“Pekerja migran Indonesia (PMI) sukses itu bukan hanya karena gajinya dibayar, tapi juga selamat karena dia tidak terpapar ideologi ekstrem yang mengancam bangsa dan dirinya sendiri. Kesehatan mental penting sebagai proteksi diri dan juga menciptakan ruang sosial untuk tidak melakukan kekerasan. Jadi selain bekerja, PMI juga punya tugas lainnya, yaitu saling belajar, membantu dan melindungi.”
(Irsyadul Ibad, Direktur Infest Yogyakarta)
Menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) sukses ternyata bukan hanya puas dengan gaji yang dibayarkan tepat waktu dan sesuai haknya. Lebih dari itu, PMI juga penting untuk lebih peka memerhatikan kesehatan mental dirinya, serta peka dalam berelasi dengan sesama PMI maupun orang yang baru dikenal melalui media manapun. Tanpa kesehatan mental yang baik, PMI bukan hanya tidak dapat bekerja dengan baik, tapi juga rentan terpengaruh ideologi yang dapat mengancam dirinya dan bangsanya.
Pada Minggu (31/6/2020), Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM) Institute for Education Development, Social and Religious Studies (Infest) Yogyakarta bersama Voice of Migrant (VoM) telah membahas tentang bagaimana PMI berdaya di negara penempatan, dalam webinar melalui aplikasi zoom dan live facebook. Dalam diskusi ini, kata kunci tentang “berdaya” bukan sekadar mapan secara finansial, namun bagaimana PMI mampu bersikap kritis memperjuangkan haknya dan sekian persoalan yang dihadapi selama bekerja di negara penempatan.
Menjadi PMI berdaya, selain perlunya sikap kritis, juga peduli kesehatan mentalnya. Pada Minggu (7/6/2020) Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM) Infest Yogyakarta bersama Voice of Migrant (VoM) Hong Kong kembali menggelar diskusi publik khusus membahas isu kesehatan mental PMI. Diskusi publik ini merupakan rangakain dari webinar ”Menjadi PMI Berdaya di Negara Penempatan Hong Kong”.
Diskusi publik yang dimoderatori oleh Husna Kusnaini dari VoM, ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Muhammad Irsyadul Ibad, Direktur Infest Yogyakarta, yang membahas secara khusus tentang “Penguatan Mental Kepribadian PMI”, lalu Brigjen Pol Hamli Tahir, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang membahas tentang “Pengetahuan tentang Ekstremisme Kekerasan di Kalangan PMI”.
Saatnya PMI Peka Isu Terorisme
Isu terorisme merupakan salah satu pengetahuan penting yang perlu diketahui dan dipahami oleh pekerja migran Indonesia (PMI). Bekal pengetahuan ini penting dimiliki PMI bukan hanya saat bekerja di luar negeri, namun dimulai sejak masa orientasi pra pemberangkatan (OPP) sampai PMI kembali ke kampung halaman dengan selamat.
Pengetahuan tentang terorisme juga bukan hanya sekadar apa itu terorisme, namun bagaimana memahami benih-benih terorisme itu muncul dalam diri seseorang, baik dalam diri PMI itu sendiri maupun orang-orang yang berada di sekitarnya. Menurut Hamli Tahir (Hamli), Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), salah satu tantangan dan ancaman PMI saat ini adalah munculnya pemahaman esktrem di kalangan PMI. Supaya PMI tidak terpapar, maka perlu pengetahuan dan berbagi informasi apa itu ekstremisme dan radikalisme.
“Kenapa kita harus peduli isu ekstremisme dan radikalisme, apalagi di masa pandemi covid-19 ini? karena individu maupun kelompok yang sudah terpapar dengan ideologi ini, mereka akan mengajak orang-orang tertentu dan akan melakukan tindakan kekerasan. Bagi PMI, bukan hanya gagal menjadi PMI sukses, namun juga jiwanya belum tentu selamat, dan tentunya akan merusak nama baik keluarga dan negaranya,” papar Hamli.
Hamli juga menjelaskan bahwa untuk mendeteksi orang-orang yang terindikasi ideologi ekstrem ini biasanya menganggap orang lain yang berbeda pandangan dengannya sebagai ancaman. Misalnya, yang paling sering muncul adalah bagaimana mereka memandang negara Indonesia sebagai negara kafir. Jika ada ungkapan itu, maka itu adalah pintu masuk pada pehamanan ekstremisme dan radikalisme. Proses seseorang melakukan tindakan kekerasan ekstrem seperti teror, tidak terjadi secara instan, ada tahapannya, yaitu mulai dari pemahaman dan sikap intoleran dan radikal. Misalnya anti terhadap pancasila dan sering mengkafirkan orang lain yang berbeda pandangan.
