2010? Apakah yang dikerjakan oleh pengurus lembaga ini dalam kurun waktu tersebut?
Website lembaga penting dan dibiayai oleh negara tersebut, bahkan tidak dapat menyediakan informasi-informasi mendasar yang dibutuhkan oleh buruh migran. Informasi paling dinamis yang dimiliki oleh situs ini adalah berita yang kebanyakannya berisi informasi kegiatan formal institusi.
Ironisnya, di balik ketidaksiapan tersebut negara justeru berhasrat terus menempatkan tenaga kerja indonesia dengan jumlah yang besar. Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Makasar, contohnya, menargetkan akan menempatkan tak kurang 2500 buruh pada tahun 2010 (lihat http://www.bnp2tki.go.id/content/view/2722/231). Ironisnya lagi, BNP2TKI menargetkan penempatan buruh migran di malaysia sebesar 200.000 orang pada tahun 2010 (lihat http://www.bnp2tki.go.id/content/view/2168/31). Penempatan buruh migran di negara yang menyumbang kekerasan terbesar kepada buruh ini sangatah ironis, apalagidisertai dengan rendahnya mutu pelayanan dan pengawasan yang dimiliki oleh negara.
Perlakuan semena-mena negara atas nama besarnya devisa ini perlu dikritisi secara kuat. Buruh migran dan kekuatan masyarakat sipil harus berani bertindak untuk menyuarakan hak-hak pahlawan yang “dibungkam” tersebut. Negara seharusnya terlebih dahulu memperbaiki sistem penanganan sebelum memikirkan target pengiriman TKI yang terus membengkak dari tahun ke tahun (Irsyad).