Investigasi

Rahma dan Persoalan Layanan RS Rujukan BNP2TKI (2-Habis)

Author

Rahma saat dirawat di RS Mio Li didampingi Lili, BMI dan pegiat di Jama'ah Al Hikmah dari Tai Chung
Rahma saat dirawat di RS Mio Li didampingi Lili, BMI dan pegiat di Jama’ah Al Hikmah dari Tai Chung

Persiapan pemulangan Rahma, dilakukan Lili dengan menghubungi Anto Budianto, Ketua Yayasan Yatim Piatu BMI di Kerawang dan Aan, pegiat Serikat BMI (SBMI) di Jakarta untuk memproses pengaduan ke BNP2TKI dan menjemput Rahma di Bandara Suekarno-Hatta. BNP2TKI kemudian menyarankan Rahma dirawat di Rumah Sakit Polri Sukanto di Kramat Jati.

Alih-alih berharap mendapat layanan kesehatan, selama dua minggu Rahma di rumah sakit, ternyata ia tidak mendapatkan perawatan yang layak. Persoalan kemudian muncul setelah biaya rawat inap selama dua minggu dan tiket pulang ke Lampung harus ditanggung Rahma sendiri.

BNP2TKI menyatakan tidak bisa memberi surat rujukan yang menjadi prasyarat agar biaya rawat inap di RS Polri Sukanto bisa diakses cuma-cuma oleh BMI. Alasan yang disampaikan BNP2TKI, Rahma adalah BMI ilegal. Lantas apakah bagi BMI kaburan yang menjadi ilegal seperti Rahma juga tidak berhak mendapatkan hak perlindungan dari pemerintah?.

“Layanan rujukan ke RS Polri adalah hak BMI, sayang, sering kali ketika BMI pulang ke Indonesia dalam kondisi sakit, oleh petugas BNP2TKI di bandara tidak dirujuk ke rumah sakit, disisi lain layanan rujukan tersebut, tidak diinformasikan secara terbuka ke Publik oleh BNP2TKI,”tutur Aan, Pegiat SBMI di Jakarta.
Catatan kronologi ini merupakan tanggapan atas informasi tentang layanan rujukan BMI pulang sakit dan meninggal melalui akun twitter BNP2TKI yang dikupas di portal www.buruhmigran dengan tulisan berjudul “Belajar Kolaborasi Penanganan dari Kasus Johra” (19/04/12). Berdasarkan informasi tersebut, Johra yang berstatus ilegal ternyata bisa memperoleh layanan cuma-cuma di RS Polri sesuai surat rekomendasi BNP2TKI, sesuatu yang tidak diperoleh pada kasus Rahma, saat dirawat di rumah sakit yang sama.

Persoalan mendasar bukan pada kasus Johra, melainkan pada standar atau mekanisme mengakses layanan rujukan BMI sakit dan meninggal yang tidak terbuka oleh BNP2TKI. Pada kasus Rahma, permintaan surat rekomendasi rujukan ditolak karena BMI yang bersangkutan berstatus ilegal, sementara BNP2TKI memberi surat rekomendasi pada kasus Johra yang juga berstatus ilegal.

Sebagai sebuah layanan, informasi tentang standardisasi dan mekanisme mengakses layanan rujukan BMI sakit dan meninggal tidak pernah disampaikan ke publik secara rinci. Informasi layanan harus menjadi informasi publik, BNP2TKI pada kasus ini wajib menyampaikan siapa yang berhak mendapat layanan tersebut, apa prasyarat meminta surat rekomendasi, di mana saja BMI bisa memperoleh rujukan rumah sakit, serta informasi rinci lainnya.

Terkait hal ini, kami berpesan kepada kawan-kawan BMI semua, bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan selagi kita memiliki niat dan keinginan. Maka terus berusaha dan berani untuk mencari jalan keluar memperjuangkan hak BMI. Janganlah menjadi BMI ilegal, jika ada hal yang tidak diinginkan, situasi tersebut akan mempersulit diri kita sendiri.!

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.