Pada tahun 2018, diperkirakan ada sebanyak 175 ribu Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Hong Kong. Jumlah tersebut adalah yang kedua terbanyak setelah 211 ribu pekerja asal Filipina. Penempatan PMI ke Hong Kong terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejak 2012 pasca ditutupnya penempatan PMI ke negara-negara Timur Tengah. Peningkatan signifikan terjadi pada tahun 2015 ke 2016 atau lebih dari empat kali lipat, yang awalnya sekitar 14 ribuan menjadi 69 ribuan secara berturut-turut untuk penempatan PMI ke Hong Kong (1). Besarnya antusiasme PMI menjatuhkan pilihan ke Hong Kong sebagai negara tujuan penempatan dilatarbelakangi oleh perbedaan upah yang mencolok antara Indonesia dan Hong Kong, dan membaiknya mekanisme pelindungan atau pengakuan atas pekerja migran, khususnya pada sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT), di wilayah administratif khusus di bawah pemerintahan Tiongkok tersebut. Dari sisi gender, sebagian besar sektor PRT ini diisi oleh perempuan. Dengan demikian, hal itu dapat dikatakan bahwa mayoritas PMI di Hong Kong adalah perempuan.
PMI tidak luput dari sejumlah permasalahan, baik pidana, perdata maupun ancaman keselamatan atas eksistensinya selama bekerja di Hong Kong. Berdasarkan ulasan Kelompok Kerja Voice of Migrants (POKJA VOM), sebuah jejaring yang terdiri dari beberapa organisasi yakni Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama, Komunitas Peduli Kasih, Pecinta Nabi Muhammad, Union of United Migrant Domestic Workers in Hong Kong, Republik Ngapak, Timbul Sehati, Madani Inspiring Community; telah menyoroti isu-isu terkini yang dialami oleh PMI. Tulisan ini bertujuan yang pertama untuk menguraikan setiap permasalahan dan penyebabnya yang dialami oleh PMI Hong Kong. Kedua bertujuan untuk menyuarakan kunci pelindungan bagi PMI Hong Kong sebagai benteng atas keselamatan diri selama di perantauan.
Permasalahan Ketenagakerjaan hingga Perdagangan Orang
Dilansir data dari International Organization for Migration (IOM) Hong Kong SAR, Cina, sebanyak 39 korban perdagangan orang (37 perempuan dan 2 laki-laki) berasal dari Indonesia sejak Agustus 2017 hingga Desember 2019. Jumlah tersebut adalah yang paling banyak ketimbang korban dari negara lain dengan jumlah ke semuanya 84 korban dari seluruh negara. IOM menyebutkan bahwa sebagian besar korban mengalami proses perekrutan yang tidak etis dari perekrut lapangan (PL) atau agensi perekrutan di Indonesia yang berakibat pada eksploitasi tenaga kerja di Hong Kong. Praktik yang sering kali terjadi adalah melalui cara hutang piutang untuk biaya penempatan yang membebankan PMI untuk menanggung pengembalian biaya atau jeratan hutang secara berlipat-lipat melalui cara pemotongan gaji di atas dari ketetapan pemerintah untuk biaya penempatan PMI Hong Kong. Bahkan, pemotongan oleh agensi perekrutan dilakukan mulai dari 4 – 6 bulan gaji dengan jumlah potongan mencapai 90% dari gaji yang diterima oleh PMI Hong Kong sebesar HKD4,630 (± Rp8,1 juta rupiah) tiap bulannya. Dengan demikian, praktik ini bertujuan agar PMI tidak mendapatkan hasil kerja (eksploitasi tenaga kerja) karena dihisap oleh agensi perekrutan yang legal maupun ilegal.
Dampak dari perekrutan tidak etis terhadap PMI, jika dirinci lagi dalam konteks ketenagakerjaan, hal tersebut merupakan unsur proses dan cara dalam tindakan perdagangan orang, PMI mengalami pelanggaran hak kontraktual. Pelanggaran yang dimaksud adalah PMI tidak pernah diberikan dokumen yang dapat membentuk hukum antar pihak, yakni perjanjian penempatan (perjanjian antara PMI dengan agensi) dan perjanjian kerja (perjanjian antara PMI dengan majikan). Selain itu, ketentuan pembiayaan yang tertuang di dalam perjanjian penempatan tidak pernah direvisi oleh pemerintah. Akibatnya, hampir semua PMI Hong Kong sebenarnya mengalami pembebanan biaya penempatan berlebih (overcharging). Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 98 Tahun 2012 tentang Komponen dan Besarnya Biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Sektor Domestik Negara Tujuan Hong Kong SAR, China, menetapkan biaya Rp14.780.400 ditanggung oleh PMI. Merujuk dasar hukum itu, POKJA VOM dari 2015-2019 telah mendampingi dan menuntut sebanyak 122 kasus PMI untuk pengembalian kelebihan biaya penempatan dari agensi penempatan yang ditanggungkan kepada PMI. Sebagian besar korban menderita pembebanan biaya dengan rentang nilai sebesar 23 – 35 juta rupiah atau rata-rata dua kali lipat dari biaya penempatan yang ditentukan oleh pemerintah.
