Meskipun telah terbiasa mengorbankan diri, kehidupan pekerja migran Indonesia (PMI) tidak banyak berubah. Selain harus bisa menjaga diri dari kekerasan domestik dari majikan mereka, mereka pun rentan mengalami kekerasan bahkan dari sesama PMI laki-laki dari Indonesia yang kebanyakan bekerja sebagai buruh pabrik.
Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk merenungi film berjudul “Help Is On The Way” ini. Film ini diawali dengan interview beberapa calon pekerja migran Indonesia (PMI) yang hendak mengikuti pelatihan untuk bisa bekerja di Taiwan. Baru interview pelatihan saja sudah ada yang menangis. Namanya Sukma, katanya dia teringat dengan pengalamannya bekerja di Malaysia. Majikannya tidak mengizinkan dia menghubungi keluarganya sama sekali selama 2 tahun.
Saya pun bertanya-tanya, sudah ada pengalaman buruk, kenapa masih mau mencoba lagi? Sudah jadi rahasia umum bahwa PMI diperlakukan dengan tidak manusiawi saat bekerja di luar negeri. Bukan sekali dua kali kita dengar kasus PMI dituduh melakukan tindak kriminal oleh majikannya dan akhirnya harus menjalani hukuman di negeri orang.
Cita-cita awal mengumpulkan uang lebih banyak untuk modal usaha, untuk memberi penghidupan yang lebih baik bagi keluarga di kampung halaman, membutakan mereka pada resiko-resiko mengerikan tersebut. Mungkin bukan mereka yang dibutakan tetapi juga keluarga mereka.
Ambillah kisah Meri, perempuan muda berusia 21 tahun ini, harus pasrah pada harapan orang tuanya yang ditumpukan padanya untuk bisa memperbaiki kehidupan keluarganya. Meri harus bertahan selama lebih dari 6 bulan di wisma pelatihan sampai ada majikan yang mau menerimanya. Perawakannya yang kurus dan kemampuan bahasa Mandarinnya yang lemah membuat dia sulit mendapatkan pekerjaan.
Mundur Bukanlah Pilihan
Bagi Meri, dan calon PMI lainnya, mundur dari wisma pelatihan bukanlah pilihan. Yayasan pelatihan telah membuat perjanjian, bila calon PMI mengundurkan diri, maka mereka harus membayar Kembali semua biaya yang telah dikeluarkan Yayasan selama melatih mereka. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 17 juta Rupiah. Bila mereka sudah diterima kerja pun, mereka tetap harus membayar biaya ini, ditambah bunganya, akan dipotong setiap bulan sedikit demi sedikit dari gaji mereka.
Bagi calon PMI yang tidak bermodal seperti Meri, yang ayah ibunya adalah pengangguran, semuanya bagaikan buah simalakama. Mau maju, tidak ada majikan yang mau menerima. Mau mundur, tidak mungkin, siapa yang harus membayar biaya pelatihan? Bagaimana menghadapi orang tua yang terus gelisah butuh dibiayai kehidupannya?
Kenyataannya, bukan hanya orang tua yang menjadi beban bagi para PMI ini. Dengan bekerja di luar negeri, keluarga di rumah menilai mereka adalah tambang emas, kalau bukan ATM berjalan. Mudji, seorang janda yang telah beberapa tahun bekerja di Taiwan, sering masih harus mengirim uang ke mantan suaminya, untuk dihabiskan bersama istri barunya. Bagaimana pun majikannya melarang dia mengirim uang tersebut, Mudji tetap saja melakukannya.
Kenikmatan Hidup di Luar Negeri Bukanlah Surga
Sebenarnya kehidupan yang lebih baik di luar negeri sebagai PMI bukanlah asumsi yang salah. Tari sudah membuktikannya. Tari yang juga adalah janda, bekerja di sebuah rumah jompo di Taiwan. Tari sangat menyukai pekerjaannya, tampak dia begitu cekatan melayani kebutuhan para lansia di tempat dia bekerja. Tari menilai pekerjaannya lebih menyenangkan ketimbang menjadi pekerja rumah tangga (PRT) migran, karena ada jam kerja yang jelas dan ada libur yang cukup banyak. Tidak seperti teman-teman yang menjadi PRT yang harus bekerja hampir 24 jam hampir tanpa libur, bahkan ketika sakit tetap harus bekerja.
Tari memanfaatkan waktu luangnya untuk berkuliah lagi, mengambil jurusan komunikasi. Saat ini dia sudah semester 5. Dia benar-benar yakin bisa memperbaiki kehidupannya dengan dia bekerja di Taiwan. Tetapi bahkan dengan kenikmatan hidup di luar negeri seperti Tari, bukan berarti surga. Seperti perempuan di mana pun berada dengan profesi apapun, yang adalah kelompok rentan, demikian juga para PMI. Selain harus bisa menjaga diri dari kekerasan domestik dari majikan mereka, mereka pun rentan mengalami kekerasan bahkan dari sesama PMI laki-laki dari Indonesia yang kebanyakan bekerja sebagai buruh pabrik. Dari sebelum berangkat, yayasan sudah mewanti-wanti agar jangan sampai mereka hamil dan membawa masalah bagi keluarga di rumah. Setiba di sana, sesama PMI saling mengingatkan agar jangan bermain api dengan PMI buruh pabrik agar jangan sampai ditipu dan diperas habis uangnya.
Membanggakan Pekerja Migran, tapi Tak Mampu Melindungi
Harus bertahan berapa lama di negeri orang untuk bisa mencapai cita-cita mereka. Bila mereka terlalu lama ada di luar negeri, Kembali ke Indonesia, bisa jadi sudah disambut dengan label perawan tua karena terlambat menikah atau janda karena sudah ditinggal suami yang tidak tahan berjauhan dengan istri.
Perempuan pekerja migran, seperti semua perempuan lain di dunia, harus menelan mimpi yang mustahil. Memberi kebahagiaan pada keluarga di kampung halaman atau membahagiakan diri sendiri. Harus ada yang dipilih, harus ada yang dikorbankan. Sayangnya, meskipun sudah terbiasa lebih memilih membahagiakan keluarga dan mengorbankan diri sendiri, nyatanya tidak banyak yang berubah dari kehidupan keluarga mereka juga.
Beban ganda yang diemban oleh para PMI sebenarnya terlalu berat ditanggung sendirian. Tetapi siapa yang mau membantu mereka? Kebanyakan dari kita justru memerah mereka sampai ke sumsum. Lihat bagaimana pegawai bea cukai meminta uang cukai atas oleh-oleh yang mereka bawa untuk anak-anak mereka. Lihat bagaimana kita mengelu-elukan mereka sebagai pahlawan devisa tetapi tidak melindungi mereka saat mereka kesusahan di negeri orang.
Help is on the way. Bantuan sedang dalam perjalanan. Siapakah bantuan itu? Kitakah? Atau mereka?