Johor Bahru–Banyak sekali ragam permasalahan yang dialami oleh buruh migran di Malaysia. Salah satunya seperti yang dialami oleh Kabut (nama samaran/30 tahun). Kabut tiba di Malaysia sejak tahun 2010 bekerja pada perusahaan Teguh Mechanical Engineering (TME). Sebuah perusahaan alih daya yang memberikan layanan kepada perusahaan inti yang bergerak pada sektor minyak dan gas (migas) seperti pabrikasi kapal, stasiun pengeboran lepas pantai, galangan kapal, pembangkit listrik, penyulingan dan lainnya. Kabut bekerja pada sektor pabrikasi metal dengan spesialisasi fabrikasi pengelasan di perusahaan tersebut.
Kabut bekerja dengan bayaran RM 15/jam, hak cuti tahunan dan hari libur seperti pekerja pada umumnya. Dari situ penghasilan yang diterima Kabut rata-rata RM 4.000 – RM 5.000 setiap bulannya. Sementara untuk biaya permit kerja dan levi tahunan akan ditanggung oleh TME karena berdasarkan perjanjian di awal, Kabut sudah membayar RM 2.000 sejak kedatangannya dan tidak akan dikenakan lagi biaya untuk perpanjangan permit kerja dan levi di tahun-tahun berikutnya. Kabut mengatakan bahwa kontrak kerja hanya disampaikan secara lisan. Sementara kontrak tertulis dalam bahasa inggris, di mana Kabut tidak pernah menerima salinan kontrak tersebut.
Tiga tahun pertama, Kabut tidak pernah mengalami masalah dengan perusahaan. Baru di tahun 2013, permasalahan mulai muncul. Awalnya perusahaan mengumumkan bahwa menginjinkan kepada pekerja untuk bekerja di luar tapi masih tetap menjadi bagian perusahaan. Hal dikarenakan perusahaan sedang menghadapi krisis proyek. Akan tetapi, ketika pekerja bekerja di luar, pekerja harus menanggung sendiri biaya permit kerja dan levi. Berikut termasuk jumlah potongannya, di mana biaya perpangjangan permit sebesar RM 2,500 tiap tahunnya. Ketentuan lainnya disampaikan bahwa para pekerja yang bekera di luar harus patuh untuk kembali lagi bekerja ke TME jika perusahaan memerlukannya.
Awal Mula Permasalahan
Di tahun 2015 tersebut, Kabut dipinjamkan ke perusahaan Soft Triangle Services (STS), sebuah perusahaan alih daya lainnya yang bergerak pada pemberian layanan jasa tenaga kerja kepada perusahaan Malaysia Marine and Heavy Engineering (MMHE) sebagai perusahaan induk. Setelah bekerja selama lima bulan di MMHE, Kabut diminta untuk formulir 49* dari perusahaannya sebelumnya STS. Menurut Kabut, formulir itu juga berarti keterangan pelepasan pekerja dari perusahaan Kabut bekerja sebelumnya, yakni perusahaan TME. Akan tetapi formulir tersebut tidak diberikan oleh TME kepada STS.
Akibat daripada itu, pihak STS tidak dapat memperpanjang pekerjaan Kabut di MMHE. Pada akhirnya Kabut dikembalikan kepada TME dan pihaknya memperpanjang sendiri kontrak Kabut untuk MMHE. Dari sini masa kontrak Kabut untuk MMHE selama Maret 2017.
Kabut memberanikan sendiri untuk meminta formulir 49 itu kepada TME. Tapi TME malah mempermasalhkannya dengan meminta biaya perganitan permit dan levi sejak 2014 hingga Juli 2015 sebesar RM 2.500-an. Kabut berfikir daripada bersengketa, terpaksa membayarkannya. Namun di bulan Desember 2015, TME kembali mempermasalahkan perpanjangan permitnya, yakni meminta membayar dimuka sebagai jaminan biaya perpanjangan permit kerja tahun 2016 sebesar RM. 2,500.
Di bulan Oktober 2016, TME meminta paspor Kabut dengan alasan perpanjangan permit di tahun 2017. Dari situ tidak ada kabar hingga masa berlaku permitnya akan berakhir pada tanggal 17 Desember 2016. Kabut memberanikan diri untuk menanyakan mengenai proses perpanjangan permit kerjanya di bulan Desember 2017. TME mengatakan bahwa sedang dilakukan perpanjangan oleh Departemen Imigrasi Malaysia. Baru setelah tanggal 16 Desember 2017 Kabut memperoleh kejelasan. Secara sepihak, Kabut diberikan paspor, keterangan bahwa tidak bekerja di TME dan tiket pulang ke Batam. Kabut sungguh terkejut atas keputusan sepihak perusahaan mengapa memberhetinkannya tanpa adanya pemberitahuan terlebih dulu.
Berdasarkan keputusan itu, pada siang harinya, Kabut bergegas menuju bank setempat untuk meminta salinan rekining koran sebagai bukti bahwa gajinya selalu dibayarkan oleh TME melalui bank tersebut. Kemudian Kabut juga meminta daftar hadir selama bekerja untuk MMHE sebagai bukti untuk pengaduannya. Pada tanggal 17 Desember 2016, Kabut keluar Malaysia melalui Batam. Dua hari setelah itu masuk ke Malaysia untuk melakukan pengaduan atas permasalahan yang dihadapinya kepada KJRI Johor Bahru.
