Salah satu korban tragedi kapal berpenumpang 63 WNI yang tenggelam di Johor, Sabtu, (23/07/2016) adalah Muhamad Saiful (30) asal Biltar, Jawa Timur. Muhamad Saiful tercatat sebagai buruh migran yang memiliki izin kerja ketika masuk Malaysia. Hal tersebut terungkap saat pengurus ‘Bledug Kelud’, sebuah komunitas buruh migran di Johor, melapor ke KJRI Johor Bahru bahwa salah satu anggotanya menjadi korban.
Mereka mengatakan bahwa Saiful sebenarnya mempunyai permit kerja, namun sedang dalam proses perpanjangan (renew). Saiful nekat menggunakan jalur berbahaya karena ada masalah keluarga yang mengharuskan ia segera pulang.
“Ada masalah keluarga yang mengharuskan ia segera pulang, tapi permitnya sedang dalam proses perpanjangan dan belum jadi. Makanya ia nekat pulang lewat belakang. Rencananya nanti, ia masuk lagi juga lewat jalur itu,” kata Ary dari komunitas Bledug Kelud sambil menunjukan fotocopy paspor Saiful.
Seperti diberitakan sebelumnya, kapal pengangkut TKI yang membawa 63 penumpang tenggelam di kawasan Pantai Batu Layar, Sungai Rengit, Kota Tinggi, Johor, Sabtu (23/7) malam. Hingga hari ini, 15 orang ditemukan meninggal dan 34 orang selamat. Sementara 14 orang lainnya dinyatakan hilang. Muhamad Saiful adalah salah satu dari penumpang kapal naas tersebut. Namun, dari identitas korban yang meninggal dan korban yang selamat tidak ada identitas yang sesuai dengan identitas Saiful, sehingga Saiful diduga salah satu di antara 14 orang korban yang dinyatakan hilang.
Dewi Lestari, Pelaksana Fungsi Pensosbud KJRI Johor Bahru ketika dikonfirmasi, Minggu (31/7) membenarkan bahwa tidak ada identitas atas nama Muhamad Saiful dari korban yang ditemukan, baik yang selamat maupun korban yang meninggal.
“Laporan atas nama Saiful memang sudah dicek dan tidak ada dalam daftar korban yang selamat dan hingga saat ini tidak diperoleh juga kecocokan dengan jenazah yang ditemukan,” kata Dewi Lestari.
KJRI Johor Bahru, lanjut Dewi, selalu mengimbau agar WNI/TKI tidak masuk atau keluar dari Malaysia melalu jalur berbahaya. KJRI selalu mensosialisasikan kemudahan yang bisa dimanfaatkan oleh buruh migran seperti program pulang sukarela.
“Meskipun sebagian pihak mengganggap program itu masih mahal, tetapi paling tidak, ada jalan bagi buruh migran untuk pulang dengan membayar denda yang relatif lebih murah dibandingkan denda normal yang harus dibayar,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Ridwan Wahyudi, aktivis buruh migran di Malaysia dari Komunitas Serantau berpendapat bahwa kenekatan seorang buruh migran pulang menggunakan jalur gelap ketika sedang menunggu proses perpanjangan permit tersebut akibat rendahnya tingkat pelayanan perpanjangan permit. Selain itu, TKI juga tidak pernah diberitahu atau tidak bisa mengakses informasi mengenai pengurusan perpanjangan permit, sehingga tidak bisa mendapat kepastian.
“Untuk urusan yang mendesak seharusnya kita bisa minta tolong untuk dipercepat. Namun, TKI itu sendiri tidak tahu mesti mengurus atau komplain kemana. Akibatnya, jika ada urusan mendesak yang mengharuskan untuk segera pulang, terpaksa menggunakan jalan pintas yang membahayakan nyawanya,” kata Yudi.