Permasalahan Kesehatan
Ancaman kesehatan yang menghantui PMI Hong Kong saat ini adalah mewabahnya virus Corona dari Tiongkok. Diketahui sebagian majikan PMI merupakan warga keturunan Tiongkok yang sering melakukan perjalanan pulang pergi dari dan ke Hong Kong atau sebaliknya. Sejak teridentifikasi kemunculannya pada Desember tahun lalu, virus Corona menyebar begitu cepat melalui udara sebagai media penularannya. Padahal udara merupakan syarat dalam sistem respirasi manusia. Data terakhir menunjukkan bahwa 26 kasus dilaporkan pemerintah Hong Kong, otoritas setempat juga menerapkan karantina dua minggu bagi warga yang baru tiba dari Tiongkok (2). Kondisi ini memicu kekhawatiran PMI yang bekerja di Hong Kong. Bahkan, potensi perampasan hak juga berkelindan terjadi, misalnya, PMI dilarang keluar rumah untuk menikmati cuti mingguan sebagai antisipasi penyebaran virus, jika di rumah majikan ketika hari libur, maka PMI akan terus bekerja; terbatasnya ruang privasi; pemutusan hubungan kerja secara sepihak karena majikan pindah negara; dan pekerja migran yang pulang berisiko mengalami pemutusan hubungan kerja karena susah kembali ke Hong Kong (3).
Seiring dengan kebebasan dan terbukanya masyarakat Hong Kong, beberapa PMI terpengaruh perilaku hidup hedon yang menyebabkan mereka terjerumus pada masalah-masalah kesehatan reproduksi dan mental. Menurut data dari komunitas Peduli Kasih, bagian dari POKJA VOM, sebanyak empat (4) PMI terinfeksi HIV/AIDS. Jumlah ini yang berhasil teridentifikasi ketika PMI melaporkannya melalui tes konseling sukarela atau Voluntary Counseling Testing (VCT). Jumlah ini diibaratkan seperti gunung es karena banyak PMI yang enggan mengikuti VCT pasca melakukan perbuatan berisiko, seperti penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik dan hubungan seksual tanpa kondom. Selain masalah kesehatan reproduksi, stres di dunia kerja memicu gejala-gejala ketidakwarasan mental yang mengarah pada tindakan bunuh diri. Catatan POKJA VOM menunjukkan selama ini telah terjadi 9 kasus PMI bunuh diri di Hong Kong.
Berkaitan dengan hal di atas, PMI memang jauh dari pasangannya karena negara tujuan masih merampas hak reunifikasi PMI dan anggota keluarganya. Situasi ini memungkinkan PMI menyalurkan hasrat seksualnya dengan pasangan yang bukan sahnya. Dengan demikian, hasil daripada itu, PMI melahirkan anak yang tidak diharapkan dengan status tanpa dokumen. Mengingat Indonesia menganut asas ius sanguinis atau hak kewarganegaraan berdasarkan garis keturunan ibu yang merupakan warga negara Indonesia, status anak tanpa dokumen ini sudah semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Sementara itu, yang tidak kalah penting dengan kesehatan fisik, permasalahan kesehatan psikis terjadi akibat perbedaan adat, hukum, dan kebiasaan antara Indonesia dan Hong Kong, PMI kerap kali mengalami gegar budaya dan eksklusi sosial. Kondisi ini berakibat pada rentannya posisi PMI yang selanjutnya mengalami stres di dunia kerja. Ketika simptom stres terjadi, kelompok ekstremisme kekerasan secara bersamaan, menyebarkan propagandanya melalui internet. Dengan kebebasan akses teknologi informasi di Hong Kong, sebaran propaganda kelompok ekstremisme kekerasan sangat mudah ditemukan, baik melalui media online, seperti media sosial dan website.