Selain itu, pengaduan Kabut meliputi potongan gaji yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh TME secara berlebihan sejak satu setengah tahun terakhir (2015-2016). Hal itu dihitung berdasarkan perhitungan rekapitulasi hari kerja dalam daftar hadir dan besaran gaji per jam yang seharusnya diterimanya. Jika ditotal nilainya mencapai RM 8.000-an. Belum lagi mengenai 15 hari bekerja di bulan Desember 2015 juga yang tidak dibayarkan kira-kira sebesar RM 2.000-an. Sehingga kerugian Kabut sekitar RM 10.000-an dan pemutusan hubungan kerja sepihak oleh TME yang membuat Kabut seharusnya menerima pampasan (kompensasi) atas keputusan perusahaan tersebut.
Upaya Akses Keadilan oleh Kabut
Pada tanggal 19 Desember 2016, Kabut melayangkan pengaduannya kepada KJRI Johor Bahru. Tiga perkara yang diadukan oleh Kabut, yakni PHK sepihak tanpa pemberitahuan dan kompensasi, potongan gaji di luar ketentuan dan sisa gaji yang belum dibayarkan oleh TME. Akan tetapi, ketika masih berkonsultasi dengan konter pengaduan KJRI Johor Bahru, pihaknya mengatakan tidak bisa membantu dua perkara, yakni pemotongan gaji di luar ketentuan dan hak kompensasi atas PHK sepihak tanpa pemberitahuan. Lantaran, petugas mengatakan bahwa Kabut tidak memiliki salinan kontrak kerja. Kabut hanya memiliki salinan daftar hadir kerja dan rekening koran. KJRI Johor Bahru mengatakan bahwa pihaknya akan menggelar mediasi antara Kabut dan TME. Tapi kabar itu tidak kunjung diadakan oleh KJRI Johor Bahru.
Kemudian pada bulan Januari 2017, Kabut mengadukan perkaranya kepada Jabatan Tenaga Kerja (JTK) setempat. Pengaduan pertama tidak dapat diterirma oleh JTK dengan alasan permit kerja Kabut sudah berakhir masa berlakunya. Selanjutnya, Kabut mengadu lagi pada bulan Februari 2017 dan pengaduannya diterima oleh JTK. Dalam hal ini Kabut didampingi oleh Tenaganita. Setelah kira-kira dua minggu, Kabut menerima panggilan sidang yang pertama. Dari materi sidang, tuntutan yang diperkarakan hanya sebatas pada sisa gaji dan potongan gaji di luar ketentuan. Sementara tuntutan hak kompensasi atas PHK sepihak tanpa pemberitahuan tidak dimasukkan ke dalam materi sidang.
Dalam perkara ini, Tenaganita juga melibatkan organisasi lainnya yang memiliki basis di Johor Bahru. Organisasi tersebut mengatakan bahwa pengaduan hak kompensasi atas PHK sepihak tanpa pemberitahuan harus dimasukkan sebagai pengaduan utama. Kemudian, Tenaganita pun merujuk kasus Kabut kepada organisasi tersebut. Panggilan sidang kedua terjadi pada bulan Maret 2017, Kabut mengajukan penangguhan sidang pada sidang kedua. Penangguhan jadwal sidang pun dikabulkan oleh mahkamah karena organisasi tersebut masih belum menyelesaikan berkas perkara pengaduan.
Akan tetapi, nampaknya menurut Kabut ada sedikit masalah internal di dalam organisasi tersebut, di mana Kabut ditangani oleh pengacara organisasi tersebut. Pengacara tersebut meminta jasa guaman RM 250 untuk setiap konsultasi, belum lagi untuk transportasi dan jasa beracara bagi pengacara tersebut juga memiliki beban biaya sendiri yang mesti ditanggung sendiri oleh Kabut.
Dari pengalaman ini Kabut merasa sangat kecewa, di mana kondisinya pada saat itu sedang mengalami masalah keuangan karena PHK tersebut. Kabut juga pada akhirnya tidak menghadiri sidang ketiga yang dijadwalkan oleh mahkamah. Dari perkara tersebut Kabut belum memperoleh pekerjaan yang sesuai dan layak untuknya.
“Akhirnya saya mengerti mengapa banyak orang yang berperkara, tapi tidak mengadukan kasusnya. Proses yang panjang, biaya, dan energi serta pikiran yang terkuras merupakan alasan yang melatarbelakanginya. Pada akhirnya korban akan pasrah atau menyikapi kasusnya sebagai nasib yang kurang berpihak baginya dan menghindari masalah yang sedang dihadapinya,” sesal Kabut.
* Notification of change in the Register of Directors, Managers and Secretaries, Section 58 Companies Act of 2016
Satu komentar untuk “Sulitnya Akses Keadilan bagi Buruh Migran di Perusahaan Alih Daya di Malaysia”