Ada 1,3 juta Buruh Migran Indonesia (BMI/TKI) berdokumen yang berada di Malaysia. Sedangkan buruh migran tak berdokumen ada 1,25 juta, menurut data KBRI Kuala Lumpur. Banyaknya jumlah BMI di Malaysia memiliki kecenderungan dengan meningkatnya permasalahan-permasalahan yang dihadapi buruh migran. Data KBRI Kuala Lumpur menyebutkan ada 1025 laporan kasus di tahun 2004 dan di tahun 2015 dari bulan Januari-April ada 598 laporan kasus yang masuk.
Sebenarnya, setiap permasalahan pekerja migran dapat dikategorikan sebagai tindak piana perdagangan orang, karena unsur-unsurnya telah memenuhi, proses cara dan tujuan. Kita bisa amati dari jenis kasus-kasusnya, dimana indikator penindasan dan eksploitasi kepada pekerja migran sangat nampak. Sedangkan indikator dari jenis permasalahan itu bisa dikategorikan sebagai tujuan mengeksploitasi dalam konteks perdagangan orang. Berikut ini merupakan berbagai permasalahan yang menimpa buruh migran di Malaysia :
1. Jam kerja yang berlebihan, rata-rata bekerja 12 hingga 14 jam sehari.
2. Tidak ada hari libur. Ketika cuti atau sedang sakit, gaji akan dipotong atau tidak diberikan gajinya oleh majikan.
3. Gaji rendah (dibandingkan dengan Singapura). Diskriminasi gaji, antara pekerja migran dan pekerja lokal, dan antar pekerja migran (misalnya antara Filipina dan Indonesia berbeda besaran gajinya).
4. Agensi merangkap sebagai majikan sehingga selalu dipindah-pindahkan majikan.
5. Tempat tinggal yang tidak layak untuk ditempati, seperti tempat tinggal menyatu dengan tempat kerja.
6. Kurangnya pemberlakuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) oleh pekerja migran sehingga sangat rentan mengalami kecelakaan kerja.
7. Hilangnya hak reunifikasi, yakni tidak boleh membawa anggota keluarga atau menikah dan hamil.
8. Adanya rangkap biaya bagi pekerja migran, melalui mekanisme asuransi dan biaya sendiri. Banyak kasus pekerja tidak diasuransikan (pelanggaran atas Akta Pampasan Kerja 1952) dan pampasan kerja tidak dibagikan kepada pekerja ketika terjadi kecelakaan kerja.
9. Menjadi objek kriminalisasi oleh aparat.
10. Informasi mengenai hak dan pasar kerja sangat terbatas, dikuasai oleh pemerintah dan agensi, sehingga rentan menjadi korban pemerasan.
11. Tidak adanya kontrak kerja atau kontrak kerja tidak dihormati oleh majikan karena kurangnya dukungan dari pihak berwenang selama proses sebelum keberangkatan dan pada masa bekerja.
12. Hilangnya semangat untuk menyatukan dalam serikat pekerja karena dibatasi oleh peraturan dari majikan (pelanggaran atas Akta Syarikat Pekerja 1959). Dalam praktiknya, Kementerian Dalam Negeri melarang pekerja migran untuk menyatukan dalam serikat pekerja.
13. Hilangnya hak untuk menyumbang kepada jaminan hari tua sebesar RM5 bagi setiap pekerja migran, padahal pekerja lokal memiliki hak tersebut.
14. Menjadi kelas nomor dua berdasarkan Akta Pampasan Pekerja 1952. Tidak ada upah ketika terjadi pemecatan pekerja.
15. Pemotongan gaji yang tidak sah sebagai pengurusan pas lawatan kerja (visa).
16. Pelanggaran lainnya, majikan tidak melakukan pembaharuan atas pas lawatan kerja kepada pekerja asing, membiarkan mereka kehilangan status sebagai pekerja resmi.
17. Paspor dipegang oleh majikan dan agen perekrut, membawa mereka pada keadaan sangat rentan ditangkap oleh pihak berwajib, perawatan kesehatan dan penindasan oleh polisi (pelanggaran Akta Paspot (1964).
18. Hilangnya status sebagai pekerja berdokumen ketika hak-hak mereka dilanggar dan proses menunggu penyelesaian pertikaian oleh Jabatan Buruh dan Hubungan Industri.
19. Pada saat ini, izin tinggal melalui pas khas tempoh 3 bulan dikeluarkan oleh Jabatan Imigresen dengan biaya RM100 setiap bulan dan dilarang untuk bekerja.
20. Beberapa agensi merekrut, memindahkan dan menerima pekerja melalui cara-cara menipu dan memalsu dokumen identitas (contoh: pekerjaan yang ditawarkan tidak ada, berbeda dengan sektor yang ditawarkan dan berbeda dengan tempat kerjanya) utamanya melakukan eksploitasi, membuat pekerja migran menjadi korban perdagangan orang (pelanggaran atas Akta Pemerdagangan Orang 2007).