Jakarta-Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyinyalir, perekrutan sejumlah perempuan di sejumlah daerah untuk menjadi penata laksana rumah tangga (PLRT) di luar negeri menjadi salah satu modus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Menurut Sektretaris Utama BNP2TKI, Hermono, dalam proses perekrutan PLRT mayoritas keluarga ‘diberi’ uang agar mengizinkan anak atau isterinya untuk bekerja. Dalam pernyataannya yang dilansir Harian Kompas (6/4/18), sebenarnya uang yang diberikan terhitung sebagai hutang calon buruh migran dengan bunga yang sangat tinggi. Penjeratan korban dengan hutang juga merupakan modus TPPO.
Selama ini perempuan pekerja migran masih rentan tertimpa masalah. Baik proses keberangkatan secara legal ataupun ilegal, sama-sama rentan tertimpa masalah pidana. Mulai sejak masih di kampung halaman hingga setelah pemberangkatan ke luar negeri.
Perempuan Indonesia Timur Rentan Menjadi Korban TPPO
PLRT pada umumnya didominasi kaum perempuan. Lebih dari 55 persen dari perempuan bekerja di luar negeri menjadi PLRT. Bekerja di luar negeri menjadi satu-satunya pilihan bagi perempuan yang berpendidikan rendah dan dari daerah yang kondisi alamnya tidak suburm seperti sejumlah wilayah kepulauan Indonesia bagian timur.
Menurut Hermono, persoalan TPPO masih menjadi tantangan yang dihadapi pemerintah selama ini. Karena TPPO tidak mungkin terjadi jika tidak ada oknum yang membawa mereka. Sangat mungkin mereka lolos ke luar negeri, karena ada keterlibatan oknum dari proses awal. Pada tahap awal, calon pekerja migran sudah rawan terjerat kasus, apalagi prosesnya ilegal dan dokumen dipalsukan. Hermono mencontohkan, dari total sekitar 700.000 TKI yang bekerja ke Arab Saudi, sebanyak 400 orang berangkat ilegal.
Sementara menurut Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai, kemungkinan pekerja migran jadi korban sudah ada sebelum berangkat dari Indonesia, bahkan sebelum keluar dari rumah, termasuk dengan pemalsuan identitas. Beberapa kasus tersebut ditemukan pada beberapa buruh migran yang kasusnya ditangani LPSK, seperti kasus Erwina dan yang terbaru Adelina Sau.
Setelah tiba di negara tujuan, pekerja migran rawan mengalami kekerasan dan eksploitasi, serta bekerja tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Bahkan, tidak sedikit yang dijerumuskan bekerja di dunia prostitusi. LPSK selama ini telah membantu pekerja migran memperjuangkan hak-haknya selama proses hukum, seperti layanan rehabilitasi, media dan psikologis. Semendawai juga mengingatkan, saat ini ada modus baru TPPO. Modus ini dilakukan melalui pengiriman sejumlah siswa sekolah menengah kejuruan untuk magang di luar negeri.[]
Sumber gambar: merahputih