Propaganda juga dibawa dan disampaikan secara langsung di Hong Kong oleh ahli-ahli propaganda kelompok ekstremisme kekerasan yang mengarahkan ke fundamentalisme. Kelompok fundamentalisme ini dapat dikatakan sebagai pintu masuk ke arah sikap dan tindakan ekstremisme kekerasan. Mengingat konteks ekstremisme kekerasan yang terjadi di Indonesia berbasis pada agama, yakni Islam, kelompok ekstremisme kekerasan menawarkan konsep khilafah sebagai landasan ideologi fundamentalis yang bertujuan mengubah tatanan politik masyarakat demokratis yang mapan ke arah dominasi identitas dengan basis keagamaan dengan cara-cara di luar kewajaran.
Individu yang terpengaruh oleh kelompok ekstremisme kekerasan akan dengan mudah 1) bertindak eksklusif dari keumuman masyarakat, 2) menyalahkan seseorang yang dianggapnya tidak seakidah atau berbeda pendapat terhadap urusan-urusan agama dengan cara mengkafir-kafirkannya (takfiri) atas perbedaan pendapat keagamaan, 3) menganggap pemerintahan demokratis Indonesia sebagai thaghut (setan) karena tidak menganut sistem hukum islam, 4) membujuk para pengikut kelompok ekstremisme kekerasan untuk melakukan amaliah melalui jihad qital (perang dengan angkat senjata) atau memerangi pemerintahan demokratis untuk diubah menjadi sistem khilafah sebagai ritual jalan tol menuju surga dengan cara di luar kewajaran, yakni dengan nyawa taruhannya. Pada situasi ini, kelompok ekstremisme melakukan berbagai cara untuk dapat menyasar PMI. Salah satu yang paling anyar adalah memanfaatkan penghasilan PMI selama bekerja di Hong Kong sebagai upaya menggalang dana untuk membiayai amaliah-amaliah yang direncanakan untuk meneror keselamatan warga yang menurutnya tidak seakidah dan mewujudkan kekhalifahan atau sistem negara Islam di Indonesia.
Apa yang bisa kita lakukan?
Sebagai wujud kerangka pelindungan (4) PMI yang lebih komprehensif, prasyarat yang bisa dilakukan yakni dengan meletakkan diri sendiri sebagai subjek utama dalam pelindungan. Kepekaan tersebut mengarahkan PMI untuk bisa segera terselamatkan dari mekanisme yang ada atas risiko-risiko migrasi di negara tujuan. Oleh sebab itu, beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk pelindungan adalah sebagai berikut.
Pertama memfokuskan tujuan mulia selama bermigrasi di luar negeri secara terinci dan terpatuhi. Jika memang tujuan bermigrasi ke Hong Kong atas dasar temporer, maka individu harus memasang target setiap tahunnya, memimpikan pasca migrasi, dan mengagendakan durasi di luar negeri atau masa migrasi. Contohnya adalah tahun pertama untuk membayar hutang, tahun kedua dan ketiga untuk membangun rumah, tahun keempat untuk pengumpulan modal dan seterusnya. Individu juga seharusnya memasang target durasi migrasi dan tak lupa untuk mematuhi perencanaannya sendiri. Perencanaan tersebut mesti dirinci dengan setiap pemasukan dan pembatasan pengeluaran keuangan PMI, termasuk pembatasan uang kiriman bagi keluarga. Jika terdapat agenda yang kurang bermanfaat dan berisiko merugikan dari sisi keuangan dan fokus tujuan, maka aktivitas tersebut perlu kiranya untuk dihindari.
Kedua adalah berperilaku hidup sehat dan bersih selama di perantauan, baik sehat fisik maupun psikis. Penerapan hidup sehat secara fisik dapat dilakukan dengan cara memastikan bahwa selalu menjaga kebersihan; mencuci tangan dengan sabun; menjaga jarak dalam interaksi dengan seseorang; hindari kontak langsung dengan menyentuh mata, mulut, hidung dan organ lainnya yang dapat berpotensi masuknya molekul asing ke dalam tubuh; menggunakan masker untuk aktivitas di luar ruangan; berolahraga secara teratur; mengonsumsi buah dan sayur-sayuran untuk meningkatkan antibodi tubuh; serta segera mendatangi pusat kesehatan untuk pemeriksaan lebih lanjut ketika mengalami gejala demam, batuk, kesulitan pernapasan yang sulit disembuhkan dengan obat biasa (5).
Demikian juga dengan perilaku hidup sehat secara psikis salah satunya bisa dilakukan dengan cara menjalin komunikasi intensif dengan keluarga di rumah sebagai strategi penanggulangan pribadi dalam menghadapi stres di dunia kerja. Komunikasi diarahkan pada perkara pokok yang dapat memfokuskan tujuan akhir migrasi. Perkara pokok yang dimaksud menekankan komitmen terhadap pasangan, bersikap terbuka untuk menepis kecurigaan antar pihak, pemantauan bersama sebagai upaya untuk menanamkan nilai-nilai keluarga, menjalin kedekatan melalui komunikasi reguler, saling mengingatkan untuk menghindari sikap berlebihan, dan mengomunikasikan dengan keluarga ketika terjadi perubahan atas perencanaan. Komunikasi intensif dapat dipergunakan sebagai salah satu cara dalam mengatasi gangguan mental selama PMI berada di luar negeri dan jauh dengan keluarga.
