Oleh Marzuki Wahid*
Masih hangat dalam ingatan kita peristiwa keji pengeboman Surabaya pada 13-14 Mei 2018 yang lalu. Peristiwa tidak manusiawi ini adalah rangkaian ledakan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan, kompleks Rumah Susun Wonocolo Sidoarjo, dan Markas Polrestabes Surabaya.
Di luar dugaan banyak orang, pelaku dari rentetan serangan bom ini adalah satu keluarga yang beranggotakan enam orang, yakni suami (48), istrinya (43) dan empat orang anaknya berusia 18, 16, 12, dan 9 tahun. Kapolri Tito Karnavian menyebut bahwa keluarga ini baru saja datang dari Suriah dan merupakan simpatisan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) dan merupakan jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
Sesuatu yang mencabik-cabik hati kita, selain membunuh diri sendiri, membunuh orang lain, menciderai banyak orang, merusak tempat ibadah dan sarana umum, juga perbuatan tidak berperikemanusiaan ini dilakukan atas nama agama. Timbul tanya banyak orang, benarkah agama menyetujui tindakan biadab ini? Benarkah agama mengajarkan kekerasan? Benarkah agama membolehkan bunuh diri dan membunuh orang lain atas nama jihad?
Islam: Agama Damai
Sebelum menjawab serentetan pertanyaan di atas dalam pandangan Islam, baiklah kita bedah terlebih dahulu akar kata Islam. Kata “Islam” berasal dari bahasa Arab aslama-yuslimu-islāman. Dalam kamus Lisān al-‘Arab dijelaskan bahwa Islām mempunyai arti semantik: tunduk dan patuh (khadha‘a-khudhū‘ wa istaslama-istislām), berserah diri, menyerahkan, memasrahkan (sallama-taslīm), mengikuti (atba‘a-itbā‘), menunaikan, menyampaikan (addā-ta’diyyah), masuk dalam kedamaian, keselamatan, atau kemurnian (dakhala fi as-salm aw as-silm aw as-salām).
Kata triliteral semitik ‘s-l-m’ menurunkan beberapa istilah terpenting dalam pemahaman keislaman, yaitu “Islam” dan “Muslim”. Semuanya berakar dari kata “salam” yang berarti kedamaian. Dengan demikian, siapa pun yang memeluk Islam, dia akan selamat dan damai, baik untuk dirinya maupun menyelamatkan serta menebarkan kedamaian untuk pihak lain. Nabi Muhammad SAW dalam khutbah haji perpisahan bersabda, “al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi” (seorang muslim adalah di mana orang lain selamat dari lisan dan kekuasaannya).
Dalam banyak ayat al-Qur’an dan al-Hadits juga ditegaskan tentang misi ajaran Islam yang membawa ajaran kedamaian (as-salam), keselamatan (as-salamah), kasih sayang (ar-rahmah), dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia (mashalih al-‘ibad). Hal ini dinyatakan Allah SWT, “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin” (dan tidak Kami utus Engkau [Muhammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta).
Muslim yang baik adalah orang yang damai dalam dirinya dan selalu menebarkan kedamaian untuk orang lain agar terwujud kehidupan yang adil, maslahat, tentram, dan penuh dengan kebahagiaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa kekerasan, bom bunuh diri, pemboman, kebencian, dan permusuhan bukan bagian dari ajaran Islam. Meskipun mereka mengatasnamakan Islam, menggunakan dalil teks Al-Qur’an dan al-Hadits, jelas bukan ajaran Islam. Mereka sesungguhnya sedang memperalat Islam untuk memuaskan nafsu keserakahan dan kebencian kepada pihak lain.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sayangilah siapa saja yang ada di bumi, senantiasa Allah akan menyayangimu. Siapa yang mencintai, tentu akan dicintai. Janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling membelakangi, dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzaliminya, menelantarkannya, mendustainya, dan menghinakannya. Takwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali). Seseorang telah dapat dikatakan berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram darahnya bagi muslim yang lain, demikian juga harta dan kehormatannya” (HR Muslim).
