BANYUMAS. Menjelang Sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945, Sukarno dan Hatta kedatangan tamu dari kerajaan Malaysia. Tamu dari negeri jiran itu adalah utusan dari kerajaan Selangor yang mengutarakan keinginannya untuk bergabung dengan Indonesia. Namun dua pendiri bangsa itu menolak, hanya karena Malaysia bekas jajahan Inggris.
Kalimat tersebut keluar dari M Yudhi Haryono, penggagas Universitas Nusantara, saat diskusi dengan beberapa tokoh muda Banyumas di , Purwokerto(12/1/2012). Ia juga menyoroti soal perkembangan kontekstual Indonesia dan Malaysia.
“Namun empat puluh tahun kemudian, rakyat Indonesia merengek-rengek mintaHotel Rosenda Baturraden pekerjaan ke Malaysia. Orang-orang kita rela dihina, dicaci maki karena bodoh, dianggap datang dari negeri pengemis, dan rela disebut “indon” sebagai sapaan yang mengandung peleceh,” tuturnya.
Dosen Universitas Paramadina itu juga menyindir kita yang masih banyak terpengaruh dengan hal-hal yang berbau kolonialisme. Dalam kesempatan diskusi itu, Yudhi ingin mendirikan sebuah universitas yang nantinya bisa melahirkan generasi-generasi mandiri.
“Hampir setiap desa di Jawa, warganya ada yang menjadi TKI. Kita memang masih senang mengandalkan apapun dari orang lain, termasuk dalam urusan bekerja. Kita bangga, jika dapat beasiswa sekolah di luar negeri. Tapi orang Malaysia akan bangga jika bisa menyekolahkan anaknya ke luar negeri atas biaya sendiri. Artinya kita perlu meningkatkan ruh kemandiri,” tutur pria yang juga menjabat sebagai staff ahli Mendagri itu.
Laki-laki asal desa Kecila, Kemranjen, Banyumas yang gelar Doktornya diperoleh di Amerika Serikat itu juga memotivasi peserta dengan bercerita soal perbandingan Indonesia dan Malaysia. Jika dillihat dari banyak sisi, kita kalah beberapa langkah dari Malaysia. Seperti soal tapal batas, kita kalah di Mahkamah Internasional. Sepak bola bola juga kualitasnya masih di bawah Malaysia.
Tahun 60-an, Malaysia masih mendatangkan guru-guru dari Indonesia, untuk mengajarkan ilmu pengetahuan bagi warga negaranya. Namun sekarang orang Indonesia ke sana, bukan untuk menjadi guru, tetapi menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang diperas keringatnya. Tidak jarang, deraian air mata juga menimpa TKI disana, karena disiksa majikan.
Yudi berharap, diskusi dengan tema “Mengeja Indonesia” ini, ke depannya bisa melahirkan karakter-karakter bangsa ini yang melindungi, memajukan, mencerdaskan, adil makmur dan disegani bangsa-bangsa lain.
Acara tersebut dihadiri wakil bupati Banyumas Ahmad Hussein, dosen, dan tokoh LSM. Diskusi serupa ini akan dilanjutkan di 9 kota lain di Indonesia. (**)