Ketiga yakni berorganisasi untuk tujuan kolektif demi keuntungan bersama sebagai PMI. Ruang ini juga berkontribusi untuk peningkatan kesadaran PMI sebagai upaya pengurangan risiko kegagalan tujuan selama migrasi. Melalui diskusi dan kaderisasi, misalnya, hal ini dapat meningkatkan keselamatan PMI atas risiko stres di dunia kerja. Oleh sebab itu, melalui komunikasi intensif dengan keluarga dan berorganisasi merupakan cara yang dapat dipergunakan untuk mengatasi gangguan mental. Sebagaimana dilansir oleh News Scientist bahwa penyakit apapun akan sulit menginfeksi tubuh manusia ketika tubuh manusia fit dan sehat, baik sehat fisik maupun psikis (6). Di Hong Kong, banyak sekali komunitas yang berkreasi untuk tujuan tersebut, misalnya pelatihan melek keuangan, konseling, berkontribusi untuk membantu permasalahan PMI lainnya, diseminasi informasi online dan offline, pencegahan ekstremisme kekerasan, pembuatan rujukan keagamaan yang lebih moderat dengan menghargai keberagaman. Sebagai bangsa Indonesia, maka kita seharusnya tidak lupa bahwa bangsa ini dibangun di atas identitas keberagaman suku, etnis, agama, ras dan antar golongan, bukan atas dasar identitas tunggal: agama.
Untuk mewujudkan kesadaran PMI yang terorganisir, maka nilai-nilai dalam berorganisasi ditempuh dengan cara-cara melalui seruan dan penerapan inklusivitas, partisipasi dan menjunjung tinggi kesetaraan dalam berorganisasi serta bekerja sama secara terbuka dengan para pihak yang dapat berkontribusi untuk pelindungan PMI. Dalam mewujudkan hal itu, sebagai langkah keempat, PMI sebagai pemangku hak tidak bisa lepas dari penerima mandat dalam menunaikan tanggung jawabnya. Oleh sebab itu, pelindungan PMI wajib dihadiri oleh pemerintah karena pelindungan bagi PMI tidak dapat dilakukan satu entitas saja, baik oleh pemerintah ataupun masyarakat secara terpisah. Dengan demikian, pelindungan PMI sudah semestinya dilaksanakan secara bersama-sama oleh pelbagai pihak dengan cara partisipatif, inklusif, penuh penghargaan dan penghormatan atas hak, serta anti diskriminasi tanpa memandang statusnya sebagai perempuan ataupun pekerja migran Indonesia.
*Tulisan ini disarikan dari diskusi dengan POKJA VOM, baik secara offline maupun online.
Footnote:
1 Pusat penelitian dan informasi, 2018, BP2MI
2 BBC News, 2020, Coronavirus: Hong Kong imposes quarantine rules on mainland Chinese, https://www.bbc.com/news/world-asia-china-51419015
3 Elizabeth Beatie, 2020, Hong Kong Domestic Workers Fight Day Infection Fears. https://www.aljazeera.com/news/2020/02/hong-kong-domestic-workers-fight-day-infection-fears-200210012724831.html
4 Menurut KBBI makna kata pelindungan adalah proses, cara dan perbuatan untuk melindungi. Sedangkan kata perlindungan hanya merujuk pada tempat untuk berlindung. Dengan demikian, terminologi yang sesuai dengan konteks di atas adalah dengan menggunakan kata pelindungan.
5 WHO, 2019, Basic protective measures against the new coronavirus, https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/advice-for-public
6 Michael le page, 2020, New coronavirus: How soon will a treatment be ready and will it work?, https://www.newscientist.com/article/2232026-new-coronavirus-how-soon-will-a-treatment-be-ready-and-will-it-work/#ixzz6DQVk5SIl
Betul se X BMI di hongkong butuh perhatian dr pemerintah sbb mash banyak bmi yg tdk mendapat hak nya…
saya mantan bmi di hk slm 14 thn…melihat dgn mata kepala sendiri ad teman yg majikanya sangt mersmpas haknya sbg bmi..jam kerj yg over waktu istirahat yg sangt kurang dan jg hak cuti yg gsk dikasih ..blm jg gaji yg di tunda” .