Kekerasan: Melawan Agama dan Kemanusiaan
Dasar fundamental Islam ini harus mampu menjadi acuan dan kerangka pandang kita dalam melihat sejumlah peristiwa yang bertentangan dengan kemanusiaan dan akal sehat. Kita harus berani menyatakan bahwa apabila terjadi tindak kekerasan (al-‘unf), kezaliman (adh-dhulm), bom bunuh diri, pemboman (al-irhab), pengrusakan (al-fasad), ujaran kebencian (al-‘adawah), dan hoaks (pemberitaan bohong [al-kidzb]) yang dilakukan oleh siapa pun, kepada siapa pun, dengan cara apa pun, meskipun mengatasnamakan Islam dan menggunakan simbol-simbol keislaman, jelas hal itu bukan ajaran Islam.
Islam tidak membenarkan semua tindakan yang melawan kemanusiaan, melawan kedamaian, dan melawan keadilan. Jika hal itu terjadi, maka pelaku sesungguhnya sedang memperalat dan memanipulasi Islam untuk kepentingan-kepentingannya. Kepentingan mereka, dalam hal ini, jelas bukan kepentingan agama, melainkan selainnya, bisa kepentingan ekonomi, politik, teror, atau menciptakan kegaduhan.
Jika mereka mengatasnamakan jihad, dan sasarannya adalah orang-orang kafir, juga tidak bisa dibenarkan. Kita harus bisa membedakan antara jihad (mencurahkan usaha sungguh-sungguh, badzl al-juhd) dengan qital (peperangan). Jihad yang paling utama, kata Nabi SAW, adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang tiran. Jihad fi sabilillah bukan berarti perang di jalan Allah. Jalan Allah yang sesungguhnya adalah keadilan (al-‘adalah), kedamaian (ar-rahmah), kemaslahatan (al-mashlahat), dan kebahagiaan (as-sa’adah). Jihad di jalan Allah berarti kita harus mencurahkan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan keadilan, kedamaian, kemaslahatan, dan kebahagiaan untuk semua makhluk (rahmatan lil ‘alamin).
Kalau pun jihad diartikan sebagai qital (peperangan), maka Syaikh al-Khatib asy-Syarbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj (6/44) memberikan rambu-rambu, “Kewajiban jihad adalah kewajiban sarana (al-wasa’il), bukan tujuan (al-maqashid). Maksud dari perang adalah memberikan hidayah dan syahadah (kesaksian). Sedangkan membunuh orang kafir bukanlah tujuan. Jika hidayah bisa diberikan dengan cara memberikan argumentasi tanpa jihad, maka hal ini lebih utama dari pada jihad.”
Syaikh Yusuf Qardhawi dalam buku Fiqh al-Jihad (2009) lebih dalam menjelaskan, “Jika orang mengamati sejarah Nabi Muhammad SAW, ia akan tahu bahwa beliau tidak pernah memaksa seorang pun untuk masuk Islam. Nabi SAW hanya memerangi orang yang memerangi beliau. Nabi SAW tidak pernah memerangi orang yang berdamai dan orang yang tidak memerangi beliau, selagi ia berdamai dan tidak melanggar janji (kesepakatan, konsensus). Bahkan Allah SWT memerintahkan beliau untuk memenuhi janji. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT, “Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus terhadap mereka” (QS at-Taubah [9]: 7).
Menjadi Pemelihara Perdamaian
Dengan demikian, Islam identik dengan perdamaian (peaceful). Menjadi muslim berarti hidup damai dan menjadi pegiat membangun perdamaian (peace building). Kekerasan (al-‘unf), terorisme (al-irhab), dan kebencian (al-‘adawah) jelas bukan ajaran Islam. Siapa pun melakukan tindakan ini, dia bukan muslim sejati. Oleh karena itu, kita tidak perlu ragu-ragu lagi untuk berjihad membangun perdamaian, dan menentang segala bentuk kekerasan, terorisme, dan kebencian.
Ibn Rusyd membungkusnya dengan pernyataan mendasar bahwa semua agama hadir untuk mewujudkan moralitas luhur, kebaikan, dan kasih sayang, bukan untuk melahirkan kerusakan kebodohan, dan kebencian. Inilah tujuan semua agama dan jalan yang ditempuh para bijak bestari dan orang-orang yang berakal. Semoga agama selalu hadir bersama perdamaian dan keadilan. []
*Keterangan Penulis: Marzuki Wahid adalah Sekretaris Lakpesdam-PBNU dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Artikel ini telah diangkat di Warta Buruh Migran, Edisi September 2018.
Sumber foto: Pixabay
penjelasan yg sahih tentang agama islam
dan ajaran islam.
banyak bangga beragama islam sebagai identitas diri
namun lupa atau tidak pernah menganutnya