“Kebinekaan Indonesia itu sebuah keniscayaan, karena negara kita terdiri dari beragam suku, agama dan budaya. Ini harus dijadikan dasar. Maka ketika ada orang atau kelompok yang menolah kebhinekaan, maka itu sudah dimasuki benih-benih radikalisme, jika ini pemahaman ini terus dibiarkan dan dipupuk, maka bisa sampai pada tahap terorisme,” jelas Hamli.
PMI saat ini harus mulai peka dan mampu menangkal dirinya dari paham maupun ideologi yang akan menggagalkan tujuannya dalam bekerja sebagai PMI. PMI harus mulai mengedukasi dirinya untuk kritis mempertanyakan banyak hal, termasuk kegemaran PMI untuk menyumbangkan uangnya, kebutuhan untuk mencari guru agama di negara penempatan, kebutuhan informasi yang dapat diakses melalui pertemuang langsung maupun media manapun.
Lindungi Diri PMI dengan Peduli Kesehatan Mental
Isu kesehatan mental bukanlah sesuatu yang baru jika dihubungkan dengan pekerja migran Indonesia (PMI). Sejumlah kasus PMI yang mengalami gangguan mental sudah cukup banyak. Sayangnya, masih banyak PMI yang belum memahami betapa pentingnya peduli pada kesehatan mentalnya. Inilah mengapa penting PMI mulai peduli kesehatan mentalnya, bahkan penguatan mental dan kepribadian PMI sudah dikenalkan sejak masih di dalam negeri dalam proses orientasi pra pemberangkatan (OPP) calon PMI.
Menurut Irsyadul Ibad (Ibad), Direktur Infest Yogyakarta, ada beberapa hal yang perlu disiapkan calon PMI sebelum memutuskan untuk bekerja ke luar negeri. Proses ini sudah disiapkan sejak PMI terpisah dari keluarganya untuk mengikuti masa karantina, hingga tiba di negara penempatan dan bertemu dengan keluarga baru dengan kebiasaan yang berbeda.
“Tidak merasa nyaman berada di lingkungan baru itu wajar, sudah menjadi fitrah manusia. Apalagi berada dalam situasi dan budaya yang berbeda. Sehingga kebutuhan penyesuaian diri itu sangat perlu, misalnya dari sisi bahasa karena belum tentu setiap PMI mampu secara cepat menyesuaikan diri dengan bahasa di negara penempatan. Namun, kegagalan dalam beradaptasi dengan situasi kerja dan budaya baru juga dapat menjadi persoalan,” papar Ibad.
Ibad juga menegaskan bahwa kegagalan beradaptasi juga banyak dirasakan PMI, bahkan membuat PMI rentan terjebak pada kelompok-kelompok ekstrem. Contohnya seperti kisah Dian Yulia Novi, salah satu PMI yang divonis melakukan bom bunuh diri. Proses perubahannya yang ekstrem tidaklah instan. Perubahan ini dapat dilihat dari profilnya sejak dia berangkat dengan penampilan pada umumnya, hingga mengubah penampilannya dengan pakaian tertutup, dan belakangan dia terhubung dengan gerakan teroris. Artinya, jika dilihat dari perjalanan hidupnya, bukanlah perjalanan yang yang singkat, ada proses panjang sampai dia terjebak pada situasi tersebut.
Menurut Ibad, PMI perlu menyadari bahwa penyesuaian dan pengkondisian mental adalah kebutuhan dasar yang diupayakan selama proses peralihan ke lingkungan kerja dan budaya baru. Beberapa di antaranya adalah bagaimana PMI membangun persepsi positif tentang pekerjaan mereka sebagai PMI; PMI juga penting berlatih menerima perbedaan; mengontrol terhadap emosi yang berlebihan; mengelola stres dan kecemasan; serta mencari sistem pendukung.
Dalam pemaparannya, Ibad juga menegaskan bahwa kesehatan mental PMI adalah kunci dari banyak hal, contohnya kesuksesan dalam bekerja. Jangan sampai sekian persoalan yang memengaruhi mental PMI menjadi celah bagi kelompok ekstrem memanfaatkan PMI. Dalam hal ini, sesama PMI juga memiliki tugas penting untuk saling belajar, saling membantu dan melindungi.
Ilustrasi: freepik
terkadang ads salah satu teman yg hanya tidak terpenuhi alias krg tp untuk mengadu merasa enggan dan takut krn tidak mau urusannya jadi ribet